Rabu, 01 Juli 2015

Memaknai Puasa

Memaknai Puasa

  Kurnia JR  ;   Sastrawan
KOMPAS, 30 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Marhaban ya Ramadhan, selamat datang wahai Ramadhan! Bulan suci penuh berkah yang semestinya diisi dengan memperbanyak tadarus, sedekah, iktikaf, dan berbagai ibadah serta amal kebajikan. Disempurnakan dengan zakat fitrah di akhir Ramadhan.

Kenyataannya banyak pihak yang menyiakan-nyiakan makna bulan suci ini. Bulan puasa malah diisi dengan begadang menonton pelawak semalam suntuk di layar televisi.

Pengusaha layak diakui sebagai pihak yang paling sigap merancang dan menayangkan iklan, poster, atau neon sign di televisi, plaza pertokoan, serta jembatan penyeberangan dalam menyambut bulan puasa bagi umat Islam. Bukan sekadar ucapan, mereka juga memutar musik dan lagu religius di toko dan food court alias pujasera. Ramadhan malah diisi dengan keriuhan, kebisingan, dendang, dan rendang.

Para 'Aa' dan 'Mamah' jauh lebih sibuk melayani program "siraman rohani" di layar TV atau acara buka bersama. Perusahaan memacu target produksi memenuhi stok Lebaran. Karyawan bekerja lebih keras demi bonus. Para buruh harap-harap cemas memikirkan THR yang kerap telat atau batal dibayar majikan. Tukang ojek, tukang "ngobyek", hingga penganggur dikejar gemuruh tuntutan Lebaran yang tak terelakkan.

Ketika problem ekonomi mengimpit, Lebaran malah menjadi momok yang menakutkan. Banyak kalangan memaknai secara keliru bulan puasa.

Kepahitan sosial akibat kebutuhan logistik yang melambung harganya mengharu-biru jiwa kaum marginal di tengah kota hingga perkampungan terpencil. Lebih dari 11 bulan lainnya, pada bulan khusus ini mereka tak sempat nyepi dalam batin karena uang mesti dikejar lebih kencang.

Sementara itu, kelas menengah perkotaan punya ritual khas: buka bersama di hotel yang diisi ceramah dai kondang dan ditutup dengan hidangan lezat berlimpah. Lapar sesiang disudahi dengan kudapan manis dan kuliner seronok: sangat pas sebagai penunjang renungan tentang sufi Abad Pertengahan yang melantunkan cinta kepada Ilahi.

Tiada penghayatan nyata bahwa tasawuf adalah akhlak dan pengendalian total hawa nafsu. Yang dinikmati semata-mata puisi mabuk cinta hingga terbit kagum pada diri sendiri betapa mudah tumbuhnya rindu menyatu dengan Ilahi. Sekejap mata, diri ini serasa setara wali.

Padahal, puasa bukan drama romantis. Alkisah, Fatimah putri Rasul beserta suami dan kedua putranya tengah menanti waktu berbuka dengan masing-masing sepotong roti dan semangkuk susu. Terdengar pintu diketuk oleh seseorang yang mengaku lapar. Dengan serta-merta roti dan susu diserahkan kepada pengemis itu. Mereka pun berbuka puasa hanya dengan air putih hingga wajah kedua anak mereka memucat pada hari ketiga.

Hakikat puasa

Ramadhan memang fenomenal. Berbusa-busa ustaz mengingatkan pentingnya itikaf di masjid. Tetapi Ramadhan malah dipenuhi ingar-bingar musik dan lawakan di layar TV hingga subuh. Kisah Jalaluddin Rumi yang mengisi malam-malamnya pada musim dingin dengan munajat hingga air mata dan janggutnya membeku tak menyadarkan kita bahwa itu bukan fiksi dan untuk menapaki jalan sang sufi kita wajib menjemput rasa sakit yang sama.

Beberapa tahun yang silam saya pernah mengikuti perjalanan dua lelaki Jawa tradisional penghayat kebatinan kejawen dalam dua kesempatan berbeda. Yang pertama di Jawa Timur; yang kedua di Jawa Tengah. Dari mereka saya mengenal religi Jawa yang tua. Keduanya satu pemahaman bahwa kontak spiritual dengan pengayom Tanah Jawa di alam gaib tidak dapat dilakukan sepanjang Ramadhan. Sebab, pada bulan tersebut para badan alus menarik diri untuk memusatkan cipta, rasa, dan karsa hanya kepada Yang Maha Tunggal.

Umat Hindu Bali memaknai hari raya Nyepi sebagai penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makrokosmos dan mikrokosmos) demi kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan keharmonisan (sundaram). Sesuai hakikat itu, mereka melaksanakan tapa, yoga, dan semadi, yang intinya tak mengobarkan hawa nafsu, melakukan penyucian rohani, mawas diri, dan tak mengumbar kesenangan: hanya memusatkan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi.

Seyogianya referensi itu mengisyaratkan agar kita mendalami hakikat makna Ramadhan. Saya pernah mendapati seorang Muslim yang menghayati ilmu karuhun di suatu perkampungan di Jawa Barat membuat ruang bawah tanah di rumahnya. Fungsi kamar itu, menurut dia, sebagai sarana untuk mencapai puasa yang sempurna. Puasa, seperti kita tahu, tak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga dari berbagai keinginan tak senonoh yang menyalahi hukum Tuhan. Ruang khalwat bawah tanah untuk menempa diri juga digunakan oleh Sunan Drajat, yang situsnya terdapat di Lamongan, Jawa Timur.

Tersesat dari tujuan

Alangkah mudah mencibir mereka yang memilih lapar selama tiga hari berturut-turut karena bersedekah kepada fakir miskin. Seberapa lapang dada dan toleransi kita kepada umat agama lain? Betapa enteng menebar sinisme terhadap konsep religi yang dihayati nenek moyang di Nusantara, padahal kita tak tahu hakikatnya. Begitu lekasnya kita menuduh Wali Sanga telah mencampuradukkan ajaran Islam dengan berbagai khurafat tanpa mendalami substansi aspek-aspek kemanusiaan kita sendiri.

Sinisme dan kecongkakan itu, tak lain, terbit dari kebodohan. Kita menafikan kelemahan manusiawi, lantas melecehkan metode buat mengatasi kelemahan itu. Kita berpikir seolah-olah agama diturunkan untuk malaikat, bukan untuk manusia beserta segenap sisi kemanusiaan yang problematik.

Kita juga kadang-kadang berlebihan menanggapi kewajiban puasa. Dengan arogan kita menuntut warung makan dan restoran tutup pada siang hari. Kita lupa ada hak-hak orang lain yang dilanggar dengan kepongahan itu. Atas nama puasa, kita hancurkan puasa kita.

Kita bekuk hak saudara kita untuk mencari nafkah dan hak orang yang berbeda agama untuk makan di restoran pada siang hari. Sementara itu, selama berpuasa hati dan pikiran kita sibuk dengan angan-angan kuliner. Puasa pada siang hari, lalu memuaskan perut pada malam hari. Tanpa keteguhan di perjalanan, kita pun tersesat dari tujuan. Tak ada yang pantas diharapkan dari puasa yang demikian....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar