Senin, 06 April 2015

Anak-anak Abraham

Anak-anak Abraham

Trias Kuncahyono  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 05 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Apakah agama mengajarkan kekerasan? Apakah kekerasan dengan alasan tertentu dibenarkan agama? Apakah kekerasan atas nama agama bisa diterima? Apakah kekerasan yang disebut-sebut atas nama agama benar-benar berlatar agama? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan berkaitan dengan kekerasan dan agama.

Ada banyak jawaban atas pertanyaan tersebut. Tetapi, ”Seorang mistikus mengatakan, The heart of religion is the religion of the heart. And the heart of the heart is peace and love. Seseorang akan dikatakan memahami dan menghayati agama, jika hatinya telah dipenuhi oleh cinta yang datang dari Tuhan Mahakasih, sang penebar cinta. Karena cinta Tuhanlah semesta ini ada dan dengan cinta, maka kehidupan ini akan menjadi indah. Bukankah kebencian dan peperangan membuat hidup menjadi pengap dan menyiksa.” Demikian tulis Komaruddin Hidayat dalam prolog untuk buku Jerusalem 33, Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci (Trias Kuncahyono, 2011).

Januari tahun lalu, harian The Telegraph memberitakan, konflik agama di seluruh dunia meningkat. Berita itu dikutip dari laporan Pew Research Centre. Menurut lembaga riset itu, kekejaman dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok agama oleh pemerintah dan agama lain mencapai tingkat baru di semua wilayah di dunia. Sikap permusuhan sosial, seperti penyerangan atau tekanan terhadap kelompok minoritas terjadi di sepertiga dari 198 negara di dunia, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara. Terorisme yang berkaitan dengan agama dan kekerasan sektarian terjadi di seperlima dari 198 negara yang disurvei pada 2012. Hampir 30 persen dari negara-negara itu juga memberlakukan pembatasan hukum untuk beribadah dan berkhotbah.

Sepak terjang kelompok Boko Haram di Nigeria, sekadar menyebut sebagai contoh. Menurut Council on Foreign Relation’s Nigeria Security Tracker (NST), antara 29 Mei 2011-30 Juni 2013, terjadi 785 konflik sektarian di Nigeria. Antara Januari dan Juni 2013 saja, 481 orang tewas terbunuh dalam konflik etnik dan ekonomi berdimensi agama. Boko Haram mengklaim telah membunuh lebih dari 10.000 orang sejak 2009.

Apa yang terjadi di Irak bagian utara dan Suriah yang diduduki dan dikuasai kelompok bersenjata NIIS tidak jauh berbeda. Sejak Juni hingga Oktober 2014, tercatat 600.000 hingga satu juta warga Irak terpaksa meninggalkan kampung halaman demi keselamatan mereka, termasuk kelompok minoritas Kristen di Mosul dan di desa-desa sekitar Niniveh; kaum Yazidi, Kurdi, Muslim yang tidak sepaham dengan NIIS. Menurut data PBB, 3,1 juta pengungsi kini tinggal di berbagai tempat di Timur Tengah, atau bahkan keluar dari wilayah itu. Sekitar 191.000 orang Suriah tewas dibunuh dalam tiga tahun perang saudara (majalah WORLD, 15 Oktober 2014).

Kekerasan sektarian juga terjadi di Pakistan. Menurut Pakistan Institute for Peace Studies, selama 2013, terjadi hampir 1.200 pembunuhan sektarian dan lebih dari 80 orang Kristen tewas dalam dua kali bom bunuh diri di sebuah gereja di Peshawar. Tragedi serupa juga terjadi pada tahun 2014 dan 2015. (Weekly Insight and Analysis In Asia, 6 Agustus 2014).

Benarlah kiranya bahwa agama, seperti dikemukakan oleh Haryatmoko (Etika Politik dan Kekuasaan), sering tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan. Dari satu sisi, agama merupakan tempat orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh. Di lain sisi, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan, di banyak negara, termasuk di Indonesia.

Namun, seperti dikemukakan oleh tokoh terpelajar Muslim Turki, M Fethullah Gulen, adalah tidak adil menyalahkan agama hanya berdasarkan kesalahan sebagian umatnya (Anak-anak Abraham, Kebebasan dan Toleransi di Abad Konflik Agama, ed Kelly James Clark, 2014). Bila demikian, benar pula yang dikatakan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Filsuf di masa Pencerahan ini mengatakan, ”Segala-galanya adalah baik, sebagaimana keluar dari tangan Sang Pencipta; segala-galanya memburuk dalam tangan manusia.” Demikianlah wajah ”anak-anak Abraham” di zaman kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar