Antara Exodus dan Dragon Blade
Sirikit Syah ;
Dosen
Stikosa-AW;, Direktur LKM Media Watch
|
JAWA
POS, 06 April 2015
KESURUPAN Jumat Kliwon, Kok
Putusin Gue, Kampung Zombie, Tuyul, dan Wewe. Itulah judul-judul film
Indonesia yang sedang dan akan main di bioskop Jawa Timur. Membaca judulnya,
tebersit pemikiran, "Mengapa para penulis skenario atau cineast kita
seperti kurang kreatif ya?"
Memang ada beberapa film
Indonesia yang bagus seperti Soekarno, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck,
Perahu Kertas, 5 Cm, dan yang akan datang, mungkin, Filosofi Kopi. Namun,
yang menjadi mainstream film Indonesia masih kisah hantu-hantuan dan
cinta-cintaan. Lumayanlah, dua tahun yang lalu bioskop kita malah didominasi
film horor plus esek-esek setengah porno.
Sebagai penggemar film dan
pengunjung bioskop yang setia, saya jarang tertarik untuk menonton film
Indonesia. Biasanya, film Indonesia yang saya tonton adalah yang bukunya
sudah pernah saya baca. Misalnya Laskar Pelangi, Negeri Lima Menara, Perahu
Kertas, dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Tanpa referensi buku, saya agak
ragu melangkah ke gedung bioskop, takut kecewa.
Itu berbeda dengan keputusan
saya menonton film Barat. Selain berusaha mencari tahu ceritanya, saya akan
melihat pemainnya dan atau sutradaranya.
Saya dulu suka film-film Woody Allen
yang terkesan sastra dan dialog-dialognya amat cerdas. Belakangan saya sadari
bahwa Allen sangat liberal dan nilai-nilainya tak lagi sesuai dengan
nilai-nilai saya. Favorit saya belakangan adalah Ridley Scott, yang membuat
Kingdom of Heaven bernada positif bagi Islam dan membikin Exodus kritis
terhadap bangsa Yahudi.
Ada satu statemen Moses (salah
satu tokoh dalam film Exodus) yang –menurut saya–mengkritik bangsa Yahudi
sekarang. Adegannya di pantai, selepas mereka mengarungi laut yang terbelah,
lari dari kejaran firaun. Seorang umat bertanya kepada Moses, "Sampai
kapan kita berlari?" Moses menjawab, "Bangsa kita baru akan diuji
bila kita sudah berhenti." (Saya menafsirkan, ini mengecam Yahudi yang kini
sudah "berhenti berlari", lalu bersikap arogan dan semena-mena).
Ridley Scott memang keren.
Film yang paling menimbulkan
kesan intens sejak awal sampai akhir, juga berlatar belakang sejarah (kisah
nyata), adalah Argo (2012) besutan Ben Affleck, yang mengantarkannya menjadi sutradara
terbaik tiga tahun lalu. Itu film tentang penyanderaan staf Kedubes AS di
Iran selama tiga tahun yang kemudian dapat lolos karena menyamar sebagai
pemain film. Itu salah satu film terbaik yang pernah saya tonton.
Belakangan ini saya sangat puas
menonton film Imitation Game dan Dragon
Blade. Dua film itu berbeda genre, namun meninggalkan kesan yang sangat
mendalam. Imitation Game mengungkapkan perjuangan para ilmuwan Inggris pada
masa perang. Bagaimana seorang ahli matematika dapat mengalahkan strategi
Nazi. Bagaimana sepasang suami istri saling mencintai sebagai sahabat karena
sang suami ternyata gay digambarkan dalam film itu dengan baik. Ilmu
pengetahuan, sejarah, kisah cinta yang tulus. Perpaduan sempurna untuk
tontonan yang menghibur sekaligus mendidik. Sayang, film itu hanya menggondol
satu piala Oscar untuk skenario adaptasi. Menurut saya, aktornya layak
mendapat Oscar sebagai aktor terbaik.
Dragon Blade memberikan banyak
pelajaran kehidupan, filosofi timur (Tiongkok) yang lebih suka berkompromi
dan berdamai serta filosofi Barat (Romawi) yang mengagungkan kejayaan dan
semangat pantang menyerah. Selalu ada karakter baik dan buruk, di Timur
maupun di Barat. Adrien Brody yang memerankan kaisar Romawi kejam (sampai
tega membunuh ayah dan adiknya sendiri) berakting luar biasa bagus. Melihat
kebengisannya, orang akan lupa bahwa dialah pianis Yahudi korban kekejaman
Jerman dalam film The Pianist. Sungguh sebuah pergeseran perwatakan yang
seharusnya layak mendapat Oscar untuk aktor pendukung terbaik.
Jackie Chan bermain biasa saja.
Namun, filmnya sangat megah dan indah dalam hal sinematografi. Selain
ceritanya lumayan bagus, film itu mengajarkan kepada kita sejarah dan
geografi Tiongkok, utamanya wilayah Jalur Sutra. Yang paling berkesan bagi
saya adalah ditampilkannya kekayaan suku/ras di Tiongkok.
Ketika suku-suku di
utara dan barat Tiongkok (wilayah Jalur Sutra) bersatu untuk melawan kaisar
Romawi yang kejam, tampaklah betapa aneka ragamnya mereka. Ada yang seperti
orang Jepang, seperti orang Tiongkok pada umumnya yang banyak kita lihat di
film-film Mandarin, dan seperti orang Mongolia, bahkan seperti orang Turki.
Ada yang berpakaian seperti orang Dayak atau Indian dan mahir memanah, ada
pula yang berturban, bercadar, dan berpakaian gamis ala Arab. Semua suku
bangsa Tiongkok. Sungguh sebuah fiesta: sejarah, geografi, dan antropologi
dikemas dalam karya sinematografi yang luar biasa.
Ada satu film yang
direkomendasikan oleh dua sahabat saya: Desi Anwar (Metro TV) dan M. Qodari
(Indobarometer). Keduanya mengatakan, "Ini
film cerdas dan hanya orang-orang cerdas yang akan menikmatinya."
Bahkan, Qodari menambahi, "Kau
bakalan menyesal kalau gak nonton."
Filmnya berjudul PK. Tapi
sayang, film itu sudah turun dari bioskop sebelum saya menontonnya. Memang
bisa saja kita membeli DVD bila ketinggalan film di bioskop. Tapi, bagi saya,
menonton film ya di bioskop. Itu salah satu seninya. Film di bioskop adalah
salah satu hiburan terlengkap: musik, cerita/sastra, visual, efek, akting,
dan tata suara. Pendeknya, bila saya galau atau suntuk, bioskop menjadi salah
satu cara saya kembali normal.
Nah, film asing dan Indonesia
apa yang ingin saya tonton minggu ini? Sepertinya Love & Faith bagus. Saya juga menunggu Filosofi Kopi. Untuk film Barat, saya menunggu The Theory of Everything (tentang
Stephen Hawking) dan Birdman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar