Mencegah
Kebangkrutan BPJS
Hendriyanto ; Alumnus
Magister Kesehatan Masyarakat UGM, Yogyakarta; Kandidat Doktor Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 09 November
2016
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial bisa bangkrut. Ungkapan ini sering terdengar
terkait dengan isu defisit yang dialami BPJS Kesehatan saat ini dan menjadi
polemik di tengah besarnya animo masyarakat terhadap program Jaminan
Kesehatan Nasional.
Hal
ini tentu sangat menarik untuk ditelaah karena program ini menyangkut lebih
dari 160 juta penduduk Indonesia yang saat ini terdaftar sebagai peserta
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Isu ini seakan terkonfirmasi ketika pada 12
Oktober 2016, Komisi XI DPR menyetujui penyertaan modal negara (PMN) kepada
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar Rp 6,83 triliun.
Sejumlah
persoalan terkait kecukupan pembiayaan JKN cukup serius, di antaranya
dominasi jenis klaim yang dibayarkan kepada rumah sakit. Ternyata hampir 30
persen dari dana yang dibayarkan untuk klaim 2015 digunakan membayar klaim
penyakit katastropik atau kronis. Tiga penyakit katastropik terbesar itu
adalah jantung, gagal ginjal, dan kanker.
Hal
ini menggambarkan peran fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti
puskesmas dan dokter keluarga, dalam hal peran promotif dan preventif kurang
berjalan maksimal. Artinya, orang yang menggunakan BPJS Kesehatan sebagian
besar adalah orang yang sudah berpenyakit parah. Celakanya, orang tersebut
adalah masyarakat yang berasal dari pekerja bukan penerima upah yang
diidentifikasi berpotensi menunggak membayar premi.
Kondisi
di atas mau tidak mau kita harus waspada. Bisa saja BPJS bangkrut kalau
pemerintah tidak optimal mengawal pelaksanaan program yang sangat pro rakyat
dan berdampak luas untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.
Salah
satu aspek yang harus dilihat sebagai penyebab pemerintah mengeluarkan biaya
yang sangat besar dan berpotensi inefisiensi adalah membayar premi, baik
premi penerima bantuan iuran (PBI) yang bersumber dari dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun peserta yang didaftarkan oleh
pemerintah daerah yang diintegrasikan ke BPJS Kesehatan melalui dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sejumlah isu yang muncul di antaranya rendahnya
utilisasi atau pemanfaatan layanan peserta PBI APBN pada tingkat layanan
dasar ataupun lanjutan.
Sementara
masyarakat miskin di luar kuota tersebut masih sangat banyak membutuhkan
pelayanan kesehatan tanpa ditanggung jaminan kesehatan apa pun. Solusi cepat
yang dipilih oleh pengelola di pemerintah daerah adalah dengan surat
keterangan tidak mampu (SKTM).
Tidak
tepat sasaran
Berdasarkan
data dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kementerian
Kesehatan, setidaknya terdapat 2.558.490 peserta Jamkesmas/PBI yang setelah
dilakukan verifikasi di daerah ternyata tidak tepat sasaran. Data ini
diperoleh dari jumlah kartu yang diserahkan kembali setelah distribusi kartu
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) tahun 2012.
Sementara
itu, penelitian Lutfiah dan kawan-kawan (2013) menunjukkan masih terdapat
20,9 persen penduduk tidak miskin yang mendapatkan Jamkesmas, sedangkan 41,1
persen penduduk miskin dan 56,4 persen penduduk hampir miskin belum
mendapatkan Jamkesmas. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktepatan sasaran
peserta Jamkesmas pada masa itu, di mana data ini dipakai untuk input PBI
APBN era JKN yang dimulai tahun 2014.
Hipotesis
yang dapat ditarik terkait dengan kondisi di atas paling tidak adalah,
pertama, adanya ketidaktepatan sasaran pada PBI APBN dan Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) menimbulkan potensi pemborosan anggaran pemerintah pusat
untuk membayar klaim dan premi sekaligus pemborosan pada APBD. Kondisi ini
mengurangi porsi anggaran pemerintah untuk menyehatkan keuangan BPJS Kesehatan.
Kedua,
adanya fenomena fasilitas SKTM bagi pemerintah daerah yang mengelola dan
Jamkesda secara mandiri disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah pusat dan
daerah untuk menyediakan data yang valid atau bisa menjadi upaya para
pemimpin di daerah untuk mengakomodasi semua kalangan demi kepentingan
politik praktis.
Ketiga,
integrasi Jamkesda ke JKN akan berjalan tidak optimal selama data yang
tersedia belum valid.
Beberapa
alternatif solusi
Menurut
Budi Hidayat, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
ada beberapa solusi atau intervensi sistemik yang dapat dilakukan pada
program JKN. Pertama, mengontrol biaya klaim. Cara ini dapat dilakukan dengan
menurunkan harga layanan dan mengendalikan utilisasi atau pemanfaatan yang
sifatnya abnormal. Jenis utilisasi ini tidak sepenuhnya merupakan kebutuhan
medis pasien, tetapi dapat juga karena motif lain, yakni target income
provider.
Pencetus
utilisasi abnormal adalah ketidakseimbangan informasi dan peran ganda
provider. Ketika berobat pasien dihadapkan pada keadaan di mana dia sangat
tergantung dari pilihan terapi apa yang diberikan oleh provider yang memang
lebih mengetahuinya. Sementara si provider, dalam hal ini dokter atau pemberi
layanan kesehatan lain, memiliki peran ganda, yaitu sebagai advisor dan
penyedia layanan.
Ketika
tidak ada kontrol terhadap peran ganda ini, timbullah apa yang disebut dengan
fenomena supplier induced demand
(SID ) yang berujung pemborosan. Fenomena SID itu anomali jika dibandingkan
dengan teori ekonomi umumnya. Meski supplier (penyedia layanan)-nya, yakni
dokter, sudah sangat banyak tersedia (berkompetisi) bahkan dengan harga yang
tinggi, konsumen, dalam hal ini pasien, tetap membeli karena peran ganda
dokter sebagai penasihat sekaligus sebagai penyedia jasa.
Wujud
konkret dari SID sangat bervariasi, misalnya dalam kasus di Indonesia dengan diagnosis related group (DRGs) dapat
berbentuk memulangkan lebih dini pasien yang masih membutuhkan perawatan (bloody discharged). Hal ini dilakukan
dengan harapan pasien akan berobat kembali. Pada pasien rawat jalan dilakukan
dengan pemecahan beberapa kasus dengan harapan terjadi readmisi atau masuk
kembali.
Data
yang diperoleh sampai dengan Agustus 2015, terdapat 76 persen dari klaim
rawat jalan merupakan kasus readmisi. Sebanyak 34 persen di antaranya
readmisi yang bermasalah dan ada indikasi bermotif SID. SID diidentifikasi
dari jeda kunjungan untuk kasus yang sama di bawah tujuh hari. Nilai total
klaim untuk kasus readmisi di bawah tujuh hari tercatat sampai Rp 5,1
triliun. Selain rawat jalan, utilisasi abnormal juga terjadi pada kasus rawat
inap. Potensi memulangkan lebih dini pasien untuk readmisi sampai dengan 4
persen dari nilai total klaim.
Potensi
yang lain adalah upcoding
(menaikkan kode penyakit tertentu ke harga yang lebih tinggi) yang nilainya
jika audit medis dilakukan akan sangat fantastis. Seandainya SID dan bloody discharged dapat diatasi,
diperkirakan akan menghemat anggaran 12,6 persen dari total nilai klaim.
Untuk itu, BPJS Kesehatan harus mampu mengembangkan sistem yang dapat
mendeteksi kasus tersebut.
Intervensi
kedua adalah mengatasi efek domino Indonesia Case Base Groups (INA
CBGs—sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang
diderita pasien). Efek readmisi yang terjadi pada rawat inap tidak hanya bagi
pendanaan JKN, tetapi juga pada pengeluaran pasien. Pasien akan semakin
dirugikan terkait dengan opportunity
cost saat datang berobat. Ditambah lagi penderitaan pasien yang menemui
antrean yang panjang pada saat datang untuk berkunjung ke fasilitas pelayanan
kesehatan.
Dampak
lain INA CBGs adalah kecenderungan dumping (melempar pasien), yaitu hanya menerima
pasien yang diperkirakan memerlukan biaya sedikit. Namun, jika pasien
diperkirakan perlu biaya tinggi, pasien dirujuk. Angka dumping ini mencapai
33,7 persen pada rawat inap dan 16 persen pada rawat jalan. Keadaan ini akan
berdampak pada citra buruk yang melekat pada program JKN selama fungsi
kontrol masih lemah untuk dilaksanakan.
Menggenjot
pendapatan
Aspek
lain yang harus dilakukan untuk intervensi JKN adalah menggenjot pendapatan.
Ini dilakukan dengan dua cara, yaitu menaikkan nilai iuran dan dengan tata
kelola kepesertaan. Untuk menaikkan nilai iuran, seharusnya besaran iuran
yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2016
idealnya lebih besar dari itu walaupun akan berdampak pada kemampuan
masyarakat membayar premi. Namun, ini harus dilakukan jika pemerintah
menganggap JKN adalah produk superior atau andalan.
Cara
kedua untuk menggenjot pendapatan adalah dengan tata kelola kepesertaan. BPJS
Kesehatan tidak hanya fokus menambah kepesertaan, tetapi juga harus fokus kelompok
mana yang harus dibidik sedini mungkin dan memastikan mereka rutin membayar
iuran. Sistem yang harus dibangun adalah mengubah pola pikir (mindset) dari klausul wajib menjadi
kebutuhan. Sosialisasi dan edukasi publik terkait seluk-beluk JKN harus terus
dilakukan untuk membentuk pola pikir itu.
Selain
beberapa intervensi sistemik di atas juga perlu dipikirkan adalah bagaimana
mengombinasikan antara skim INA CBGs dan kapitasi yang ada di pelayanan
primer, seperti puskesmas dan dokter keluarga. Hal ini diperlukan untuk
meningkatkan kinerja layanan sehingga ada keterkaitan yang erat antara fungsi
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tidak mudah perjuangan untuk
mendapatkan sistem jaminan kesehatan yang baik di Indonesia.
Pengalaman di sejumlah negara memerlukan
puluhan bahkan ratusan tahun. Namun, yang harus diketahui semua pihak adalah
program ini sejatinya sangat dibutuhkan rakyat Indonesia. Yang diperlukan
saat ini adalah maju dan terus benahi JKN. Dengan demikian, isu BPJS atau
program JKN akan bangkrut dengan sendirinya terbantahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar