Sabtu, 04 April 2015

ISIS, Palestina, dan Yaman

ISIS, Palestina, dan Yaman

Smith Alhadar  ;  Staf Ahli Institute for Democracy Education (IDe)
KORAN TEMPO, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Dalam waktu kurang dari satu bulan terakhir, tiga peristiwa politik di Timur Tengah melibatkan Iran dan Arab Saudi secara mencolok. Pertama, pada 2 Maret, Iran mencuri di tikungan dengan melancarkan serangan ke kubu ISIS di Kota Tikrit, 135 kilometer di sebelah utara Bagdad. Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz marah besar dengan menyebut Iran "negara teroris yang masuk ke negara Arab" dan langsung menghentikan serangan udaranya bersama negara Arab lain dan NATO.

Mogoknya Saudi menyebabkan Yordania, Uni Emirat Arab, dan Kuwait, yang mewakili Liga Arab, serta NATO pimpinan AS ikut mogok karena, sesuai dengan perjanjian Liga Arab (baca: Saudi) dengan NATO (baca: AS), perang Liga Arab-NATO melawan ISIS tidak boleh melibatkan Iran. Tujuannya jelas: pasca-ISIS, Saudi ikut membentuk Irak yang baru, yang tidak berkiblat ke Iran seperti sekarang ini. Tak mau Saudi menentukan masa depan Irak, Jenderal Qassem Sulaimani dari Pasukan Khusus Iran memimpin dua kelompok milisi Syiah Irak sebanyak 20 ribu personel menyerbu Tikrit. Tak rela Iran memiliki saham menentukan bagi kemenangan perang di Tikrit, pada 26 Maret lalu kembali Liga Arab-NATO menyerang kota kelahiran mantan presiden Saddam Hussein itu, di saat milisi Syiah dan pasukan pemerintah Irak (gabungan Syiah dan Sunni) sudah hampir memenangi pertempuran melawan ISIS. Giliran Iran yang ngambek sekarang, sehingga kota yang hanya dipertahankan 500 kombatan ISIS belum bisa ditaklukkan.

Kedua, seminggu setelah Iran campur tangan di Irak, Saudi mendukung keputusan Mesir yang menetapkan Hamas sebagai kelompok teroris. Hal ini terkait dengan peristiwa pembunuhan 30 polisi dan tentara Mesir oleh kelompok militan Mesir, Anshar al-Bait al-Muqaddas, yang berafiliasi dengan ISIS. Jadi jelas, mereka tak berhubungan dengan sayap militer Hamas, Brigade Izzeddin al-Qassam. Organisasi yang disebut terakhir ini sepanjang sejarahnya belum pernah beroperasi di luar Israel, apalagi Mesir. Hamas sangat menyadari pentingnya Mesir. Selain merupakan negara Arab terbesar dan paling berpengaruh, Mesir satu-satunya akses Hamas ke dunia luar dan mendapatkan logistik. Melalui terowongan Gaza-Sinai ini juga Hamas menyelundupkan senjata. Presiden Mesir Abdu Fatah El-Sisi mengaitkan Anshar Bait al-Muqaddas dengan Al-Ikhwan al-Muslimun (IM) guna menjustifikasi Hamas sebagai teroris, sebagai konsekuensi logis dari penetapan IM sebagai teroris Hamas cabang IM di Palestina. Tujuannya, melucuti Brigade Izzeddin al-Qassam dan mengintegrasikan dengan Fatah pimpinan Mahmud Abbas yang tidak didukung Iran. Dengan demikian, Abbas bisa mengirim pasukan ke Gaza untuk mengontrol basis Hamas ini sekaligus memutuskan tangan Iran di Palestina. Bukankah Iran pendukung kuat Hamas?

Ini terkait secara logis dengan pertentangan pengadilan dan pemerintahan Uni Eropa (UE) menyangkut Hamas. Pada 17 Desember, Pengadilan Umum UE mencoret Hamas dari daftar teroris. Tapi, pada 19 Januari 2015, UE menyatakan akan meminta banding. Alasannya, putusan itu semata-mata berdasarkan landasan prosedural dan tidak mempertimbangkan kecakapan Hamas dalam merancang organisasi teror. Konsekuensinya, asetnya tetap dibekukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi. Sulit menerima penyalahan terhadap keputusan Pengadilan Umum itu. Tampaknya UE ditekan Arab, Israel, dan AS. Sebab, pertama, sikap pengadilan UE itu akan memperkuat Hamas. Pembekuan asetnya di luar negeri harus dicabut, sekaligus mengikat Iran dengan Palestina. Kedua, UE kehilangan alasan untuk mempertahankan Hizbullah sebagai organisasi teroris juga. Bukankah status Hamas dan Hizbullah sama? Keduanya milisi bersenjata yang menghadapi penjajah. Nah, kalau Hizbullah juga dicabut dari daftar teroris, ia pun akan memperoleh keuntungan sebagaimana Hamas. Posisi Iran di Timur Tengah kian kuat.

Ketiga, intervensi militer Arab pimpinan Saudi di Yaman. Tujannya jelas: membatalkan pengaruh Iran di halaman belakang Saudi. Sebagaimana diketahui, sejak 26 Maret lalu, Saudi dan bersama kekuatan militer kerajaan Arab Teluk lain, Mesir, Yordania, dan Maroko, melancarkan serangan ke basis-basis militer Syiah Zaidiyah pimpinan Abdul Malik al-Houthi di Sanaa, Ta'iz, Ma'rib, Aden, dll. Al-Houthi diketahui disokong oleh Iran.

Serangan Arab pimpinan Saudi ini merupakan manifestasi kemarahan Saudi terhadap Iran yang telah mendominasi kekuatan Syiah di Irak, Suriah, Libanon, dan kini Yaman. Selain itu, Syiah di Bahrain, yang merupakan 70 persen dari total penduduk, Syiah di provinsi timur dan tenggara Saudi juga berkiblat ke Iran.

Dengan keterlibatan Saudi di Yaman, berarti kekuatan Saudi dan Iran terlibat di Irak, Suriah, Palestina, dan Yaman. Sementara belum bisa ditentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang, yang sudah pasti perang di Irak, Suriah, dan Yaman kian berlarut-larut yang menewaskan ratusan ribu orang dan menciptakan jutaan pengungsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar