Gerus Stigma, Terus Semangat
Reza Indragiri Amriel ;
Alumnus
Psikologi Forensik, The University of Melbourne
|
JAWA
POS, 04 April 2015
IMAM Nawawi namanya. Dia tidak termasuk dalam struktur
organisasi yang laman internetnya ditutup Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) beberapa hari lalu. Tapi, karena bekerja
–berdarmabakti, tepatnya– di organisasi yang memiliki kaitan historis dan
kelekatan batiniah dengan Hidayatullah, Imam yang berkhidmat di Baitul Maal
Hidayatullah pun tak pelak ikut kena getahnya.
Saat aku tanya apakah penutupan situs www.hidayatullah.com akan
berimbas terhadap Baitul Maal Hidayatullah, Imam menjawab singkat, ''Itu pasti, Mas.''
Di antara sekian banyak personel Baitul Maal Hidayatullah,
termasuk Syariful dan Firjun, Imam adalah sahabat yang paling sering
berkomunikasi denganku. Tak aneh, karena Imam dan aku memiliki kesukaan yang
sama: membaca, berdiskusi, dan menulis.
Secara berkala, aku menikmati artikel-artikel penuh hikmah yang Imam tulis di
berbagai media cetak nasional dan blog internet. Nah, karena Imam berlatar
penulis, dan mengingat-ingat kembali komunikasi kami berdua selama ini, tiga
kata dalam jawaban Imam di atas jelas terlalu amat sangat pendek. Responsnya
yang begitu singkat serta-merta menghadirkan gelembung fantasi di benakku
bahwa suasana hati Imam sedang kurang baik. Semoga aku keliru, dan kerisauan
itu lebih sebagai pantulan isi hatiku sendiri.
Terus terang, tidak terlalu banyak publikasi keislaman yang bisa
menahanku untuk berlama-lama membacanya. Di antara yang sedikit itu, yang
paling bagus adalah majalah Hidayatullah. Aku tak tahu apakah publikasi cetak
yang terbit sebulan sekali itu nantinya juga dilarang terbit dengan alasan
yang sama seperti www.hidayatullah.com. Tapi, saat memperlihatkan majalah itu
ke orang tuaku, aku menyanjung, ''Ini bagus. Kentara redaksinya pintar. Juga
bening, karena tidak ada sedikit pun warna agresi di dalamnya.'' Orang tuaku,
setelah membacanya, juga sepakat. ''Memang bagus. Bagus.''
Setali tiga uang ketika belakangan aku tahu bahwa Baitul Maal
Hidayatullah (BMH) ternyata juga menerbitkan majalahnya sendiri. Namanya
Mulia. Di majalah yang juga penuh optimisme dan tuntunan itulah Imam
memberikan kesempatan kepadaku untuk menulis rutin saban kali Mulia terbit.
Sejak itulah, majalah Mulia yang biasanya menyajikan
tulisan-tulisan yang menenteramkan hati serta memajang potret-potret yang
mewakili kecerahan hidup mulai juga mengangkat artikel-artikel tentang kekerasan. ''Biang
kerok''-nya siapa lagi kalau bukan aku. Apa boleh buat, bidang ilmu yang coba
kutekuni rupanya hampir selalu mengilhamiku untuk menghasilkan naskah-naskah gelap. Tentang kekerasan
seksual, kehidupan manula di penjara, hakim busuk, hingga proses eksekusi
mati dan topik-topik maut lainnya. ''Aneh''-nya Imam, walau tahu kekelaman
dan kejanggalan dalam naskah yang kukirim, Imam tidak pernah protes. Bahkan,
rubrik yang kuisi itu Imam namai Hidup Mulia. Ironis. Tapi, malah jadi indah,
sepertinya.
Kantor Baitul Maal Hidayatullah di kawasan Kalibata, Jakarta
Selatan, juga nyaman dikunjungi. Fantastis. Sebab, mulai lantai dasar hingga
lantai teratas, berserak anak-anak muda yang sedemikian tekunnya mengajak
orang banyak untuk berbagi manfaat kepada sesama. Memang, ada segelintir staf
yang terkesan malu-malu saat kuajak bicara. Selebihnya, walau bersahaja,
mereka memperlihatkan gerak gerik tubuh yang percaya diri.
Bahwa Baitul Maal Hidayatullah adalah lembaga yang tembus
pandang terlihat sejak di lobi. Di dindingnya terpajang berbagai sertifikat
pengakuan tentang penerapan prinsip-prinsip tata kelola organisasi modern dan
akuntabel yang sudah Baitul Maal Hidayatullah lakukan. Tak lain, itulah wujud
pertanggungjawaban lembaga tersebut terhadap masyarakat luas pada umumnya dan
para penderma pada khususnya.
Atmosfer di kantor Baitul Maal Hidayatullah jelas berbeda cita
rasa dengan suasana di kantor salah satu organisasi keislaman lain yang juga
pernah kuajak berinteraksi belasan tahun silam. Atmosfer itu tentu merupakan
cerminan ''induk'' Baitul Maal Hidayatullah sendiri, yaitu organisasi
Hidayatullah, yang kemudian mewariskan jejak genetikanya juga ke majalah
Hidayatullah dan www.hidayatullah.com. Jadi, dengan kata lain, induk yang
satu telah menurunkan keelokan budi yang sama pada tiga adik-beradik itu.
Dengan jati diri sedemikian rupa, memang masuk akal jika ada
reaksi terperanjat –termasuk aku– manakala www.hidayatullah.com masuk dalam
daftar enam belas situs yang diblokir Kominfo berdasar permintaan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan alasan menyebar paham Islam
radikal.
Reaksi BNPT yang akan mengkaji ulang situs-situs yang diblokir
tersebut, setelah mendapat tekanan masif dari masyarakat, memang sudah
semestinya dilakukan. Namun, pada sisi yang sama, sikap BNPT itu justru
menunjukkan betapa tidak cermatnya BNPT dalam menentukan dan menerapkan tolok
ukur atau kriteria tentang kebahayaan situs-situs internet. Bahkan, andaikan
suatu saat pemblokiran atas sebagian maupun seluruh situs itu dihentikan,
nama baik mereka tetap tidak serta-merta bisa dipulihkan. Alhasil, sekali
lagi kepada khalayak luas dipertontonkan sebuah stigmatisasi, yang seolah
merupakan produk berpikir yang otomatis terbentuk ketika perang terhadap
terorisme dilancarkan. Siapa yang paling rentan mengalami stigmatisasi seperti
itu? Dunia sudah tahu jawabannya. Dan Hidayatullah, berikut Imam Nawawi di
dalamnya, adalah salah satu korbannya.
Betapa pun aku
menggugat stigmatisasi yang BNPT peragakan, aku tidak bernafsu untuk
ikut-ikutan menyudutkan BNPT. Bombardir telunjuk ke muka BNPT berisiko
mengakibatkan institusi tersebut malah menderita demoralisasi. Kontras, aku memiliki
kepentingan besar untuk memberikan semangat ekstra kepada seluruh sahabatku
di Baitul Maal Hidayatullah, bahwa orang-orang baik –insya Allah– akan terus
menitipkan kebaikan mereka kepada lembaga tersebut. Itu semua, sekali lagi,
karena satu faktor: gen kebaikan yang dipercaya mengalir di pembuluh nadi
keluarga besar Hidayatullah. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar