Sabtu, 04 April 2015

Meneguhkan Supremasi Kiai

Meneguhkan Supremasi Kiai

Khoiron  ;  Pengajar FIA Universitas Islam Malang
JAWA POS, 03 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

MESKI masih empat bulan lagi, suasana Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) sudah terasa. Terutama di Jawa Timur. Sebab, muktamar yang dilaksanakan pada 1–5 Agustus mendatang itu berlangsung di Jawa Timur, tepatnya Jombang. Ada empat pondok pesantren (ponpes) legendaris yang menjadi tuan rumah. Yakni, Tebuireng, Mambaul Ma'arif (Denanyar), Bahrul Ulum (Tambak Beras), dan Darul Ulum (Peterongan).

Muktamar ke-33 pun terasa istimewa. Sebab, dalam Munas-Konbes NU 2014, disepakati penggunaan konsep ahlul halli wal-aqdi (ahwa) dalam pemilihan rais am seperti pada muktamar ke-27 (1984) di Situbondo. Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi berarti ''orang yang berwenang melepaskan dan mengikat''.

Disebut mengikat karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli. Juga, disebut melepaskan karena mereka yang duduk di situ bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati yang didasarkan pada musyawarah.

Dalam sejarah Islam, konsep tersebut pernah dijalankan pada zaman khalifah Umar bin Khattab ketika akan meninggal. Umar memilih beberapa orang tepercaya untuk menjadi wakil dari kaum muslimin untuk mencari jalan keluar setelah meninggalnya sang khalifah. Kemudian, yang terpilih melakukan musyawarah, berdiskusi, dan memutuskan kebijakan yang wajib ditaati seluruh anggota ahlul halli wal-aqdi dan kaum muslimin. Keputusan tersebut adalah memilih sahabat Ustman bin Affan sebagai pengganti Umar dalam melanjutkan perjuangan dakwah Islam.

Ide awal kembali dimunculkannya konsep ahwa dalam muktamar ke-33 kali ini tidak lain adalah kegelisahan warga nahdliyin, terutama para kiai, setelah muktamar ke-32 di Makassar. Kegelisahan para kiai tersebut cukup beralasan jika melihat perhelatan muktamar NU mulai Solo sampai Makassar, yakni pemilihan rais am dan tanfidziyah layaknya pemilu kepala daerah (pilkada).

Di arena muktamar, banyak spanduk, baliho, banner, bendera, dan stiker yang mendukung salah seorang calon. Karena itu, muncul sebuah pertanyaan apakah konsep wasyaawirhum fil amri telah hilang di organisasi keagamaan sebesar NU? Sebuah tradisi yang mulia dan bijak dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan umat yang jauh melampaui konsep demokrasi.

Celakanya, praktik money politics yang biasa dilakukan politisi ditengarai terjadi di arena muktamar yang seharusnya penuh nilai keikhlasan. Fenomena adu kekuatan antara calon bukan lagi rahasia pribadi, melainkan rahasia bersama warga nahdliyin. Karena itu, setidaknya ada empat alasan sehingga konsep ahwa tersebut penting dan urgen diputuskan sebagaimana yang telah dijelaskan Abu Hapsin, ketua PW NU Jawa Tengah.

Pertama, mengoptimalkan peran dan fungsi syuriah sebagai kontrol atas tanfidziyah. Perlu diketahui, selama ini jajaran syuriah, terutama di tingkat ranting atau cabang, kurang diperhitungkan, bahkan tidak jarang ditinggalkan dewan tanfidziyah dalam berbagai kesempatan. Kedua, mewadahi aspirasi bawah, tetapi juga memberikan otoritas yang besar kepada syuriah. Anggota ahwa yang berjumlah sembilan kiai khos, yang merupakan representasi kiai berpengaruh se-Indonesia, akan mempunyai kewajiban mengarahkan perjalanan organisasi untuk dilaksanakan dewan tanfidziyah.

Ketiga, menghindari kemungkinan praktik money politics dan intervensi orang-orang di luar NU. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU tentu menjadi magnet bagi politisi yang haus kekuasaan. Mereka berusaha menanamkan investasi politik atau modal sosial kepada para calon dan warga nahdliyin untuk kemudian bisa mendukung kepentingan politiknya suatu saat. Keempat, meminimalkan kesan mengadu para kiai secara head-to-head (berhadap-hadapan) dalam kontes di arena muktamar.

Sudah menjadi rahasia publik, selama ini setiap muktamar seolah-olah menjadi arena atau ajang perebutan pengaruh antarkiai. Bahkan tidak jarang menimbulkan semacam sentimen antarcalon. Contohnya, kejadian dalam Muktamar Ke-31 di Boyolali (2004) antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan (alm) KH A. Sahal Mahfudz. Yang terakhir adalah Muktamar Ke-32 di Makassar yang seolah mengonfirmasi adanya head-to-head antara KH A. Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi dalam perebutan rais am.

Suasana muktamar pun bagaikan pilkada dengan sistem one man one vote. Hasil akhirnya, (alm) Mbah Sahal keluar sebagai pemenang. Padahal, selama 30 kali muktamar, selama itu pula sistem ahwa digunakan yang menempatkan konsep musyawarah dalam pemilihan rais am PB NU.

Menurut saya, konsep ahlul halli wal-abdi (ahwa) jauh lebih arif dan bijaksana untuk diterapkan, baik dalam pemilihan rais am maupun tanfidziyah, mulai pusat hingga pemilihan tingkat ranting. Itu penting dilakukan untuk menjaga marwah organisasi keagamaan sebesar NU dan mengembalikan supremasi atau peran serta fungsi dewan syuriah dalam membentengi umat untuk tidak terjebak pada kepentingan-kepentingan pragmatis. Dengan konsep ahwa pula, kita yakin suasana muktamar akan jauh dari intrik-intrik politis dan menjauhkan riswah yang santer muncul dalam setiap perhelatan muktamar NU akhir-akhir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar