Defisit Kepercayaan
Komaruddin
Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 03 Juli 2015
Berbagai penelitian
sosial menunjukkan masyarakat yang tingkat amanah dan akuntabilitasnya
rendah, yang biasa disebut sebagai the
low trust society, akan sulit bersaing dalam persaingan dunia karena
produk yang dihasilkan kualitasnya rendah, tetapi biayanya tinggi. Ini bisa
dilihat baik dalam bidang manufaktur, industri, pendidikan, jasa maupun
bidang lain. Jalur birokrasi yang panjang, ditambah lagi adanya pungutan
biaya siluman, semua itu akan menambah mahal ongkos produksi sehingga hasil
akhirnya mahal, tidak kompetitif di pasar. Kekhawatiran ini muncul ketika
kita sebentar lagi memasuki pasar bebas.
Di Jepang, misalnya,
yang birokrasinya dikenal bersih dan akuntabel, beberapa perusahaan industri
mengalami penurunan karena disalip Korea Selatan. Salah satu sebabnya adalah
mata rantai birokrasi yang dinilai lebih panjang dan memerlukan waktu lebih
lama dalam mengambil keputusan dibandingkan Korea Selatan sebagai pesaingnya.
Jadi, Jepang yang dikenal bangsa pekerja keras, teliti, dan menjaga kualitas
pun mesti menambahkan satu faktor lagi, yaitu cepat, agar kompetitif dalam
mengawal dan mengembangkan industrinya.
Kita sedih dan malu
kalau mengamati bagaimana budaya birokrasi yang berkembang di Indonesia, yang
lambat dan mahal. Selalu saja ada tambahan biaya tak terduga, baik waktu,
uang maupun emosi.
Akibatnya melahirkan
realitas pahit yang paradoksal. Banyak rakyat miskin yang hidup di negeri
yang kaya sumber daya alam. Bonus demografi yang mestinya menjadi sumber
kekuatan untuk memajukan kemakmuran rakyat janganjangan berbalik menjadi
beban negara. Kenaikan anggaran pendidikan yang mestinya memiliki korelasi
dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat malah memberikan harapan
yang masih jauh dari kenyataan.
Sebagaimana diulas
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust
(1995), kemajuan teknologi informatika telah membuat struktur organisasi
semakin linier, tak lagi hierarkis. Dalam konteks politik di Indonesia, hal
ini seiring dengan keputusan politik desentralisasi.
Hanya saja jika tidak
dibarengi penerapan GCG, pemerintahan yang bersih dan efektif, yang terjadi
justru pemerataan korupsi. Fukuyama mengingatkan, salah satu prinsip yang
tidak kenal kompromi adalah penerapan etika agar tercipta pemerintahan yang
tepercaya dan dapat dipercaya. Kita mesti belajar dari negara-negara baru
yang dulunya di bawah cengkeraman Uni Soviet. Korupsi menyebar ke mana-mana,
tidak mudah menemukan pemimpin berwibawa yang sanggup menciptakan
pemerintahan efektif. Dalam era transisi, bermunculan penumpang gelap yang
hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Transisi dan Kompromi
Secara historis
perjalanan negara ini relatif masih muda. Mengelola masyarakat dan kelompok
sosial yang sedemikian besar dan majemuk sungguh tidak mudah. Semangat dan
identitas keindonesiaan belum solid. Kesadaran dan disiplin kewarganegaraan (citizenship) belum mapan. Dalam waktu
yang sama ikatan kedaerahan kian longgar. Dalam situasi transisional yang
cair ini, jika pemerintah tidak efektif dan berwibawa, yang mengemuka bangsa
ini bagaikan masyarakat kerumunan yang gaduh tidak jelas arahnya. Panggung
politik diramaikan oleh persaingan dan pertunjukan tokoh-tokoh parpol dalam
memperebutkan kekuasaan yang dikondisikan oleh jargon demokrasi dan
reformasi.
Dari segi instrumen
hukum dan undang-undang, negara ini cukup lengkap.
Bahkan dilengkapi oleh
sekian puluh komisioner, yang paling ikonik tentunya KPK. Meski begitu,
mengingat tradisi bernegara belum cukup mengakar, sekian banyak instrumen
hukum yang ada tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Mengutip sinyalemen
almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), jika dilihat ke belakang, setiap tampil
generasi baru, yaitu antara 20 hingga 25 tahun, selalu terjadi gejolak
transisi nasional, tetapi tidak selalu dikelola dengan cerdas dan terencana.
Jika asumsi itu benar,
misalnya kebangkitan politik pada 1908, 1928, 1945, 1965, maka pada dekade
1980-an sesungguhnya bangsa ini panen generasi baru yang tamat universitas,
tetapi rezim Soeharto waktu itu kurang menyadarinya. Mereka anak-anak bangsa
yang mengenal teori berdemokrasi dan paham makna akuntabilitas publik yang
mesti didengarkan aspirasinya.
Karena salah dan
lambat membaca suara zaman, tahun 1998 Presiden Soeharto dipaksa turun oleh
anak-anak sendiri yang mengenyam pendidikan di era Orde Baru. Baru tahun 2004
diselenggarakan pemilu secara langsung dan menghasilkan SBY sebagai presiden
dengan UU baru yang membatasi masa kepresidenan paling lama dua kali. Jadi,
secara textbook demokrasi, baru SBY
merupakan presiden pertama yang naik dan turun sesuai dengan kaidah pemilu
setiap lima tahun.
Dengan cerita singkat
ini saya ingin mengingatkan, kita baru mulai membangun tradisi baru tentang
akuntabilitas publik. Jika seorang presiden, gubernur, bupati, dan anggota
DPR tidak performed, mestinya
publik akan menghukumnya untuk tidak memilih kembali pada periode berikutnya.
Prestasi dan warisan
dari gerakan reformasi yang mesti kita apresiasi adalah iklim kebebasan pers.
Ini merupakan modal sosial bagi gerakan akuntabilitas publik. Rakyat memiliki
kebebasan dan keberanian berbicara serta mengkritik pemerintah, suatu situasi
yang tidak ditemukan semasa Orde Lama dan Orde Baru. Masalahnya adalah, meski
kita bebas mengkritik, tiba-tiba kita dihadapkan kenyataan menjamurnya
tindakan korupsi baik di pusat maupun daerah yang terjadi hampir di semua
lini birokrasi. Suara dan gerakan antikorupsi setiap hari kita dengar,
bersamaan dengan berita temuan tindakan korupsi. Kita belum menemukan formula
yang jitu bagaimana mengatasi proses pembusukan yang terjadi dalam tubuh
birokrasi maupun politik.
Gerakan antikorupsi
untuk mewujudkan akuntabilitas publik sering kali memperoleh hambatan justru
karena pihak-pihak yang sering jadi korban tidak mau dan tidak berani
melaporkan kepada media massa maupun instansi berwenang. Lebih repot lagi
ketika terjadi sengketa yang berakar pada korupsi, penyelesaiannya dengan
jalan kompromi antaraktor yang mestinya konsisten menegakkan hukum dan
pemerintahan bersih.
Rasa malu bagi
koruptor semakin tipis. Mereka membuat kalkulasi durasi waktu berapa lama
harus menjalani tahanan dan jumlah tabungan hasil korupsinya ketika masa
tahanan sudah berakhir. Dengan demikian yang namanya proses pengadilan sering
kali tidak luput dari proses tawar-menawar yang mengarah pada jual beli
pasal. Konsep harga diri yang mestinya didasarkan pada integritas berubah
artinya menjadi berapa juta rupiah harga diri penegak hukum. Tragis dan
ironis. Yang mengemuka bukannya akuntabilitas publik, melainkan pengkhianatan
publik.
Akuntabilitas Administrasi dan Moral
Kita sangat merindukan
sebuah pemerintahan yang efektif, bersih, dan berwibawa sehingga sanggup
menggerakkan dan memberdayakan rakyatnya. Sebuah pemerintahan yang bukan
untuk ditakuti, tetapi yang menginspirasi dan memotivasi warganya untuk
bangkit. Sebuah pemerintahan yang menampilkan sosok-sosok role model bagi anak-anak bangsa
mengingat saat ini masyarakat sangat haus akan sebuah kemenangan dan
kebanggaan sebagai anak bangsa yang besar ini.
Peran ini hanya bisa
dilakukan jika terjalin hubungan saling percaya (trust) antara rakyat dan pemerintah. Sebuah kepercayaan akan muncul
jika seseorang diyakini memiliki kompetensi, integritas, visi dan mimpi besar
untuk membawa perubahan ke arah keunggulan. Oleh karena itu, sesungguhnya
yang diharapkan rakyat terhadap pemerintah bukan sekadar menyajikan
pertanggungjawaban berupa akuntabilitas administratif dalam hal penggunaan
anggaran negara. Pemberantasan korupsi itu hanyalah prasyarat bagi kemajuan
sebuah bangsa.
Sekadar baik dan jujur
tidaklah cukup, kita juga memerlukan akuntabilitas intelektual dan kompetensi
dari penyelenggara negara. Persaingan antarbangsa tidak lagi mengandalkan
seberapa kaya sumber daya alam suatu negara, melainkan mencakup pula apa yang
sering disebut sebagai intellectual
capital, moral capital, dan social
capital.
Bangsa ini sangat kaya
dengan aset budaya dan pengalaman panjang meraih kemerdekaan. Bahkan juga
berhasil melakukan ijtihad politik menjaga pluralisme agama, bahasa, dan
budaya. Tapi, lagi-lagi, semua itu belum dikapitalisasi secara optimal bagi
kemajuan dan kemakmuran warganya.
Kita rindu untuk
melihat bangsa dan negara ini berdiri tegak dengan percaya diri, bermartabat,
dan disegani dalam pergaulan dunia. Kita mendambakan terealisasinya mimpi dan
cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa sebagaimana yang terkandung dalam
Pancasila. Masyarakat Indonesia yang cerdas, mampu melaksanakan nilai
kebertuhanan yang memunculkan sikap kemanusiaan untuk keadilan dan
kesejahteraan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar