Sabtu, 04 April 2015

Menimbang Buah Tangan Presiden dari Tiongkok

Menimbang Buah Tangan Presiden dari Tiongkok

Novi Basuki  ;  Researcher pada Research School of Southeast Asian Studies,
Xiamen University, Tiongkok
JAWA POS, 03 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

PRESIDEN Joko ’’Jokowi’’ Widodo membawa oleh-oleh delapan macam nota kesepahaman (MoU) selepas kunjungan resmi ke Tiongkok. Tiga di antaranya adalah MoU kerja sama ekonomi, kerja sama pembangunan industri dan infrastruktur, serta kerja sama proyek pembangunan kereta cepat Jakarta–Bandung. Masing-masing kerja sama ditandatangani Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian BUMN dengan Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional (NDRC) Tiongkok.

Laman www.setkab.go.id menulis, ’’Pembangunan infrastruktur-infrastruktur di Indonesia yang segera dimulai pada tahun ini,’’ papar Presiden Jokowi di hadapan sekitar 400 pengusaha Indonesia dan Tiongkok di Beijing (27/3), ’’merupakan peluang yang bisa dimasuki investor Tiongkok.’’

Presiden Tiongkok Xi Jinping juga sepakat untuk menyinergikan inisiatif Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 (21 Shiji Haishang Sichou zhi Lu) dengan gagasan Poros Maritim Dunia guna merealisasikan konektivitas di kawasan melalui pembangunan infrastruktur. Juga, kedua negara berkomitmen meningkatkan nilai perdagangan hingga USD 150 miliar pada 2020.

Defisit Perdagangan Menggelembung

Hubungan bilateral perniagaan Indonesia dan Tiongkok resmi dibuka pada 1953. Dari nominal awal USD 7,4 juta, nilainya meroket ke kisaran USD 50,85 miliar pada 2013. Kendati terus membesar, nilai tersebut dibarengi menggelembungnya defisit perdagangan bagi Indonesia. Tak pelak, Negeri Panda masih menjadi pihak yang diuntungkan atas timpangannya ekspor-impor yang tidak kunjung beres sejak 2009 itu.

Berdasar data BPS 16 Maret lalu, pada periode Januari–Februari 2015, ekspor Indonesia ke Tiongkok menukik 40,62 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada waktu yang sama, impor Indonesia dari Tiongkok justru naik 5,44 persen.

Sebenarnya, tren pelemahan ekspor Indonesia ke Tiongkok sudah terlihat per kuartal kedua 2014 yang turun dari USD 4,93 miliar pada triwulan sebelumnya menjadi USD 4,04 miliar. Untuk dua kuartal terakhir, nilainya hanya USD 3,60 miliar dan USD 3,87 miliar. Berbanding terbalik, sepanjang empat kuartal tahun itu, impor Indonesia dari Tiongkok yang didominasi produk manufaktur (pesawat mekanik, peralatan listrik, besi, baja, bahan kimia, dan produk plastik) malah melonjak: USD 7,15 miliar (Q1), USD 8,01 miliar (Q2), USD 7,25 miliar (Q3), dan USD 8,04 miliar (Q4).

Tentu, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh eksportasi utama Indonesia ke Tiongkok yang berupa komoditas seperti batu bara, bijih nikel, produk karet, sawit, dan kakao. Kita tahu, pelemahan ekonomi Tiongkok selama dua warsa terakhir berdampak pada merosotnya harga raw materials tersebut. Hal itu diperparah oleh pemerintah kita yang mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan ekspor barang mentahnya.

Tampaknya, ke belakang, defisit masih akan tetap menganga. Sebab, seirama dengan Presiden Xi yang mengajak masyarakat internasional membiasakan diri pada melesunya ekonomi negaranya –yang dia sebut Xin Changtai: Kondisi Normal Baru–, PM Li Keqiang pun tampak tidak pede saat mematok pertumbuhan ekonomi Tiongkok dengan berucap ’’7% zuoyou’’ (sekitar 7 persen) untuk tahun ini. Di lain pihak, Presiden Jokowi amat menggebu untuk menggenjot proyek infrastruktur –yang akan berakibat pada pelonjakan impor barang modal (capital goods).

Karena itu, diperlukan usaha pemerintah untuk mengadakan diversifikasi ekspor, baik secara horizontal (menganekaragamkan jenis produk ekspor), vertikal (memperbanyak ekspor produk hilir), dan/atau memperluas negara tujuan ekspor. Pemerintah juga mesti melakukan spesialisasi pada sektor yang memiliki keunggulan komparatif (export specialization) agar kelak produk yang ditawarkan memiliki daya saing, ke mana pun destinasinya.

Butuh Perhatian Menyeluruh

Kepala BKPM Franky Sibarani (27/3) mengakui, ’’Pemerintah tidak mampu membiayai sendiri pembangunan sehingga masih membutuhkan pembiayaan asing untuk pelaksanaannya.’’ Kita tahu, hampir semua negara berkembang memang menemui permasalahan yang sama: kekurangan dana. Pembiayaan luar negeri melalui investasi asing langsung (FDI) tidak hanya akan mengatasi masalah tersebut, tetapi juga bisa mempertinggi efisiensi target-target pembangunan melalui transfer teknologi modern dan penetrasi tenaga-tenaga ahli.

Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia yang mengantongi USD 4 triliun devisa memang sudah selayaknya menjadikan Indonesia –yang notabene primus inter pares di Asia Tenggara– sebagai negara tujuan investasi. Apalagi Tiongkok sudah cukup berpengalaman dalam pembangunan infrastruktur keras (hard infrastructure). Misalnya, sarana transportasi, telekomunikasi, pelabuhan, dan jalan raya.

Sebagai informasi, secara keseluruhan, panjang jalan di Tiongkok –meliputi jalan bebas hambatan– lebih dari 3 juta kilometer. Hampir semua kota terhubung satu sama lain. Tiongkok juga telah mampu membuat kereta cepat yang tidak kalah oleh TGV Prancis atau Shinkansen Jepang.

Sekarang, sedikitnya ada dua tugas utama Indonesia. Pertama, memperbaiki infrastruktur lunak (soft infrastucture). Antara lain, pelayanan birokrasi, iklim usaha, kepastian hukum, dan hal-hal terkait yang vital untuk menyedot investor. Kedua, pembangunan infrastruktur keras harus ’’hijau’’ dan mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup sekaligus layak bagi masyarakat kita. Berkaca dari pengalaman proyek USD 1,8 miliar Jembatan Suramadu yang menggunakan mekanisme preferential buyer’s credit dari Tiongkok itu, bukan hanya peralatan, material, atau teknologi yang made in China, namun juga termasuk buruhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar