Doek
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 05 April 2015
Doek ” adalah kata Belanda. Dibaca ”duk” (seperti dalam ”duduk”,
bukan ”dowek” seperti dalam ”Jawa kowek”). Arti ”doek ” adalah kain. Maka ada
kata ”handoek ” yang arti harfiahnya adalah ”kain tangan”, tetapi digunakan
untuk kain penyeka tubuh sehabis mandi, yang dalam bahasa Indonesia disebut:
handuk.
Ada lagi kata ”zakdoek ” yang sebenarnya berarti ”kain kantong”,
maksudnya adalah kain yang dikantongi, yang digunakan untuk menyeka mulut
sehabis makan bakso atau menyeka ingus kalau kita pilek. Di zaman saya masih
sekolah rakyat (sekarang SD), yang belum jauh dari zaman Belanda, kain
penyeka sambal dan ingus itu disebut ”sakduk”, tetapi orang sekarang
memanggilnya tisu saja, dari kata bahasa Inggris ”tissue ” yang artinya
adalah kertas (bukan kain) penyeka.
Di zaman saya ABG, sekitar kelas 6 SD sampai kelas 1 atau 2 SMP,
dan mulai belajar dasar-dasar ilmu seksologi dari sesama teman ABG, kami tahu
jika ada anak perempuan minta pulang duluan dari sekolah, pasti dia pamit
bukan lantaran ayahnya mau kawin lagi, melainkan karena dia sedang ”datang
bulan” tadinya bingung juga dengan istilah ini:
siapa yang datang, bulan apa atau sedang ”dapat” masih bingung
juga: dapat apa, memangnya dia ulang tahun jadi dapat kado atau sedang M nah,
kata-satu-huruf ini entah bagaimana justru menjadi yang paling mudah dipahami
oleh kami cowok-cowok ABG.
Bersamaan dengan teman cewek yang pamit duluan, biasanya ada
teman cowok yang melapor bagaikan infotainment bahwa teman putri yang barusan
pamit tadi ketahuan bagian belakang roknya bernoda merah waktu itu seragam
kami putih-putih sehingga kalau ada yang M timbul noda yang membentuk ”sang
dwiwarna” merah-putih.
Sudah jelas, M-nya bocor. Sekarang hampir tidak pernah kejadian
M bocor. Pasalnya sekarang sudah ada kemajuan teknologi yang sangat
signifikan dalam hal perlindungan M. Dulu, zaman saya ABG, gampang sekali
untuk mengetahui kalau ada perempuan yang sedang M di dalam suatu rumah.
Caranya cukup dengan melihat tali atau kawat jemurannya.
Kalau di jemuran ada kain-kain tebal berbahan handuk dan
bertali, maka itulah tandanya bahwa ada perempuan yang sedang M di rumah itu.
Kain-kain itu dulu disebut ”duk” saja, bukan misalnya ”vrouw doek” (kain untuk wanita), padahal maksudnya adalah
pembalut wanita (PW) atau dalam bahasa Belanda zaman sekarang disebut ”maan verband” (pembalut bulanan).
PW zaman sekarang sangat praktis. Sekali pakai buang. Tidak
perlu dicuci jemur yang menimbulkan kesan ”porno” di antara kawat jemuran dan
kalau kurang bersih mencucinya malah menimbulkan gatal-gatal, apalagi kalau
sedang kepepet terpaksa minjem duk orang lain ... hihihi. Pokoknya PW itu
aman, praktis, sehat, dan murah, tidak terpengaruh oleh harga BBM yang
naik-turun dan tidak usah meminjam, cukup membeli di warung terdekat. Istilah
populernya, PW adalah format instan dari duk.
Di atas sudah saya sebutkan bahwa saputangan atau sakduk juga
sudah diinstankan dengan adanya tisu. Sekali pakai buang, bersih, murah,
dansehat. Tapibukan itu saja, hampir semua hal yang dulu harus dibuat dengan
susah payah dan harus dipakai berulang-ulang sekarang diinstankan.
Ibu-ibu yang di zaman saya ABG harus pergi ke pasar untuk
berbelanja aneka bumbu dan harus membuang waktu dan tenaga untuk mengulek
bumbu-bumbu itu untuk dimasak, agar makanan siap ketika suami dan anak-anak pulang
dari kantor dan sekolah, sekarang tinggal beli bumbu-bumbu dalam saset. Bumbu
apa saja ada: soto madura, rawon jawa timur, nasi goreng, sayur asem, sayur
lodeh, bumbu rujak, bumbu balado, dsb.
Pokoknya komplet. Ibu tinggal menyuruh ART (asisten rumah
tangga) masak dengan bumbu instan dari saset dan ibu bisa santai ke salon.
Begitu juga dalam soal tulis-menulis. Zaman saya ABG menulis masih pakai
tinta yang dicocol dari botol tinta. Kalau pena kering, harus dicocol lagi,
begitu seterusmya. Kalau botol tinta kehabisan isinya, beli isinya di toko
untuk isi ulang botol tinta itu.
Tapi sekarang enak banget. Pena dan tintanya sudah dikemas
instan dalam bolpoin. Kita tinggal menulis saja. Kalau tinta habis, tinggal
ambil bolpoin baru dan lanjut menulis lagi. Bolpoin yang sudah kosong dibuang
saja. Asyik, kan? Celakanya, di zaman sekarang hampir semua orang ingin
serbainstan, serbacepat, serbapraktis, serbamurah. Bukan hanya dalam soal PW,
tulis-menulis, dan makanan, tetapi hampir dalam segala hal.
Dalam bidang pendidikan, kita bisa kuliah di STID (sekolah tidak
ijazah dapat). Dalam bidang politik, dalam 100 hari gubernur harus bisa bikin
Jakarta bebas dari banjir dan macet. Kalau tidak bisa, ganti gubernur saja.
Dalam bidang ekonomi, kalau harga BBM tidak turun, presidennya yang harus
turun.
Tapi yang paling seru adalah dalam bidang seks. Kalau Anda
menonton film Selamat pagi, Malam
(sutradara: Lucky Kuswandi), Anda akan menyaksikan betapa tiga pasangan,
dalam peristiwa yang terpisah, menemukan pasangan seksnya dalam satu malam,
melakukan hubungan seks pada malam itu juga dan keesokan paginya sudah
berpisah di jalan masing-masing. Itulah yang disebut one night stand yang makin marak di masyarakat ultramodern yang
serbainstan seperi Jakarta.
Pokoknya sekali pakai buang! Tidak perlu lagi nilai-nilai luhur
keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah untuk seks yang instan. Tidak ada
lagi hati dalam jiwa manusia seperti kata Olga Syahputra (alm) dalam lirik
lagunya, ”Hancur, hancur, hancur hatiku
....” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar