Selasa, 07 April 2015

Antara Exodus dan Dragon Blade

Antara Exodus dan Dragon Blade

Sirikit Syah  ;  Dosen Stikosa-AW;, Direktur LKM Media Watch
JAWA POS, 06 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

KESURUPAN Jumat Kliwon, Kok Putusin Gue, Kampung Zombie, Tuyul, dan Wewe. Itulah judul-judul film Indonesia yang sedang dan akan main di bioskop Jawa Timur. Membaca judulnya, tebersit pemikiran, "Mengapa para penulis skenario atau cineast kita seperti kurang kreatif ya?"

Memang ada beberapa film Indonesia yang bagus seperti Soekarno, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Perahu Kertas, 5 Cm, dan yang akan datang, mungkin, Filosofi Kopi. Namun, yang menjadi mainstream film Indonesia masih kisah hantu-hantuan dan cinta-cintaan. Lumayanlah, dua tahun yang lalu bioskop kita malah didominasi film horor plus esek-esek setengah porno.

Sebagai penggemar film dan pengunjung bioskop yang setia, saya jarang tertarik untuk menonton film Indonesia. Biasanya, film Indonesia yang saya tonton adalah yang bukunya sudah pernah saya baca. Misalnya Laskar Pelangi, Negeri Lima Menara, Perahu Kertas, dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Tanpa referensi buku, saya agak ragu melangkah ke gedung bioskop, takut kecewa.
Itu berbeda dengan keputusan saya menonton film Barat. Selain berusaha mencari tahu ceritanya, saya akan melihat pemainnya dan atau sutradaranya. 

Saya dulu suka film-film Woody Allen yang terkesan sastra dan dialog-dialognya amat cerdas. Belakangan saya sadari bahwa Allen sangat liberal dan nilai-nilainya tak lagi sesuai dengan nilai-nilai saya. Favorit saya belakangan adalah Ridley Scott, yang membuat Kingdom of Heaven bernada positif bagi Islam dan membikin Exodus kritis terhadap bangsa Yahudi.

Ada satu statemen Moses (salah satu tokoh dalam film Exodus) yang –menurut saya–mengkritik bangsa Yahudi sekarang. Adegannya di pantai, selepas mereka mengarungi laut yang terbelah, lari dari kejaran firaun. Seorang umat bertanya kepada Moses, "Sampai kapan kita berlari?" Moses menjawab, "Bangsa kita baru akan diuji bila kita sudah berhenti." (Saya menafsirkan, ini mengecam Yahudi yang kini sudah "berhenti berlari", lalu bersikap arogan dan semena-mena). Ridley Scott memang keren.

Film yang paling menimbulkan kesan intens sejak awal sampai akhir, juga berlatar belakang sejarah (kisah nyata), adalah Argo (2012) besutan Ben Affleck, yang mengantarkannya menjadi sutradara terbaik tiga tahun lalu. Itu film tentang penyanderaan staf Kedubes AS di Iran selama tiga tahun yang kemudian dapat lolos karena menyamar sebagai pemain film. Itu salah satu film terbaik yang pernah saya tonton.

Belakangan ini saya sangat puas menonton film Imitation Game dan Dragon Blade. Dua film itu berbeda genre, namun meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Imitation Game mengungkapkan perjuangan para ilmuwan Inggris pada masa perang. Bagaimana seorang ahli matematika dapat mengalahkan strategi Nazi. Bagaimana sepasang suami istri saling mencintai sebagai sahabat karena sang suami ternyata gay digambarkan dalam film itu dengan baik. Ilmu pengetahuan, sejarah, kisah cinta yang tulus. Perpaduan sempurna untuk tontonan yang menghibur sekaligus mendidik. Sayang, film itu hanya menggondol satu piala Oscar untuk skenario adaptasi. Menurut saya, aktornya layak mendapat Oscar sebagai aktor terbaik.

Dragon Blade memberikan banyak pelajaran kehidupan, filosofi timur (Tiongkok) yang lebih suka berkompromi dan berdamai serta filosofi Barat (Romawi) yang mengagungkan kejayaan dan semangat pantang menyerah. Selalu ada karakter baik dan buruk, di Timur maupun di Barat. Adrien Brody yang memerankan kaisar Romawi kejam (sampai tega membunuh ayah dan adiknya sendiri) berakting luar biasa bagus. Melihat kebengisannya, orang akan lupa bahwa dialah pianis Yahudi korban kekejaman Jerman dalam film The Pianist. Sungguh sebuah pergeseran perwatakan yang seharusnya layak mendapat Oscar untuk aktor pendukung terbaik.

Jackie Chan bermain biasa saja. Namun, filmnya sangat megah dan indah dalam hal sinematografi. Selain ceritanya lumayan bagus, film itu mengajarkan kepada kita sejarah dan geografi Tiongkok, utamanya wilayah Jalur Sutra. Yang paling berkesan bagi saya adalah ditampilkannya kekayaan suku/ras di Tiongkok. 

Ketika suku-suku di utara dan barat Tiongkok (wilayah Jalur Sutra) bersatu untuk melawan kaisar Romawi yang kejam, tampaklah betapa aneka ragamnya mereka. Ada yang seperti orang Jepang, seperti orang Tiongkok pada umumnya yang banyak kita lihat di film-film Mandarin, dan seperti orang Mongolia, bahkan seperti orang Turki. Ada yang berpakaian seperti orang Dayak atau Indian dan mahir memanah, ada pula yang berturban, bercadar, dan berpakaian gamis ala Arab. Semua suku bangsa Tiongkok. Sungguh sebuah fiesta: sejarah, geografi, dan antropologi dikemas dalam karya sinematografi yang luar biasa.

Ada satu film yang direkomendasikan oleh dua sahabat saya: Desi Anwar (Metro TV) dan M. Qodari (Indobarometer). Keduanya mengatakan, "Ini film cerdas dan hanya orang-orang cerdas yang akan menikmatinya." Bahkan, Qodari menambahi, "Kau bakalan menyesal kalau gak nonton."

Filmnya berjudul PK. Tapi sayang, film itu sudah turun dari bioskop sebelum saya menontonnya. Memang bisa saja kita membeli DVD bila ketinggalan film di bioskop. Tapi, bagi saya, menonton film ya di bioskop. Itu salah satu seninya. Film di bioskop adalah salah satu hiburan terlengkap: musik, cerita/sastra, visual, efek, akting, dan tata suara. Pendeknya, bila saya galau atau suntuk, bioskop menjadi salah satu cara saya kembali normal.

Nah, film asing dan Indonesia apa yang ingin saya tonton minggu ini? Sepertinya Love & Faith bagus. Saya juga menunggu Filosofi Kopi. Untuk film Barat, saya menunggu The Theory of Everything (tentang Stephen Hawking) dan Birdman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar