Netralitas Polisi dalam Politik
Bambang Widodo Umar ; Guru Besar Sosiologi Hukum FISIP UI;
Pengamat
Kepolisian
|
KOMPAS, 30 Juni 2015
Dilema Polri dalam
konstelasi politik adalah menjaga "netralitas" organisasi dan
anggotanya selaku "alat negara" penegak hukum, pemelihara
kamtibmas, dan pelayan masyarakat. Netralitas Polri akan ternodai manakala
muncul elite polisi aktif terseret dalam kancah politik praktis dengan
membangun relasi untuk mencapai kepentingan partai politik tertentu.
Kekhawatiran atas
dugaan keterlibatan elite polisi aktif, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dalam kancah politik praktis adalah wajar. Masa Orde Lama, Orde
Baru, juga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengangkat
Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai pemangku jabatan Kapolri
mendapat tekanan dari Jenderal (Pol) Suryo Bimantoro yang kemudian dijadikan
landasan oleh DPR untuk menyelenggarakan sidang istimewa dan berakhir dengan
melengserkan Presiden Gus Dur. Demikian pula dalam kasus VCD Banjarnegara,
seorang Kapolwil berkampanye di hadapan para purnawirawan polisi agar dalam
pemilu memilih calon presiden dari partai tertentu.
Tahun ini dalam
pelaksanaan pilkada serentak, tentu diharapkan netralitas polisi terjaga. Hal
ini mengingat dalam Pilpres 2014 ditengarai ada segelintir elite polisi aktif
yang diduga membantu menyukseskan calon presiden dari partai tertentu. Memang
tak mudah bagi elite polisi aktif melepaskan diri dari konstatasi politik
yang bisa membius dirinya ikut serta dalam kancah politik praktis. Selain
faktor pribadi, masalah regulasi dan kompetisi antarpartai politik dalam
pilkada yang belum sehat juga cenderung menjadi pokok persoalan.
Kerawanan UU Kepolisian
Dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 Ayat
(1) meskipun telah diatur secara jelas bahwa Polri harus bersikap netral
dalam kehidupan politik dan tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik
praktis, dalam praktik adanya terhadap dugaan keterlibatan elite polisi yang
melanggar pasal ini belum pernah dilakukan pengusutan secara tuntas dan
diberikan sanksi yang sesuai.
Titik rawan netralitas
polisi itu terletak pada fungsi kepolisian yang dinyatakan pada Pasal 2 UU No
2/2002 sebagai salah satu "fungsi pemerintahan" negara di bidang
pemelihara keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Perumusan fungsi kepolisian
ini bisa membawa ke arah penggiringan organ kepolisian menjadi agent of
political stabilisation pemerintah karena posisinya di lingkungan eksekutif
sehingga netralitas dalam tugasnya terganggu. Di negara-negara demokrasi,
fungsi kepolisian adalah "penegak hukum" dan "netralitas"
dalam menjalankan tugas menjadi tumpuan utama.
Selain itu, ditetapkannya
posisi Polri di bawah Presiden pada Pasal 8 (1) dalam UU No 2/2002 tanpa
"pengikat" (sanksi) yang jelas, jika organ polisi digunakan sebagai
alat kepentingan politik presiden juga dapat mengganggu netralitasnya dalam
menjalankan tugas. Demikian pula ketentuan Pasal 11 (1) yang mengatur
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri lewat persetujuan DPR, bisa menjadi
peluang politisasi polisi dan merangsang elite polisi jauh-jauh hari sudah
mulai mendekati partai politik tertentu untuk memuluskan kariernya. Efek
sampingnya adalah timbul semacam faksi-faksi atau patron-patron dalam
pengembangan karier sehingga persaingan pun berlangsung tidak sehat (tidak
mandiri).
Kekuasaan besar yang
diamanahkan kepada Polri sebagaimana diatur pada Pasal 15, Pasal 16, Pasal
17, dan Pasal 18 tanpa disertai pengawasan yang kuat dan pemberian sanksi
yang tegas atas pelanggarannya berpengaruh pula terhadap netralitas
kepolisian.
Kekuasaan besar polisi
itu bisa merangsang individu atau golongan untuk mendekatinya sebagai upaya
menjaga relasi untuk pengamanan diri (safety
first). Apalagi, dalam UU No 2/2002 tidak dirumuskan secara tegas
mekanisme pertanggungjawaban polisi sebagai institusi. Apakah polisi
bertanggung jawab kepada Presiden, kepada elite politik di parlemen, atau
kepada publik? Meskipun pada Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan, pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, pasal
ini tak secara tegas mengatur pertanggungjawaban institusional (Makmur Keliat, 2005).
Netralitas polisi juga
dipengaruhi sistem anggaran yang diatur dalam UU No 2/2002. Dalam
undang-undang itu tidak dirumuskan secara jelas (dalam satu pasal) pendanaan
APBN untuk tugas-tugas kepolisian. Demikian pula tidak ada satu pun pasal
yang mengatur bagi setiap anggota kepolisian berhak untuk memperoleh
penghasilan yang layak sesuai dengan beban tugasnya dan dibiayai dari
anggaran yang bersumber dari APBN. Hanya Pasal 26 Ayat (1) menyebutkan bahwa
setiap anggota Polri memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak,
sedangkan dari mana sumbernya tidak jelas (Sri Yunanto, 2005).
Ketidakjelasan aturan
itu seolah memberi peluang bagi polisi mendapatkan sumber dana yang berasal
dari masyarakat (terutama pengusaha) dengan alasan karena kekurangan biaya
operasional yang sering disebut dengan istilah "parman"
(partisipasi teman). Adanya peluang dalam undang-undang untuk mendapatkan
pendanaan dari sumber-sumber non-negara jelas merusak netralitas kepolisian.
Dalam jangka panjang keamanan akan menjadi masalah yang sangat serius, yaitu
warga yang memperoleh rasa aman adalah warga yang dapat membayar polisi.
Polisi bukan politisi
Kepolisian di negara
demokrasi diidentifikasikan sebagai lembaga yang berkaitan dengan penegakan
hukum dan ketertiban masyarakat. Dilema yang melekat pada fungsi ini adalah
ciri arcanum aksi kepolisian, di mana ia bekerja pada ruang privat, tetapi
menimbulkan efek pada ruang publik. Aksi kepolisian dalam mengelola kekuasaan
yang diberikan sangat mungkin menghilangkan rasa aman seseorang atau sekelompok
orang. Inilah yang menimbulkan kesan terhadap kepolisian sebagai "alat
kekuasaan".
Antagonisme fungsi
kepolisian (yudisial) dengan fungsi pemerintahan (executive) ada sejak kelahirannya. Dalam komunitas yudisial,
polisi bekerja melalui orientasi moral dengan acuan kerja salah atau benar,
sedangkan dalam komunitas eksekutif, pemerintah, bekerja melalui orientasi
politik dengan acuan kalah menang. Kontradiksi ini melekat pada fungsi
masing-masing, tetapi tidak berarti bahwa dalam praktik hal itu tidak bisa
diatur. Untuk mengatasi hal itu bisa dilakukan dengan membangun relasi-relasi
antarwarga dalam community policing,
misalnya. Negara memiliki hak untuk mengintervensi individu demi stabilitas
dan harmoni bagi seluruh warganya. Menurut pandangan ini, demi tercapainya
rasa aman, masyarakat bersedia menukar hak asasinya melalui proteksi dari
negara. Dengan catatan negara (cq pemerintah) bertindak adil dan menindak
tegas aparatnya yang melanggar hak asasi manusia.
Kesulitan penerapan
aksi kepolisian ini terkait bagaimana mendeteksi gangguan secepat mungkin
pada ruang publik, sementara tindakannya terarah pada individu yang berarti
ikut campur ke dalam ruang privat. Dalam rangka deteksi dini, kebutuhan
informasi dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat pun ditembus lewat
aksi di luar kontrol publik. Di sini ada nuansa tersembunyi, di mana aksi
kepolisian melampaui batas-batas hak asasi manusia. Aksi ini jelas
bertentangan dengan ketentuan penegakan hukum.
Seidman (1971)
menjelaskan bahwa meskipun penegakan hukum dan ketertiban masyarakat bersifat
normatif, kewenangan polisi untuk kepentingan itu bersifat politis. Dalam hal
ini penegakan hukum dan ketertiban masyarakat mendapat prioritas menjadi hak
kolektif seperti national self
determination, sama halnya dengan hak asasi manusia yang bersifat
universal karena mengacu pada hak-hak yang mewakili seluruh umat manusia.
Untuk memilah tindakan polisi yang bersifat normatif dengan tindakan yang
bersifat politis diperlukan lembaga kontrol yang independen dan kuat.
Di sinilah kontrol
terhadap polisi itu dikembalikan kepada civil
liberty, seperti hak milik privat. Setiap intervensi polisi terhadap
warga masyarakat (sipil) dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat
sebenarnya merupakan campur tangan ke wilayah privat. Karena itu, polisi
harus menjadi "cermin" dari kepentingan masyarakat sipil (civil society), bukan kepentingan
elite politik meskipun organ kepolisian ciptaan politik sebagai the condition of impossible dari
aplikasi legislasi equality dan individual autonomy.
Titik rawan
aturan-aturan di dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam kaitan dengan netralitas polisi terletak pada
perumusan yang bersifat vertikalistis dalam fungsi, tugas, peranan,
kewenangan, dan pengawasannya. Dalam negara demokrasi, lembaga kepolisian
tidaklah berdiri sendiri dalam membangun moral kolektif. Banyak lembaga lain
(formal dan nonformal) terlibat di dalamnya.
Peran masyarakat
sipil, seperti lembaga masyarakat adat, perlu didudukkan dalam undang-undang,
apalagi pluralisme hukum merupakan suatu keniscayaan di alam Indonesia. Oleh
karena itu, untuk menuju ke arah negara demokrasi, perubahan undang-undang
kepolisian perlu dilakukan dengan tidak bersifat vertikalistis dalam
penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Selain itu, harus dihindari
hegemoni kepolisian atas kelembagaan lain yang tersusun secara terselubung
dalam teks-teks untuk kepentingan parsial dengan alasan demi kepentingan
umum.
Perkembangan Polri
setelah 69 tahun sejak kelahirannya yang diharapkan menunjukkan peningkatan
secara signifikan sebagai sosok polisi yang netral dalam menjalankan tugas,
tampak belum sepenuhnya tercapai. Endapan citranya yang diidentifikasikan
sebagai alat kekuasaan masih kental. Seiring hal itu reformasi Polri yang
telah berjalan 15 tahun juga belum berpengaruh terhadap netralitas polisi.
Pertanyaannya, mungkinkah membangun netralitas Polri tanpa kebijakan politik
untuk melakukan perubahan secara mendasar? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar