Akuarium
Mudji Sutrisno ; Budayawan |
MEDIA INDONESIA,
15 September 2021
ADA dua alasan
ketika seorang teman saya mulai menghiasi rumahnya dengan akuarium. Pertama,
alasan fungsional yakni untuk memperindah rumah agar sepulang dari kerja dan
terkena polusi udara Jakarta bisa segar kembali setelah memandang ikan hias
dan air akuarium. Kedua, timbul
dari keingintahuan psikologisnya, yaitu apakah memang betul batin bisa
ditenangkan dari kehirukpikukan kota yang membuat ‘stres’ dengan memandangi
berenangnya ikan-ikan di akuarium, seperti banyak akuarium sengaja dipasang
di tempat-tempat biro konsultasi psikologi di luar negeri? Akan tetapi,
yang terjadi ternyata lebih cepat dari rencana lantaran tiba-tiba sudah
datang akuarium besar ke rumah. Dengan riang, teman saya itu mulai menghayati
ide-ide kreatifnya. Langsung saja
akuarium dibersihkan, lalu diisi dengan air ledeng PAM sampai dua pertiga
penuh. Setelah itu ikan-ikan koki yang cantik, yang baru dibawa dari
sumbernya, langsung dimasukkan dan diceburkan ke dalam akuarium. Melesat
riang ikan-ikan itu masuk ke air. Nah, kurang
apa, pikirnya, ikan memang hidup di air. Bila disediakan air di akuarium,
pasti otomatis mereka akan hidup di situ. Tetapi, apa
yang terjadi? Tepat pagi harinya semua ikan cantik itu mati. Mengapa?
Bukankah sudah disediakan tempat, air, dan makanan? Teman saya menggelengkan
kepala merasa bingung, apalagi merasa bersalah lantaran kematian ikan-ikan
bagus dan indah itu. Agar tidak mencampurkan imajinasi, teman ini adalah alm.
Krismanto, dulu penghuni dan pamong mahasiswa di Wisma Adi Sucipto
Rawamangun. Tata lingkungan Sesudah
peristiwa itu, ia lalu membaca buku akuarium dan bertanya kepada yang sudah
berpengalaman mengenai perawatan ikan. Di situlah ia baru sadar dan menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itulah yang dikisahkannya kepada
saya hari-hari ini. Ternyata,
ikan-ikan itu sama hak hidupnya dengan manusia. Mereka butuh lingkungan hidup
yang disiapkan, yang beroksigen agar tidak mati lemas. Di situlah asumsi
bahwa sembarang air untuk ikan dan pasti hidup ternyata tidak benar. Mengapa?
Air PAM mengandung
banyak kaporit dan kurang oksigen, maka harus disaring dahulu dan diberi
oksigen dengan sistem selang kincir bergelembung udara untuk memberi zat asam
buat air itu. Bukan hanya itu, ikan-ikan juga butuh makanan udara segar dari
lingkungan tumbuhan air yang menapasi mereka agar bisa tetap hidup. Di
sinilah ikan-ikan butuh tata lingkungan (habitat) untuk bisa hidup sehat. Di
sini pulalah asumsi ikan bisa hidup di air terbukti tidak otomatis sehat,
bahkan ternyata mati lemas. Kami
mencermati hal itu, lalu berwacana: bukan main misteri kehidupan ikan-ikan
itu. Paralel dan sejajar, analog dengan manusia yang tidak bisa dilemparkan
begitu saja di permukiman, atau bangunan rumah tanpa persiapan hati, tanpa
hati, dan oksigen lingkungan entah bernama masyarakat atau keluarga atau
komunitas. Saya lalu
teringat, mengapa para pengungsi pecahan-pecahan Eropa Timur, pengungsi
lapar, dan eksodus-eksodus perang saudara Afrika, ketika sudah dicukupi
makanan dan minuman kebutuhan fisik, toh masih mendambakan sebuah home dan sanctuary (rumah dan tempat bernaung untuk ketenangan serta
ketenteraman batinnya). Demikian pula,
rasa aman diterima lingkungan orang-orang tercintanya ataupun rasa tidak
terancam karena diterima sebagai manusia dalam pelukan perhatian dan
hormat-menghormati. Mereka tidak cukup hanya mendapatkan barak, rumah susun,
atau dibuatkan perumahan fisik. Mereka pun butuh home sweet home untuk tidak mati lemas sebagai manusia
seperti ikan-ikan di atas. Karena itu,
tidak mengherankan apabila kekurangan sisi hati dan afeksi ini amat menyeruak
keluar di panti-panti asuhan yatim piatu atau panti-panti jompo, pun
rumah-rumah sakit. Saya terus
ingat mengapa rumah-rumah kumuh para jelata yang dibakar atau terbakar dengan
cepat pula memiliki reruntuhan rumah, lalu membangunnya lagi di tempat yang
sama. Ini pulakah yang semestinya menyadarkan kita, kaitan antara home, rumah
susun, dan lingkungan yang memiliki tempat bernapas, bermain-main bagi anak
serta remajanya hingga pelampiasan energi mereka tidak destruktif dalam
jagoan berkelahi. Selain itu,
Jakarta yang merupakan akuarium megapolitan sudah semakin kehilangan
taman-taman kota, lapangan-lapangan bola kampung, tempat-tempat rekreasi buat
generasi menengah ke bawah, dan bukan hanya yang menengah ke atas yang
berduit belaka! Tanpa itu, Jakarta akan menjadi akuarium mati karena lemasnya
para pendatang dan para jelata. Setelah teman
saya belajar ekosistem akuarium dan mengenali watak rumit dan peka ikan-ikan
hias koki, ia mulai menyiapkan habitat sekaligus menyiapkan pergantian air
dari ikan-ikan hiasnya. Akhirnya, kini di rumahnya, kita bisa menikmati dan
batin kita ikut diteduhkan oleh cara renang dan watak ikan-ikan hias di
akuariumnya. Menarik pula
untuk dicatat, setelah beragam jenis ikan hias hidup di akuariumnya, ternyata
ikan-ikan yang cantik, indah warna, dan cakap wajah, dari sudut behaviorisme
(perilaku binatang atau orang) lebih tampil mandiri sendiri, otonom, dan
tegar. Sementara itu, yang rata-rata buruk wajah lebih suka bergerombol
nyaris seragam satu identitas masal seragam. Cermin untuk kita pulakah? Peradaban Bila peradaban
dihayati sebagai proses pemekaran perkembangan setiap orang menjadi
pribadi-pribadi manusia yang berharkat, percaya diri, dan bukan orang-orang
gerombolan, di situ tata ekologi bernama masyarakat sebenarnya tetaplah
‘hanya’ merupakan kendaraan untuk kesejahteraan penghuni-penghuninya. Selain itu,
proses dari orang massal tanpa identitas semakin masuk ke tahap berani
menjadi otonom, dirinya sendiri, lantaran harkatnya diakui dan dijaga oleh
tata ekologi yang bernama rule of law yang ditaati oleh semua dan menjadi wasit
bagi konflik kepentingan. Saat-saat ini
di Jakarta banyak anak memiliki ikan hias yang akuariumnya kecil sederhana
berkantong plastik. Untung beberapa menyadari bahwa akuarium plastik itu
pengap, kurang oksigen, dan panas hingga ikan hias kecil-kecil rentan mati.
Bila sementara saja, baiklah untuk membuatnya di bekas stoples kaca yang
harus diatur ‘ekosistemnya’ (bahasa keren untuk habitat air dan oksigen
tersedia cukup dengan tanaman-tanaman buat bernapas ikan). Jadi, akuarium itu
sama fungsinya sebagai rumah yang mesti dirawat, diganti air keruhnya,
menjadi home yang sweet home buat ikan-ikan hias. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar