Jangan Bunuh E-Budgeting
Apung Widadi ;
Koordinator
Advokasi Seknas FITRA; Alumnus IESP FEB UNDIP
|
DETIKNEWS,
02 April 2015
Masyarakat
DKI Jakarta menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kisruh pembahasan APBD
DKI Jakarta 2015 antara DPRD dengan Pemprov. Bagaimana tidak, anggaran publik
seperti anggaran Kartu Jakarta Sehat (KIS) senilai Rp 2,2 Triliun, Kartu
Jakarta Pintar (KIP) sebesar Rp 1,5 T dan Bantuan Operasional Sekolah
sejumlah Rp. 2,5 T terlambat dicairkan. Pelayanan publik pekada masyarakat
juga terganggu karena gaji pegawai terlambat dibayarkan.
Sayangnya,
di negeri ini, substansi penyelesaian masalah sering tertutup dengan
akrobatik politik yang cenderung kurang produktif. Dalam konflik kemarin kita
dihadirkan perang mulut dan demonstrasi emosi antara DPRD dengan Gubernur DKI
Jakarta. Perkelahian personal inilah yang menyebabkan sikap gengsi politisi
dan akhirnya menambah rumit penyelesaian masalah. Akibatnya masalah terkait
dengan hak publik, perbaikan sistem anggaran dan politik anggaran yang pro
rakyat cenderung diabaikan.
Hal
tersebut berbeda dengan situasi Amerika 2013-2014 lalu saat RAPBN usulan
pemerintah ditolak oleh Parlemen sehingga pelayanan publik berhenti total,
dan ratusan pegawai di PHK. Perekonomian Amerika saat itu mengalami shutdown
dan berdampak pada krisis global. Namun, karena penyelesaian secara subtantif
dan berorientasi pada masyarakat, parlemen akhirnya tidak gengsi dan
menyetujui RAPBN dengan beberapa pertimbangan alokasi untuk sosial yang lebih
banyak. Kondisi pelayanan publik dan ekonomi pun membaik tidak lebih dari
satu bulan.
Belajar
dari konflik pembahasan APBD DKI Jakarta saat ini, Sistem anggaran elektronik
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi atau e-budgeting yang
digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu diapresiasi. Cara kerja
sistem ini dinilai mampu mendeteksi dana siluman dan mencegah korupsi dalam
perencanaan anggaran RAPBD DKI 2015 senilai Rp. 12,1 Triliun.
Selain
sudah terbukti mencegah korupsi, e-budgeting mampu menghemat anggaran dengan
efisiensi anggaran 5 sampai 10 persen dari APBD di Kota Surabaya. Efisiensi
anggaran dapat tercapai karena ada beberapa komponen hasil survey lapangan
yang digunakan dalam penyusunan e-budgeting. Kompenen efisiensi tersebut
yaitu standarisasi harga dasar, harga pokok kegiatan dan analisa standar
belanja daerah yang menjadi input dalam sistem anggaran elektronik.
Sehingga,
dengan cara proses penyusunan seperti ini, markup atau melebihi harga
sebenarnya dapat terdeteksi. Pengadaan pemerintah dalam bentuk belanja barang
dan jasa yang biasanya terjadi markup karena kongkalikong birokrasi, politisi
dengan pengusaha dapat dihilangkan. Di Jakarta tahun 2015 ini, dugaan markup
mampu terdeteksi dalam pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS)
dibeberapa sekolah senilai Rp. 6 Miliar per unit, padahal harga standar dalam
negeri maupun internasional hanya Rp. 250 juta.
Problematika
Saat ini dibalik kisruh APBD DKI Jakarta 2015 yang tak kunjung
reda, ada satu amanat inovasi yang harus dipertahankan dan dikembangkan yaitu
e budgeting. Sayangnya saat ini sistem e budgeting ini di Jakarta khususnya
mendapat perlawanan dari politisi yang merasa terganggu. Alasannya tidak lain karena
sistem ini mampu untuk mencegah korupsi di perencanaan dan memutus
kongkalikong antara politisi, birokrasi dengan pengusaha. Bentuk
nyata perlawanan misalnya dengan tidak mengakui APBD DKI 2015 versi
e-budgeting, meragukan dasar hukumnya hingga terakhir Panitia Hak Angket DPRD
DKI mencecar dan mempertanyakan sistem kerja dan hasil dari konsultan
pembuatan e budgeting.
Sebenarnya,
e-budgeting bukanlah salah satu sistem tunggal. Sistem e budgeting hanya
salah satu komponen dalam terobosan sistem pemerintahan masadepan yaitu
secara elektronik atau e-government. Sistem tersebut ini dimaksudkan untuk
mempermudah hubungan antara pemerintah dengan stakeholder seperti masyarakat
dalam hal partisipasi dan pelayanan public (e-partisipatif), internal
kepegawaian dalam pemantauan kinerja (e-kinerja), dunia usaha dan lembaga
lainya baik profit maupun non profit dalam hal pelayanan informasi dan bisnis
(e-procurement, e-ppid, e-invesment). Dalam era otonomi daerah saat ini, baru
Pemerintah Kota Surabaya yang sudah menerapkan e-government secara
komperhensif dengan tujuan utama mengevaluasi kinerja pemerintahan.
Kembali
kepada e-budgeting, jujur harus diakui penerapan sistem ini di Indonesia
masih belum sempurna. Kritik DPRD DKI Jakarta tidak sepenuhnya salah, ada
benarnya. Tetapi mungkin situasi politik yang gaduh sehingga kritik nampak
tidak konstruktif dan sebaliknya cenderung beraroma untuk menentang sistem
e-budgeting ini. Untuk itu mari kita lihat catatan evaluasi dari pihak yang
lebih jernih sesuai dengan kewenangannya, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) RI.
Sebagai
sebuah sistem baru, e-budgeting memang perlu terus diuji, dan dievaluasi. Pada hasil audit terhadap keuangan daerah DKI Jakarta
tahun 2014, BPK menyampaikan bahwa, sistem
e-budgeting justru terindikasi merugikan keuangan DKI sebesar Rp. 1,42 miliar
(Kompas, 21/7/2014). Anggota V BPK
RI Agung Firman Sampurna saat itu mengatakan, kegiatan pembuatan sistem
informasi e-surat, e-dokumen, e-harga, e-budgeting, e-aset, e-fasos fasum dan
e-pegawai tidak sesuai pengadaan barang dan jasa (payung hukum). Selain itu,
sebagian outputnya menurut BPK belum sesuai dengan kesepakatan program
(implementasi).
Untuk
sebuah inovasi pemerintahan daerah, sebenarnya hasil audit BPK diatas
bukanlah vonis yang bersifat final dan mengikat bahwa sistem elektronik
khususnya e-budgeting telah gagal. Namun sebaliknya, saya melihatnya dari
catatan BPK tersebut memunculkan peta problematika sekaligus rekomendasi
dasar perbaikan e-budgeting secara menyeluruh dengan tanggungjawab semua
stakeholdernya. Lebih jauh, probematika dan rekomendasi tersebut ada tiga
hal. Pertama terkait dengan payung hukum, kedua tentang konseptual dan ketiga
implementasi. Untuk hal pertama yaitu payung hukum, secara aturan resmi yang
mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan elektronik khususnya e-budgeting
memang belum secara implisit ada.
Namun
tertuang secara eksplisit dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah nomor 23
Tahun 2014 BAB XXI tentang Inovasi Daerah. Lebih rinci lagi, semangat dalam
Inovasi Daerah tersebut dijelaskan dalam Pasal 386 ayat (1) bahwa dalam
rangka peningkatan kinerja penyelenggara Pemerintahan Daerah, Pemerintah
Daerah dapat melakukan inovasi. Dalam pasal selanjutnya 387 dijelaskan secara
rinci prinsip dalam merumuskan inovasi daerah diantaranya, a) peningkatan
efisiensi, b) perbaikan efektivitas, c) perbaikan kualitas pelayanan, d)
tidak ada konflik kepentingan, e) berorientasi kepada kepentingan umum dan f)
dilakukan secara terbuka. Secara prinsip dan semangat sebenarnya inovasi
e-budgeting sudah sesuai dengan aturan pelaksanaan pemerintahan daerah.
Sayangnya,
sampai batas prinsip dan semangat yang baik, e-budgeting yang dilaksanakan di
Jakarta dan Surabaya disinyalir masih bersifat programatik. Belum dalam
bentuk kebijakan daerah. Hal ini merujuk pada pasal 388 UU pemerintah daerah
dimana, seharusnya inovasi daerah dirumuskan bersama antara DPRD dan
Pemerintah Daerah ditetapkan dalam paripurna yang ditetapkan dengan bentuk
Perkada. Kepala daerah juga diharuskan melaporkan inovasi kepada Menteri
dalam bentuk cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk inovasi, dan hasil
yang akan dicapai.
Dalam
tahap ini, ketika invonasi e-budgeting di DKI Jakarta sudah berbentuk Perkada
yang disahkan di paripurna, seharusnya DPRD tidak melakukan penolakan. Akan
tetapi jika hingga saat ini belum terjadi kesepahaman bersama tentang
pentingnya e-budgeting, kemungkinan DPRD belum paham tentang mekanisme atau
memang belum ada aturan daerah sebagai payung hukumnya. Problem ini juga
kemungkinan akan muncul penolakan oleh DPRD Kota Surabaya, namun Walikota
Surabaya Risma tidak takut jika kisruh e-budgeting juga terjadi di Surabaya.
Risma mengatakan, masalahnya bukan di e-budgeting, tetapi di mekanisme
pembahasan anggaran dengan DPRD (03/15).
Kedua,
terkait dengan konseptual e-budgeting dirasa masih perlu elaborasi dan
penyempurnaan. Di DKI Jakarta, DPRD masih menilai sebagai sistem yang justru
menghambat proses penganggaran dalam hal input mata anggaran sehingga usulan
aspirasi wakil rakyat seolah-olah tidak diakomodir. Dari sisi Gubernur DKI
Jakarta, lebih kuat e-budgeting sebagai sarana menghemat anggaran dan
meminimalisir penyalahgunaan anggaran. Berbeda dengan di Surabaya yang
menjadi percontohan Jakarta, e-budgeting selain mencegah korupsi juga lebih
komperhensif dipadu dengan sistem e-government sehingga efisiensi pemerintahan
dapat tercapai dan optimal dalam pelayanan publik.
Selain
itu, secara konseptual sekaligus problem implementasi, e-budgeting sebagai
inovasi di Jakarta dan Surabaya memang belum terlembagakan secara independen
dalam perencanaan, penyusunan dan implementasinya. Sistem ini masih dikelola
oleh konsultan langsung dan tim adhoc dari pihak ketiga non pemerintah. Akan
lebih bagus, jika sistem ini tidak hanya program tetapi sebagai kebijakan
daerah yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen dibawah kepala daerah
dan berisi ratusan ahli ekonomi, anggaran dan hukum. Hal ini perlu agar,
terjalin pula partisipasi masyarakat dan stakeholder bisa dalam bentuk
e-partisipasi.
Secara
praktik, beberapa Negara tetangga sudah melaksanakan sistem e-budgeting dengan
baik. Amerika, Korea Selatan dan Filipina sudah cukup pada awal tahun 2000-an
sudah mengaplikasi dan terus memperbaiki sistem ini dalam kerangka
e-government. Di Filipina, menurut Mario L Relampagos wakil Sekretariat
Jenderal Departemen of Budget and Management (DBM) dalam presentasinya di
Tokyo 24 Agustus 2004 menjelaskan, secara konsep dan pelaksanaan, proses
e-budgeting dilakukan oleh sebuah badan yang bersifat independen langsung
dibawah kepala Negara yaitu DBM. DBM ini yang melakukan formulasi analisa
lapangan seperti standar harga, menampung partisipasi masyarakat dan hingga
kebijakan makro ekonomi dan rencana pembangunan jangka menengah hingga
mengukur pengeluaran anggaran untuk kebijakan publik sebagai bentuk
akuntabilitas.
Bahkan,
DMN ini dapat memonitor dan menilai operasi keuangan unit pemerintah daerah
dan BUMN. Sedangkan di Korea Selatan dam Amerika, sistem e-budgeting secara
teknik implementasi, cara kerja dan pelaksanaan hampir sama dengan DBM di
Filipina. Yaitu e budgeting dikelola secara institusi independen bernama The Office of Management and Budgeting
(OMB). Sistem ini juga terintegrasi dengan e-parcipatory dan e-government
yang berorientasi pada pembangunan dan pelayanan publik secara elektronik (Song Hee Joon, Ewha Womans University, 2005).
Rekomendasi
Untuk
kedepan, khususnya dalam kasus di DKI Jakarta, catatan problematika
pelaksanaan e-budgeting seharusnya dijadikan oleh DPRD DKI Jakarta sebagai
momentum perbaikan mendorong transpasansi dan akuntabilitas anggaran. Bukan
sebaliknya justru sistem baik ini akan dikubur demi kepentingan politik
sesaat. Jika dilaksanakan, tentunya di masadepan akan sangat bermanfaat untuk
pencegahan korupsi, efisiensi anggaran dan mengefektifkan anggaran sepenuhnya
untuk pembangunan, kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam
hal regulasi, dan implementasi perbaikan e-budgeting, Pemprov DKI Jakarta
juga perlu sepaham dan berkomitmen melembagakan dengan membuat payung hukum
Perkada, dan juga melembagakan pengelolaan e-budgeting dalam lembaga
independen seperti Budget Office di Filipina, Amerika dan Korea Selatan.
Pelembagaan
ini dapat mengakhiri ego sektoral Pemprov dan DPRD sehingga data dan
rancangan penyusunan yang dikeluarkan lembaga independen tersebut dapat
diterima kedua belah pihak. Lebih jauh lagi, ketika sistem e-budgeting
Jakarta dan Surabaya ini menjadi inovasi dan pemerintah daerah yang bagus,
tentu akan diadopsi juga oleh daerah daerah lainnya sebagi percontohan.
Sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dalam hal
payung hukum, panduan konseptual dan implementasi.
Untuk
itu, Presiden bersama Menteri terkait perlu membuat payung hukum terkait
inovasi pemerintahan daerah untuk melegalkan aturan hukum tentang
e-budgeting, konsep pelaksanaan dan tata cara implementasi dan evaluasinya.
Bentuk payung hukum dan panduan ini bisa berupa Peraturan Pemerintah dari UU
Pemerintah Daerah No. 23 tahun 2014 ataupun keputusan presiden yang mampu
diterapkan didaerah.
Secara
global, dalam visi pemerintahan masadepan, Presiden juga perlu cepat
mengeluarkan regulasi e-budgeting dan e-government secara nasional agar
Pemerintah pusat dan daerah siap dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi Asia
2015. Sebagai modal, mari berkaca dengan kinerja pemerintah Korea Selatan,
dengan menerapkan e-budgeting dan e-government berdampak pada rendahnya
tingkat korupsi dan akselerasi pembangunan ekonomi. Secara statistik, tahun
2012-2014, dalam survey E-Government
Development Indeks (EGDI), Negara K-Pop ini mampu menempati urutan
pertama di dunia dan Asia dengan angka 0.9283, Indeks Perception Corruption mendapat peringkat 43 di dunia dan
kinerja pertumbuhan ekonomi mencapai 7, 2 persen.
Akhirnya,
dibalik polemik e-budgeting ada banyak hal baik untuk mewujudkan proses
pemerintahan daerah yang baik dan demokratis. Maka dari itu, selain
menyelamatkan KPK, e-budgeting ini juga perlu diselamatkan bersama agar
pemerintahan pusat dan daerah dapat lebih demokratis dengan memanfaatkan
teknologi elektronik (e-government)
untuk mewujudkan otonomi daerah yang sesungguhnya yaitu pelayan publik demi
kesejahteraan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar