Senin, 06 April 2015

Gerus Stigma, Terus Semangat

Gerus Stigma, Terus Semangat

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
JAWA POS, 04 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

IMAM Nawawi namanya. Dia tidak termasuk dalam struktur organisasi yang laman internetnya ditutup Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) beberapa hari lalu. Tapi, karena bekerja –berdarmabakti, tepatnya– di organisasi yang memiliki kaitan historis dan kelekatan batiniah dengan Hidayatullah, Imam yang berkhidmat di Baitul Maal Hidayatullah pun tak pelak ikut kena getahnya.

Saat aku tanya apakah penutupan situs www.hidayatullah.com akan berimbas terhadap Baitul Maal Hidayatullah, Imam menjawab singkat, ''Itu pasti, Mas.''

Di antara sekian banyak personel Baitul Maal Hidayatullah, termasuk Syariful dan Firjun, Imam adalah sahabat yang paling sering berkomunikasi denganku. Tak aneh, karena Imam dan aku memiliki kesukaan yang sama: membaca, berdiskusi, dan menulis. Secara berkala, aku menikmati artikel-artikel penuh hikmah yang Imam tulis di berbagai media cetak nasional dan blog internet. Nah, karena Imam berlatar penulis, dan mengingat-ingat kembali komunikasi kami berdua selama ini, tiga kata dalam jawaban Imam di atas jelas terlalu amat sangat pendek. Responsnya yang begitu singkat serta-merta menghadirkan gelembung fantasi di benakku bahwa suasana hati Imam sedang kurang baik. Semoga aku keliru, dan kerisauan itu lebih sebagai pantulan isi hatiku sendiri.

Terus terang, tidak terlalu banyak publikasi keislaman yang bisa menahanku untuk berlama-lama membacanya. Di antara yang sedikit itu, yang paling bagus adalah majalah Hidayatullah. Aku tak tahu apakah publikasi cetak yang terbit sebulan sekali itu nantinya juga dilarang terbit dengan alasan yang sama seperti www.hidayatullah.com. Tapi, saat memperlihatkan majalah itu ke orang tuaku, aku menyanjung, ''Ini bagus. Kentara redaksinya pintar. Juga bening, karena tidak ada sedikit pun warna agresi di dalamnya.'' Orang tuaku, setelah membacanya, juga sepakat. ''Memang bagus. Bagus.''

Setali tiga uang ketika belakangan aku tahu bahwa Baitul Maal Hidayatullah (BMH) ternyata juga menerbitkan majalahnya sendiri. Namanya Mulia. Di majalah yang juga penuh optimisme dan tuntunan itulah Imam memberikan kesempatan kepadaku untuk menulis rutin saban kali Mulia terbit.

Sejak itulah, majalah Mulia yang biasanya menyajikan tulisan-tulisan yang menenteramkan hati serta memajang potret-potret yang mewakili kecerahan hidup mulai juga mengangkat artikel-artikel tentang kekerasan. ''Biang kerok''-nya siapa lagi kalau bukan aku. Apa boleh buat, bidang ilmu yang coba kutekuni rupanya hampir selalu mengilhamiku untuk menghasilkan naskah-naskah gelap. Tentang kekerasan seksual, kehidupan manula di penjara, hakim busuk, hingga proses eksekusi mati dan topik-topik maut lainnya. ''Aneh''-nya Imam, walau tahu kekelaman dan kejanggalan dalam naskah yang kukirim, Imam tidak pernah protes. Bahkan, rubrik yang kuisi itu Imam namai Hidup Mulia. Ironis. Tapi, malah jadi indah, sepertinya.

Kantor Baitul Maal Hidayatullah di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, juga nyaman dikunjungi. Fantastis. Sebab, mulai lantai dasar hingga lantai teratas, berserak anak-anak muda yang sedemikian tekunnya mengajak orang banyak untuk berbagi manfaat kepada sesama. Memang, ada segelintir staf yang terkesan malu-malu saat kuajak bicara. Selebihnya, walau bersahaja, mereka memperlihatkan gerak gerik tubuh yang percaya diri.

Bahwa Baitul Maal Hidayatullah adalah lembaga yang tembus pandang terlihat sejak di lobi. Di dindingnya terpajang berbagai sertifikat pengakuan tentang penerapan prinsip-prinsip tata kelola organisasi modern dan akuntabel yang sudah Baitul Maal Hidayatullah lakukan. Tak lain, itulah wujud pertanggungjawaban lembaga tersebut terhadap masyarakat luas pada umumnya dan para penderma pada khususnya.

Atmosfer di kantor Baitul Maal Hidayatullah jelas berbeda cita rasa dengan suasana di kantor salah satu organisasi keislaman lain yang juga pernah kuajak berinteraksi belasan tahun silam. Atmosfer itu tentu merupakan cerminan ''induk'' Baitul Maal Hidayatullah sendiri, yaitu organisasi Hidayatullah, yang kemudian mewariskan jejak genetikanya juga ke majalah Hidayatullah dan www.hidayatullah.com. Jadi, dengan kata lain, induk yang satu telah menurunkan keelokan budi yang sama pada tiga adik-beradik itu.

Dengan jati diri sedemikian rupa, memang masuk akal jika ada reaksi terperanjat –termasuk aku– manakala www.hidayatullah.com masuk dalam daftar enam belas situs yang diblokir Kominfo berdasar permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan alasan menyebar paham Islam radikal.

Reaksi BNPT yang akan mengkaji ulang situs-situs yang diblokir tersebut, setelah mendapat tekanan masif dari masyarakat, memang sudah semestinya dilakukan. Namun, pada sisi yang sama, sikap BNPT itu justru menunjukkan betapa tidak cermatnya BNPT dalam menentukan dan menerapkan tolok ukur atau kriteria tentang kebahayaan situs-situs internet. Bahkan, andaikan suatu saat pemblokiran atas sebagian maupun seluruh situs itu dihentikan, nama baik mereka tetap tidak serta-merta bisa dipulihkan. Alhasil, sekali lagi kepada khalayak luas dipertontonkan sebuah stigmatisasi, yang seolah merupakan produk berpikir yang otomatis terbentuk ketika perang terhadap terorisme dilancarkan. Siapa yang paling rentan mengalami stigmatisasi seperti itu? Dunia sudah tahu jawabannya. Dan Hidayatullah, berikut Imam Nawawi di dalamnya, adalah salah satu korbannya.

Betapa pun aku menggugat stigmatisasi yang BNPT peragakan, aku tidak bernafsu untuk ikut-ikutan menyudutkan BNPT. Bombardir telunjuk ke muka BNPT berisiko mengakibatkan institusi tersebut malah menderita demoralisasi. Kontras, aku memiliki kepentingan besar untuk memberikan semangat ekstra kepada seluruh sahabatku di Baitul Maal Hidayatullah, bahwa orang-orang baik –insya Allah– akan terus menitipkan kebaikan mereka kepada lembaga tersebut. Itu semua, sekali lagi, karena satu faktor: gen kebaikan yang dipercaya mengalir di pembuluh nadi keluarga besar Hidayatullah. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar