ISIS, Palestina, dan Yaman
Smith Alhadar ;
Staf
Ahli Institute for Democracy Education (IDe)
|
KORAN
TEMPO, 02 April 2015
Dalam waktu kurang dari satu bulan terakhir, tiga peristiwa
politik di Timur Tengah melibatkan Iran dan Arab Saudi secara mencolok. Pertama, pada 2 Maret, Iran
mencuri di tikungan dengan melancarkan serangan ke kubu ISIS di Kota Tikrit,
135 kilometer di sebelah utara Bagdad. Raja Arab
Saudi Salman bin Abdul Aziz marah besar dengan menyebut Iran "negara
teroris yang masuk ke negara Arab" dan langsung menghentikan serangan
udaranya bersama negara Arab lain dan NATO.
Mogoknya Saudi menyebabkan Yordania, Uni Emirat Arab, dan
Kuwait, yang mewakili Liga Arab, serta NATO pimpinan AS ikut mogok karena,
sesuai dengan perjanjian Liga Arab (baca: Saudi) dengan NATO (baca: AS),
perang Liga Arab-NATO melawan ISIS tidak boleh melibatkan Iran. Tujuannya
jelas: pasca-ISIS, Saudi ikut membentuk Irak yang baru, yang tidak berkiblat
ke Iran seperti sekarang ini. Tak mau Saudi menentukan masa depan Irak,
Jenderal Qassem Sulaimani dari Pasukan Khusus Iran memimpin dua kelompok
milisi Syiah Irak sebanyak 20 ribu personel menyerbu Tikrit. Tak rela Iran
memiliki saham menentukan bagi kemenangan perang di Tikrit, pada 26 Maret
lalu kembali Liga Arab-NATO menyerang kota kelahiran mantan presiden Saddam
Hussein itu, di saat milisi Syiah dan pasukan pemerintah Irak (gabungan Syiah
dan Sunni) sudah hampir memenangi pertempuran melawan ISIS. Giliran Iran yang
ngambek sekarang, sehingga kota yang hanya dipertahankan 500 kombatan ISIS
belum bisa ditaklukkan.
Kedua, seminggu setelah Iran campur tangan di Irak, Saudi
mendukung keputusan Mesir yang menetapkan Hamas sebagai kelompok teroris. Hal ini terkait dengan peristiwa pembunuhan 30 polisi dan
tentara Mesir oleh kelompok militan Mesir, Anshar al-Bait al-Muqaddas, yang
berafiliasi dengan ISIS. Jadi jelas, mereka tak berhubungan dengan sayap
militer Hamas, Brigade Izzeddin al-Qassam. Organisasi yang disebut terakhir
ini sepanjang sejarahnya belum pernah beroperasi di luar Israel, apalagi
Mesir. Hamas sangat menyadari pentingnya Mesir. Selain merupakan negara Arab
terbesar dan paling berpengaruh, Mesir satu-satunya akses Hamas ke dunia luar
dan mendapatkan logistik. Melalui terowongan Gaza-Sinai ini juga Hamas menyelundupkan
senjata. Presiden Mesir Abdu Fatah El-Sisi mengaitkan Anshar Bait al-Muqaddas
dengan Al-Ikhwan al-Muslimun (IM) guna menjustifikasi Hamas sebagai teroris,
sebagai konsekuensi logis dari penetapan IM sebagai teroris Hamas cabang IM
di Palestina. Tujuannya, melucuti Brigade Izzeddin al-Qassam dan
mengintegrasikan dengan Fatah pimpinan Mahmud Abbas yang tidak didukung Iran.
Dengan demikian, Abbas bisa mengirim pasukan ke Gaza untuk mengontrol basis
Hamas ini sekaligus memutuskan tangan Iran di Palestina. Bukankah Iran
pendukung kuat Hamas?
Ini terkait secara logis dengan pertentangan pengadilan dan
pemerintahan Uni Eropa (UE) menyangkut Hamas. Pada 17 Desember, Pengadilan
Umum UE mencoret Hamas dari daftar teroris. Tapi, pada 19 Januari 2015, UE menyatakan
akan meminta banding. Alasannya, putusan itu semata-mata berdasarkan landasan
prosedural dan tidak mempertimbangkan kecakapan Hamas dalam merancang
organisasi teror. Konsekuensinya, asetnya tetap dibekukan Mahkamah Agung
sebagai pengadilan tertinggi. Sulit menerima penyalahan terhadap keputusan
Pengadilan Umum itu. Tampaknya UE ditekan Arab, Israel, dan AS. Sebab,
pertama, sikap pengadilan UE itu akan memperkuat Hamas. Pembekuan asetnya di
luar negeri harus dicabut, sekaligus mengikat Iran dengan Palestina. Kedua,
UE kehilangan alasan untuk mempertahankan Hizbullah sebagai organisasi
teroris juga. Bukankah status Hamas dan Hizbullah sama? Keduanya milisi
bersenjata yang menghadapi penjajah. Nah, kalau Hizbullah juga dicabut dari
daftar teroris, ia pun akan memperoleh keuntungan sebagaimana Hamas. Posisi
Iran di Timur Tengah kian kuat.
Ketiga, intervensi
militer Arab pimpinan Saudi di Yaman. Tujannya
jelas: membatalkan pengaruh Iran di halaman belakang Saudi. Sebagaimana
diketahui, sejak 26 Maret lalu, Saudi dan bersama kekuatan militer kerajaan
Arab Teluk lain, Mesir, Yordania, dan Maroko, melancarkan serangan ke
basis-basis militer Syiah Zaidiyah pimpinan Abdul Malik al-Houthi di Sanaa,
Ta'iz, Ma'rib, Aden, dll. Al-Houthi diketahui disokong oleh Iran.
Serangan Arab pimpinan Saudi ini merupakan manifestasi kemarahan
Saudi terhadap Iran yang telah mendominasi kekuatan Syiah di Irak, Suriah,
Libanon, dan kini Yaman. Selain itu, Syiah di Bahrain, yang merupakan 70
persen dari total penduduk, Syiah di provinsi timur dan tenggara Saudi juga
berkiblat ke Iran.
Dengan keterlibatan Saudi di Yaman, berarti kekuatan Saudi dan
Iran terlibat di Irak, Suriah, Palestina, dan Yaman. Sementara belum bisa
ditentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang, yang sudah pasti perang
di Irak, Suriah, dan Yaman kian berlarut-larut yang menewaskan ratusan ribu
orang dan menciptakan jutaan pengungsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar