Senin, 06 April 2015

Doek

Doek

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 05 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Doek ” adalah kata Belanda. Dibaca ”duk” (seperti dalam ”duduk”, bukan ”dowek” seperti dalam ”Jawa kowek”). Arti ”doek ” adalah kain. Maka ada kata ”handoek ” yang arti harfiahnya adalah ”kain tangan”, tetapi digunakan untuk kain penyeka tubuh sehabis mandi, yang dalam bahasa Indonesia disebut: handuk.

Ada lagi kata ”zakdoek ” yang sebenarnya berarti ”kain kantong”, maksudnya adalah kain yang dikantongi, yang digunakan untuk menyeka mulut sehabis makan bakso atau menyeka ingus kalau kita pilek. Di zaman saya masih sekolah rakyat (sekarang SD), yang belum jauh dari zaman Belanda, kain penyeka sambal dan ingus itu disebut ”sakduk”, tetapi orang sekarang memanggilnya tisu saja, dari kata bahasa Inggris ”tissue ” yang artinya adalah kertas (bukan kain) penyeka.

Di zaman saya ABG, sekitar kelas 6 SD sampai kelas 1 atau 2 SMP, dan mulai belajar dasar-dasar ilmu seksologi dari sesama teman ABG, kami tahu jika ada anak perempuan minta pulang duluan dari sekolah, pasti dia pamit bukan lantaran ayahnya mau kawin lagi, melainkan karena dia sedang ”datang bulan” tadinya bingung juga dengan istilah ini:

siapa yang datang, bulan apa atau sedang ”dapat” masih bingung juga: dapat apa, memangnya dia ulang tahun jadi dapat kado atau sedang M nah, kata-satu-huruf ini entah bagaimana justru menjadi yang paling mudah dipahami oleh kami cowok-cowok ABG.

Bersamaan dengan teman cewek yang pamit duluan, biasanya ada teman cowok yang melapor bagaikan infotainment bahwa teman putri yang barusan pamit tadi ketahuan bagian belakang roknya bernoda merah waktu itu seragam kami putih-putih sehingga kalau ada yang M timbul noda yang membentuk ”sang dwiwarna” merah-putih.

Sudah jelas, M-nya bocor. Sekarang hampir tidak pernah kejadian M bocor. Pasalnya sekarang sudah ada kemajuan teknologi yang sangat signifikan dalam hal perlindungan M. Dulu, zaman saya ABG, gampang sekali untuk mengetahui kalau ada perempuan yang sedang M di dalam suatu rumah. Caranya cukup dengan melihat tali atau kawat jemurannya.

Kalau di jemuran ada kain-kain tebal berbahan handuk dan bertali, maka itulah tandanya bahwa ada perempuan yang sedang M di rumah itu. Kain-kain itu dulu disebut ”duk” saja, bukan misalnya ”vrouw doek” (kain untuk wanita), padahal maksudnya adalah pembalut wanita (PW) atau dalam bahasa Belanda zaman sekarang disebut ”maan verband” (pembalut bulanan).

PW zaman sekarang sangat praktis. Sekali pakai buang. Tidak perlu dicuci jemur yang menimbulkan kesan ”porno” di antara kawat jemuran dan kalau kurang bersih mencucinya malah menimbulkan gatal-gatal, apalagi kalau sedang kepepet terpaksa minjem duk orang lain ... hihihi. Pokoknya PW itu aman, praktis, sehat, dan murah, tidak terpengaruh oleh harga BBM yang naik-turun dan tidak usah meminjam, cukup membeli di warung terdekat. Istilah populernya, PW adalah format instan dari duk.

Di atas sudah saya sebutkan bahwa saputangan atau sakduk juga sudah diinstankan dengan adanya tisu. Sekali pakai buang, bersih, murah, dansehat. Tapibukan itu saja, hampir semua hal yang dulu harus dibuat dengan susah payah dan harus dipakai berulang-ulang sekarang diinstankan.

Ibu-ibu yang di zaman saya ABG harus pergi ke pasar untuk berbelanja aneka bumbu dan harus membuang waktu dan tenaga untuk mengulek bumbu-bumbu itu untuk dimasak, agar makanan siap ketika suami dan anak-anak pulang dari kantor dan sekolah, sekarang tinggal beli bumbu-bumbu dalam saset. Bumbu apa saja ada: soto madura, rawon jawa timur, nasi goreng, sayur asem, sayur lodeh, bumbu rujak, bumbu balado, dsb.

Pokoknya komplet. Ibu tinggal menyuruh ART (asisten rumah tangga) masak dengan bumbu instan dari saset dan ibu bisa santai ke salon. Begitu juga dalam soal tulis-menulis. Zaman saya ABG menulis masih pakai tinta yang dicocol dari botol tinta. Kalau pena kering, harus dicocol lagi, begitu seterusmya. Kalau botol tinta kehabisan isinya, beli isinya di toko untuk isi ulang botol tinta itu.

Tapi sekarang enak banget. Pena dan tintanya sudah dikemas instan dalam bolpoin. Kita tinggal menulis saja. Kalau tinta habis, tinggal ambil bolpoin baru dan lanjut menulis lagi. Bolpoin yang sudah kosong dibuang saja. Asyik, kan? Celakanya, di zaman sekarang hampir semua orang ingin serbainstan, serbacepat, serbapraktis, serbamurah. Bukan hanya dalam soal PW, tulis-menulis, dan makanan, tetapi hampir dalam segala hal.

Dalam bidang pendidikan, kita bisa kuliah di STID (sekolah tidak ijazah dapat). Dalam bidang politik, dalam 100 hari gubernur harus bisa bikin Jakarta bebas dari banjir dan macet. Kalau tidak bisa, ganti gubernur saja. Dalam bidang ekonomi, kalau harga BBM tidak turun, presidennya yang harus turun.

Tapi yang paling seru adalah dalam bidang seks. Kalau Anda menonton film Selamat pagi, Malam (sutradara: Lucky Kuswandi), Anda akan menyaksikan betapa tiga pasangan, dalam peristiwa yang terpisah, menemukan pasangan seksnya dalam satu malam, melakukan hubungan seks pada malam itu juga dan keesokan paginya sudah berpisah di jalan masing-masing. Itulah yang disebut one night stand yang makin marak di masyarakat ultramodern yang serbainstan seperi Jakarta.

Pokoknya sekali pakai buang! Tidak perlu lagi nilai-nilai luhur keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah untuk seks yang instan. Tidak ada lagi hati dalam jiwa manusia seperti kata Olga Syahputra (alm) dalam lirik lagunya, ”Hancur, hancur, hancur hatiku ....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar