Ambalat Lagi
I
Made Andi Arsana ;
Dosen Teknik Geodesi UGM;
Peneliti
Isu Perbatasan Internasional
|
KOMPAS, 04 Juli 2015
Pada 2005 silam
hubungan Indonesia dan Malaysia sempat memanas karena sengketa Blok Ambalat
di Laut Sulawesi. Satu dekade berlalu, ternyata Ambalat mencuat lagi dan
menimbulkan keresahan yang hampir sama. Perihal perbatasan memang tidak
sederhana.
Indonesia berbagi
daratan dengan Malaysia di Borneo sebagai konsekuensi dari kolonialisasi
Inggris dan Belanda. Prinsip bahwa wilayah dan batas wilayah suatu negara
mengikuti penjajahnya dianut berbagai negara di dunia dewasa ini.
Meski garis batas
darat sudah jelas, garis batas lautnya belum ditetapkan. Garis batas darat
antara Indonesia dan Malaysia berakhir di sisi timur daratan Borneo, memotong
Pulau Sebatik. Idealnya, garis batas yang memotong Pulau Sebatik inilah yang
diteruskan ke arah Laut Sulawesi sehingga menjadi pembagi kawasan laut bagi
kedua negara. Sayangnya, garis ini belum kunjung terwujud sehingga pembagian
laut di Laut Sulawesi belum tuntas hingga kini.
Pelanggaran?
Jika demikian, mengapa
ada berita pelanggaran? Mengapa kita bisa yakin menuduh Malaysia memasuki
wilayah Indonesia di Ambalat?
Perlu dipahami bahwa
meskipun Indonesia dan Malaysia belum bersepakat tentang pembagian kawasan
laut, kedua negara sudah mencoba mengklaim secara sepihak. Tidak saja
mengklaim, sejak 1960-an Indonesia bahkan sudah menetapkan kawasan konsesi
dengan membuat kavling/blok dasar laut yang mengandung minyak atau
hidrokarbon lainnya. Blok konsesi ini dieksplorasi perusahaan profesional
yang mendapat izin. Salah satu kavling tersebut bernama Ambalat (1999) dan
satu lagi bernama East Ambalat (2004).
Malaysia tidak protes
secara eksplisit, seakan-akan menyetujui. Meski demikian, pada 1979 Malaysia
mengajukan klaim sepihaknya melalui sebuah peta yang tumpang tindih dengan
klaim Indonesia. Indonesia menganggap Malaysia salah karena mengklaim apa
yang sudah diklaim Indonesia. Namun, perlu diingat, di Laut Sulawesi belum
ada garis batas maritim yang disepakati sehingga belum jelas secara hukum
internasional kawasan laut milik Indonesia maupun Malaysia.
Keadaan memburuk
ketika pada 2005 Malaysia memberikan konsesi atas blok yang sebelumnya sudah
dikonsesikan Indonesia. Pecahlah kasus Ambalat jilid 1.
Perlu diingat lagi,
Ambalat adalah blok dasar laut, bukan pulau, bukan daratan. Nama Ambalat ini
diberikan Indonesia, sedangkan Malaysia menyebutnya ND6 dan ND7.
Milik siapa blok
tersebut? Indonesia mengklaimnya, Malaysia juga. Keduanya belum bersepakat
karena pembagian kawasan laut di Laut Sulawesi belum tuntas. Sampai kini
Indonesia dan Malaysia masih merundingkannya secara intensif.
Maju, tetapi belum tuntas
Sejak 2005 sekitar 30
perundingan sudah dilakukan. Ada kemajuan, tetapi belum tuntas. Memang tidak
mudah menetapkan batas maritim. Indonesia dan Vietnam perlu 25 tahun, dengan
Singapura bahkan hingga 41 tahun untuk batas maritim yang relatif pendek.
Jika melihat peta NKRI
tahun 2015, tampak bahwa Indonesia menganggap Blok Ambalat adalah bagian dari
NKRI. Sementara itu, menurut peta Malaysia 1979, Blok Ambalat dianggap bagian
dari Malaysia. Tumpang susun peta Indonesia dan Malaysia memperlihatkan klaim
tumpang tindih. Itulah yang saat ini dirundingkan.
Indonesia tentu punya
argumen kuat akan klaimnya. Malaysia mungkin punya keyakinan yang sama.
Mengapa tidak dibagi dua saja dengan garis tengah? Konvensi PBB tentang Hukum
Laut (UNCLOS) sebagai dasar hukum tidak mengatur secara eksplisit metode yang
harus digunakan.
UNCLOS mewajibkan dua
negara bersengketa untuk mencapai "solusi yang adil", yang artinya
"terserah" kepada kedua negara. Maka, peran negosiator sangat
penting. Jika tidak selesai dalam negosiasi, kasus ini bisa dibawa ke lembaga
peradilan, seperti Mahkamah Internasional atau International Tribunal for the Law of the Sea meski
tanda-tandanya belum ada.
Untuk menyelesaikan
kasus perbatasan dengan Malaysia, Indonesia menunjuk utusan khusus, yaitu
Duta Besar Eddy Pratomo. Tugasnya tidak hanya menyelesaikan kasus Ambalat di
Laut Sulawesi, tetapi juga kawasan lain yang belum tuntas: Selat Malaka,
Selat Singapura, dan Laut Tiongkok Selatan.
Kini kedua negara
harus mempercepat penyelesaian batas maritim dan menahan diri untuk tidak
melakukan tindakan provokatif di kawasan yang masih dalam sengketa. Media
juga bertanggung jawab menyajikan berita obyektif agar masyarakat tidak mudah
tersulut.
Membela bangsa itu
wajib, tetapi tidak dengan menebar kebencian kepada bangsa lain. Membela
bangsa harus dengan nasionalisme yang cerdas dan terhormat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar