Jumat, 03 April 2015

Maaf, Saya Mengumpat

Maaf, Saya Mengumpat

Ali Kusno  ;  Cerpenis dan Pengkaji Bahasa di Kantor Bahasa Kalimantan Timur
JAWA POS, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

MASIH ingat dengan rapat mediasi 5 Maret 2015 yang diadakan Kemendagri untuk menengahi kisruh antara Pemprov dan DPRD DKI Jakarta? Selain masih berlarut-larutnya masalah itu sampai sekarang, masih ada penggalan cerita di akhir mediasi. Rapat berakhir buntu. Beberapa oknum yang diduga anggota DPRD DKI melontarkan umpatan "Gubernur goblok..!", "Ahok dan SKPD anjing..!", "Anjing! Bangsat!" Sangat memalukan.

Terbaru, muncul kasus yang menyenggol sastrawan Saut Situmorang. Saut ditangkap polisi karena mengeluarkan kata-kata kasar di Facebook, "Jangan mau berdamai dengan bajingan". Saat itu Saut mengomentari sebuah tautan tentang polemik buku 33 Sastrawan Paling Berpengaruh. Terlepas dari kasus-kasus tersebut, siapa yang benar, siapa yang salah, menarik bagi kita membahas umpatan-umpatan tersebut.

Sejarah Umpatan Anjing, Bangsat, dan Bajingan

Kemarahan sewaktu-waktu bisa hinggap pada diri seseorang. Ketika marah dan tidak dapat mengontrol kemarahan, orang berpeluang besar untuk mengumpat. Mengumpat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring berarti mengeluarkan umpat(an); memburuk-burukkan orang; mengeluarkan kata-kata keji (kotor) karena marah (jengkel, kecewa, dsb); mencerca; mencela keras; mengutuk orang karena merasa diperlakukan kurang baik; memaki-maki. Di antara sekian banyak umpatan, rupanya umpatan anjing, bangsat, tahi, dan bajingan sedang naik daun.

Menurut Hendri F. Esnaeni, anjing kerap dianggap sebagai binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayang. Kebiasaan memelihara anjing sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri Kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. Pasai kemudian dipakai untuk melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera menjadi Samudera Pasai.

Anjing sebagai umpatan bermula ketika Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) menyamakan Raja Mataram Sultan Agung dengan "seekor anjing yang telah mengotori Masjid Jepara". Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis Verboden voor Inlanders en Honden (Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk). Para politikus dan rakyat Belanda pun mengecap Soekarno sebagai "anjing piaraan Jepang". Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerja sama dengan Belanda sebagai anjing Belanda.

Anjing sebagai umpatan mengalami perluasan pemakaian. Di beberapa tembok rumah-rumah kosong, biasanya ada tulisan Dilarang kencing di sini kecuali anjing. Di tanah-tanah kosong ada plang bertulisan Dilarang buang sampah di sini kecuali anjing.

Bangsat dalam KBBI berarti kutu busuk atau kepinding; orang yang bertabiat jahat (terutama suka mencuri mencopet dsb). Dalam bahasa Jawa, bangsat disebut tinggi, yakni kutu busuk yang bisa ditemukan di kursi anyaman atau tempat tidur. Bangsat meminum darah manusia dan hewan berdarah panas lainnya. Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari, istilah bangsat ini mengalami pergeseran makna sebagai sebuah umpatan kekecewaan.

Bajingan dalam KBBI berarti penjahat, pencopet, kurang ajar (kata makian). Mengutip Merdeka.com, umpatan bajingan awalnya merujuk pada pengendara gerobak sapi. Konon, pada 1940-an, istilah bajingan tersebut kali pertama muncul di daerah Banyumas. Pada saat itu sarana transportasi sulit ditemukan. Sarana transportasi alternatif yang paling banyak adalah gerobak sapi. Masalahnya, kedatangan bajingan itu bisa dibilang suka-suka. Terkadang pagi, siang, sore, bahkan terkadang malam hari. Yah, mungkin sapinya lelah.

Masyarakat yang tidak bertemu dengan bajingan, mau tidak mau, ya jalan kaki. Seiring dengan waktu, banyak warga yang tanpa sengaja melontarkan kalimat-kalimat ketidakpuasan terhadap bajingan. Sejak itulah istilah bajingan ngetren sebagai umpatan karena keterlambatan seseorang, misalnya "Bajingan, ditunggu-tunggu tidak datang?" Sekarang umpatan itu pun berkembang luas dan umum.

Kalau iseng-iseng kita pikir, sebenarnya apa salah anjing? Apa salah bangsat? Apa salah bajingan? Kasihan nama mereka tercemar. Untung, mereka tidak pernah mengajukan tuntutan pencemaran nama baik. Tidak terhitung lagi orang yang dapat terjerat. Lha, hampir tiap hari orang menggunakannya sebagai umpatan.

Penyebab Ketidaksantunan

Luncuran umpatan saat bertutur dianggap sebagai bentuk ketidaksantunan. Pranowo mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara lain: menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa yang kasar, didorong rasa emosi, penutur protektif terhadap pendapatnya, sengaja ingin memojokkan mitra tutur, dan menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.

Sekarang ini yang dikhawatirkan, umpatan yang dituturkan pejabat negara maupun figur publik di media massa maupun media sosial akan ditiru anak-anak. Kita, yang katanya memegang adat ketimuran, diharapkan memperhatikan kesantunan dalam tuturan. Lebih penting dari itu, anak –selain diajari santun bertutur– perlu diajari santun berperilaku.

Etika bertutur harus didukung dengan perilaku. Ada orang yang etika tuturannya santun, tetapi perilakunya sebaliknya. Orang seperti itulah yang memancing Ahok mengumpat untuk kali kesekian. Ahok menjuluki orang-orang seperti itu dengan "tahi". Menurut dia, kata yang paling cocok dan halus untuk orang-orang yang ngembat uang rakyat ya tahi .

Ada juga orang yang mengumpat orang lain, tetapi tidak sadar sebenarnya dialah yang lebih pantas mendapat umpatan itu. Mengumpat orang lain anjing, padahal dirinya yang lebih pantas mendapat umpatan anjing. Mengumpat orang lain bangsat, padahal dirinya sendiri bangsat. Mengumpat orang lain bajingan, padahal dirinya yang lebih pantas disebut bajingan. Kok saya jadi ikutan mengumpat. Maaf.

Hendaklah kita pandai-pandai menjaga lidah, termasuk tidak mengumpat. Jangan sampai orang berprasangka buruk karena lidah kita ringan mengumpat. Jangankan mengumpat sesama, mengumpat nyamuk saja Rasulullah melarang.

Dalam hadis riwayat Ahmad, Al Bukhari dalam "Al-Adab Al-Mufrad", Al-Bazzar, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi dalam "Su'bul Iman"; dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah mendengar seorang lelaki mengumpat nyamuk. Lalu beliau bersabda, "Jangan kauumpat nyamuk (itu). Karena sesungguhnya ia membangunkan seorang nabi dari para nabi untuk melakukan salat fajar!"

Bapak dan ibu terhormat yang memegang amanah rakyat biasanya santun bertutur. Semoga santun pula perilakunya. Kalau bahasanya santun, tetapi ternyata korupsi, itu sih memaksa rakyat berbuat dosa untuk berkata, "Dasar pejabat perilaku bangsat!" Aduh, maaf saya mengumpat lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar