Sabtu, 04 April 2015

Jangan Bunuh E-Budgeting

Jangan Bunuh E-Budgeting

Apung Widadi  ;  Koordinator Advokasi Seknas FITRA; Alumnus IESP FEB UNDIP
DETIKNEWS, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Masyarakat DKI Jakarta menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kisruh pembahasan APBD DKI Jakarta 2015 antara DPRD dengan Pemprov. Bagaimana tidak, anggaran publik seperti anggaran Kartu Jakarta Sehat (KIS) senilai Rp 2,2 Triliun, Kartu Jakarta Pintar (KIP) sebesar Rp 1,5 T dan Bantuan Operasional Sekolah sejumlah Rp. 2,5 T terlambat dicairkan. Pelayanan publik pekada masyarakat juga terganggu karena gaji pegawai terlambat dibayarkan.

Sayangnya, di negeri ini, substansi penyelesaian masalah sering tertutup dengan akrobatik politik yang cenderung kurang produktif. Dalam konflik kemarin kita dihadirkan perang mulut dan demonstrasi emosi antara DPRD dengan Gubernur DKI Jakarta. Perkelahian personal inilah yang menyebabkan sikap gengsi politisi dan akhirnya menambah rumit penyelesaian masalah. Akibatnya masalah terkait dengan hak publik, perbaikan sistem anggaran dan politik anggaran yang pro rakyat cenderung diabaikan.

Hal tersebut berbeda dengan situasi Amerika 2013-2014 lalu saat RAPBN usulan pemerintah ditolak oleh Parlemen sehingga pelayanan publik berhenti total, dan ratusan pegawai di PHK. Perekonomian Amerika saat itu mengalami shutdown dan berdampak pada krisis global. Namun, karena penyelesaian secara subtantif dan berorientasi pada masyarakat, parlemen akhirnya tidak gengsi dan menyetujui RAPBN dengan beberapa pertimbangan alokasi untuk sosial yang lebih banyak. Kondisi pelayanan publik dan ekonomi pun membaik tidak lebih dari satu bulan.

Belajar dari konflik pembahasan APBD DKI Jakarta saat ini, Sistem anggaran elektronik menggunakan teknologi informasi dan komunikasi atau e-budgeting yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu diapresiasi. Cara kerja sistem ini dinilai mampu mendeteksi dana siluman dan mencegah korupsi dalam perencanaan anggaran RAPBD DKI 2015 senilai Rp. 12,1 Triliun.

Selain sudah terbukti mencegah korupsi, e-budgeting mampu menghemat anggaran dengan efisiensi anggaran 5 sampai 10 persen dari APBD di Kota Surabaya. Efisiensi anggaran dapat tercapai karena ada beberapa komponen hasil survey lapangan yang digunakan dalam penyusunan e-budgeting. Kompenen efisiensi tersebut yaitu standarisasi harga dasar, harga pokok kegiatan dan analisa standar belanja daerah yang menjadi input dalam sistem anggaran elektronik.

Sehingga, dengan cara proses penyusunan seperti ini, markup atau melebihi harga sebenarnya dapat terdeteksi. Pengadaan pemerintah dalam bentuk belanja barang dan jasa yang biasanya terjadi markup karena kongkalikong birokrasi, politisi dengan pengusaha dapat dihilangkan. Di Jakarta tahun 2015 ini, dugaan markup mampu terdeteksi dalam pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) dibeberapa sekolah senilai Rp. 6 Miliar per unit, padahal harga standar dalam negeri maupun internasional hanya Rp. 250 juta.

Problematika

Saat ini dibalik kisruh APBD DKI Jakarta 2015 yang tak kunjung reda, ada satu amanat inovasi yang harus dipertahankan dan dikembangkan yaitu e budgeting. Sayangnya saat ini sistem e budgeting ini di Jakarta khususnya mendapat perlawanan dari politisi yang merasa terganggu. Alasannya tidak lain karena sistem ini mampu untuk mencegah korupsi di perencanaan dan memutus kongkalikong antara politisi, birokrasi dengan pengusaha. Bentuk nyata perlawanan misalnya dengan tidak mengakui APBD DKI 2015 versi e-budgeting, meragukan dasar hukumnya hingga terakhir Panitia Hak Angket DPRD DKI mencecar dan mempertanyakan sistem kerja dan hasil dari konsultan pembuatan e budgeting.

Sebenarnya, e-budgeting bukanlah salah satu sistem tunggal. Sistem e budgeting hanya salah satu komponen dalam terobosan sistem pemerintahan masadepan yaitu secara elektronik atau e-government. Sistem tersebut ini dimaksudkan untuk mempermudah hubungan antara pemerintah dengan stakeholder seperti masyarakat dalam hal partisipasi dan pelayanan public (e-partisipatif), internal kepegawaian dalam pemantauan kinerja (e-kinerja), dunia usaha dan lembaga lainya baik profit maupun non profit dalam hal pelayanan informasi dan bisnis (e-procurement, e-ppid, e-invesment). Dalam era otonomi daerah saat ini, baru Pemerintah Kota Surabaya yang sudah menerapkan e-government secara komperhensif dengan tujuan utama mengevaluasi kinerja pemerintahan.

Kembali kepada e-budgeting, jujur harus diakui penerapan sistem ini di Indonesia masih belum sempurna. Kritik DPRD DKI Jakarta tidak sepenuhnya salah, ada benarnya. Tetapi mungkin situasi politik yang gaduh sehingga kritik nampak tidak konstruktif dan sebaliknya cenderung beraroma untuk menentang sistem e-budgeting ini. Untuk itu mari kita lihat catatan evaluasi dari pihak yang lebih jernih sesuai dengan kewenangannya, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Sebagai sebuah sistem baru, e-budgeting memang perlu terus diuji, dan dievaluasi. Pada hasil audit terhadap keuangan daerah DKI Jakarta tahun 2014, BPK menyampaikan bahwa, sistem e-budgeting justru terindikasi merugikan keuangan DKI sebesar Rp. 1,42 miliar (Kompas, 21/7/2014). Anggota V BPK RI Agung Firman Sampurna saat itu mengatakan, kegiatan pembuatan sistem informasi e-surat, e-dokumen, e-harga, e-budgeting, e-aset, e-fasos fasum dan e-pegawai tidak sesuai pengadaan barang dan jasa (payung hukum). Selain itu, sebagian outputnya menurut BPK belum sesuai dengan kesepakatan program (implementasi).

Untuk sebuah inovasi pemerintahan daerah, sebenarnya hasil audit BPK diatas bukanlah vonis yang bersifat final dan mengikat bahwa sistem elektronik khususnya e-budgeting telah gagal. Namun sebaliknya, saya melihatnya dari catatan BPK tersebut memunculkan peta problematika sekaligus rekomendasi dasar perbaikan e-budgeting secara menyeluruh dengan tanggungjawab semua stakeholdernya. Lebih jauh, probematika dan rekomendasi tersebut ada tiga hal. Pertama terkait dengan payung hukum, kedua tentang konseptual dan ketiga implementasi. Untuk hal pertama yaitu payung hukum, secara aturan resmi yang mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan elektronik khususnya e-budgeting memang belum secara implisit ada.

Namun tertuang secara eksplisit dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah nomor 23 Tahun 2014 BAB XXI tentang Inovasi Daerah. Lebih rinci lagi, semangat dalam Inovasi Daerah tersebut dijelaskan dalam Pasal 386 ayat (1) bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggara Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi. Dalam pasal selanjutnya 387 dijelaskan secara rinci prinsip dalam merumuskan inovasi daerah diantaranya, a) peningkatan efisiensi, b) perbaikan efektivitas, c) perbaikan kualitas pelayanan, d) tidak ada konflik kepentingan, e) berorientasi kepada kepentingan umum dan f) dilakukan secara terbuka. Secara prinsip dan semangat sebenarnya inovasi e-budgeting sudah sesuai dengan aturan pelaksanaan pemerintahan daerah.

Sayangnya, sampai batas prinsip dan semangat yang baik, e-budgeting yang dilaksanakan di Jakarta dan Surabaya disinyalir masih bersifat programatik. Belum dalam bentuk kebijakan daerah. Hal ini merujuk pada pasal 388 UU pemerintah daerah dimana, seharusnya inovasi daerah dirumuskan bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah ditetapkan dalam paripurna yang ditetapkan dengan bentuk Perkada. Kepala daerah juga diharuskan melaporkan inovasi kepada Menteri dalam bentuk cara melakukan inovasi, dokumentasi bentuk inovasi, dan hasil yang akan dicapai.

Dalam tahap ini, ketika invonasi e-budgeting di DKI Jakarta sudah berbentuk Perkada yang disahkan di paripurna, seharusnya DPRD tidak melakukan penolakan. Akan tetapi jika hingga saat ini belum terjadi kesepahaman bersama tentang pentingnya e-budgeting, kemungkinan DPRD belum paham tentang mekanisme atau memang belum ada aturan daerah sebagai payung hukumnya. Problem ini juga kemungkinan akan muncul penolakan oleh DPRD Kota Surabaya, namun Walikota Surabaya Risma tidak takut jika kisruh e-budgeting juga terjadi di Surabaya. Risma mengatakan, masalahnya bukan di e-budgeting, tetapi di mekanisme pembahasan anggaran dengan DPRD (03/15).

Kedua, terkait dengan konseptual e-budgeting dirasa masih perlu elaborasi dan penyempurnaan. Di DKI Jakarta, DPRD masih menilai sebagai sistem yang justru menghambat proses penganggaran dalam hal input mata anggaran sehingga usulan aspirasi wakil rakyat seolah-olah tidak diakomodir. Dari sisi Gubernur DKI Jakarta, lebih kuat e-budgeting sebagai sarana menghemat anggaran dan meminimalisir penyalahgunaan anggaran. Berbeda dengan di Surabaya yang menjadi percontohan Jakarta, e-budgeting selain mencegah korupsi juga lebih komperhensif dipadu dengan sistem e-government sehingga efisiensi pemerintahan dapat tercapai dan optimal dalam pelayanan publik.

Selain itu, secara konseptual sekaligus problem implementasi, e-budgeting sebagai inovasi di Jakarta dan Surabaya memang belum terlembagakan secara independen dalam perencanaan, penyusunan dan implementasinya. Sistem ini masih dikelola oleh konsultan langsung dan tim adhoc dari pihak ketiga non pemerintah. Akan lebih bagus, jika sistem ini tidak hanya program tetapi sebagai kebijakan daerah yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen dibawah kepala daerah dan berisi ratusan ahli ekonomi, anggaran dan hukum. Hal ini perlu agar, terjalin pula partisipasi masyarakat dan stakeholder bisa dalam bentuk e-partisipasi.

Secara praktik, beberapa Negara tetangga sudah melaksanakan sistem e-budgeting dengan baik. Amerika, Korea Selatan dan Filipina sudah cukup pada awal tahun 2000-an sudah mengaplikasi dan terus memperbaiki sistem ini dalam kerangka e-government. Di Filipina, menurut Mario L Relampagos wakil Sekretariat Jenderal Departemen of Budget and Management (DBM) dalam presentasinya di Tokyo 24 Agustus 2004 menjelaskan, secara konsep dan pelaksanaan, proses e-budgeting dilakukan oleh sebuah badan yang bersifat independen langsung dibawah kepala Negara yaitu DBM. DBM ini yang melakukan formulasi analisa lapangan seperti standar harga, menampung partisipasi masyarakat dan hingga kebijakan makro ekonomi dan rencana pembangunan jangka menengah hingga mengukur pengeluaran anggaran untuk kebijakan publik sebagai bentuk akuntabilitas.

Bahkan, DMN ini dapat memonitor dan menilai operasi keuangan unit pemerintah daerah dan BUMN. Sedangkan di Korea Selatan dam Amerika, sistem e-budgeting secara teknik implementasi, cara kerja dan pelaksanaan hampir sama dengan DBM di Filipina. Yaitu e budgeting dikelola secara institusi independen bernama The Office of Management and Budgeting (OMB). Sistem ini juga terintegrasi dengan e-parcipatory dan e-government yang berorientasi pada pembangunan dan pelayanan publik secara elektronik (Song Hee Joon, Ewha Womans University, 2005).

Rekomendasi

Untuk kedepan, khususnya dalam kasus di DKI Jakarta, catatan problematika pelaksanaan e-budgeting seharusnya dijadikan oleh DPRD DKI Jakarta sebagai momentum perbaikan mendorong transpasansi dan akuntabilitas anggaran. Bukan sebaliknya justru sistem baik ini akan dikubur demi kepentingan politik sesaat. Jika dilaksanakan, tentunya di masadepan akan sangat bermanfaat untuk pencegahan korupsi, efisiensi anggaran dan mengefektifkan anggaran sepenuhnya untuk pembangunan, kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam hal regulasi, dan implementasi perbaikan e-budgeting, Pemprov DKI Jakarta juga perlu sepaham dan berkomitmen melembagakan dengan membuat payung hukum Perkada, dan juga melembagakan pengelolaan e-budgeting dalam lembaga independen seperti Budget Office di Filipina, Amerika dan Korea Selatan.

Pelembagaan ini dapat mengakhiri ego sektoral Pemprov dan DPRD sehingga data dan rancangan penyusunan yang dikeluarkan lembaga independen tersebut dapat diterima kedua belah pihak. Lebih jauh lagi, ketika sistem e-budgeting Jakarta dan Surabaya ini menjadi inovasi dan pemerintah daerah yang bagus, tentu akan diadopsi juga oleh daerah daerah lainnya sebagi percontohan. Sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dalam hal payung hukum, panduan konseptual dan implementasi.

Untuk itu, Presiden bersama Menteri terkait perlu membuat payung hukum terkait inovasi pemerintahan daerah untuk melegalkan aturan hukum tentang e-budgeting, konsep pelaksanaan dan tata cara implementasi dan evaluasinya. Bentuk payung hukum dan panduan ini bisa berupa Peraturan Pemerintah dari UU Pemerintah Daerah No. 23 tahun 2014 ataupun keputusan presiden yang mampu diterapkan didaerah.

Secara global, dalam visi pemerintahan masadepan, Presiden juga perlu cepat mengeluarkan regulasi e-budgeting dan e-government secara nasional agar Pemerintah pusat dan daerah siap dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi Asia 2015. Sebagai modal, mari berkaca dengan kinerja pemerintah Korea Selatan, dengan menerapkan e-budgeting dan e-government berdampak pada rendahnya tingkat korupsi dan akselerasi pembangunan ekonomi. Secara statistik, tahun 2012-2014, dalam survey E-Government Development Indeks (EGDI), Negara K-Pop ini mampu menempati urutan pertama di dunia dan Asia dengan angka 0.9283, Indeks Perception Corruption mendapat peringkat 43 di dunia dan kinerja pertumbuhan ekonomi mencapai 7, 2 persen.

Akhirnya, dibalik polemik e-budgeting ada banyak hal baik untuk mewujudkan proses pemerintahan daerah yang baik dan demokratis. Maka dari itu, selain menyelamatkan KPK, e-budgeting ini juga perlu diselamatkan bersama agar pemerintahan pusat dan daerah dapat lebih demokratis dengan memanfaatkan teknologi elektronik (e-government) untuk mewujudkan otonomi daerah yang sesungguhnya yaitu pelayan publik demi kesejahteraan masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar