Pentingnya
Keberpihakan terhadap Riset Noory Okthariza ; Peneliti di Centre
for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta |
KOMPAS, 5 Mei 2021
Peleburan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)
serta pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai institusi
otonom pada reshuffle kabinet lalu mengundang pertanyaan terkait apa
sesungguhnya visi dan strategi pemerintah untuk memajukan dunia riset di
Tanah Air. Pertanyaan ini lumrah belaka, mengingat
sebelum dan seusai pelantikan, Presiden Jokowi tidak memberikan semacam arah
kebijakan yang ia inginkan di bidang riset. Apa sesungguhnya yang diinginkan
Presiden? Mengapa harus dilakukan bongkar pasang kementerian? Jika memang ada
visi jelas, mengapa penggabungan dan pembentukan badan otonom ini tidak
serta-merta dilakukan sejak awal pemerintahan? Ketiadaan pernyataan Presiden membuat kita
akhirnya berpegang pada pernyataan-pernyataan awal dari dua pejabat yang baru
dilantik. Menteri Nadiem Makarim mengatakan bahwa ia ingin agar mahasiswa dan
dosen bisa melakukan penelitian sebanyak-banyaknya agar ”bisa benar-benar
meningkatkan kualitas dan inovasi di universitas kita, di perguruan tinggi
kita dalam bidang riset dan teknologi”. Sejalan dengan itu, Kepala BRIN Laksana Tri
Handoko berkata bahwa fungsi Litbang di setiap kementerian nantinya akan
diintegrasikan ke dalam BRIN. Integrasi ini mencakup seluruh proses
manajemen, anggaran, dan sumber daya manusia. Handoko juga mengindikasikan bahwa ia akan
fokus pada riset dan inovasi berbasis biodiversitas yang bisa meningkatkan
nilai tambah kekayaan alam. Tujuannya jelas; riset seperti ini diharapkan
berkontribusi pada peningkatan pendapatan dan ekonomi nasional. Keberpihakan
pemerintah Segala keinginan dua pejabat baru ini tentu
pada gilirannya harus diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan yang nyata
dan terukur. Sayangnya, waktu yang dimiliki Nadiem dan Handoko tidak panjang.
Dan, karena itu, kita mesti realistis tentang apa yang bisa dan tidak bisa
diharapkan terjadi dalam dua-tiga tahun ke depan. Akan tetapi, hal paling minimal dan juga
sangat fundamental adalah bagaimana pemerintah bisa memperlihatkan gestur
kuat soal keberpihakan yang tinggi terhadap dunia riset. Sulit membayangkan
kita bisa maju dan mampu berdaya saing tanpa keberpihakan yang jelas di
bidang penelitian. Indikator-indikator makro dunia
memperlihatkan bahwa negara-negara yang adil makmur, serta yang mencatat
percepatan tinggi dalam hal kesejahteraan, selalu dibarengi dengan
keberpihakan yang tinggi di bidang R&D alias research and development. Cara termudah melihat keberpihakan ini
adalah dengan melihat seberapa besar tingkat pengeluaran kita di bidang riset
terhadap PDB. Data dari UNESCO memperlihatkan, tahun 2018, pengeluaran riset
kita ternyata hanya 0,1 persen dari PDB. Tiga negara tertinggi di dunia dalam hal
ini adalah Korea Selatan (4,1 persen), Jepang (3,4 persen), dan Swiss (3,2
persen). Di level Asia Tenggara, kita masih jauh tertinggal dengan Singapura
(2,1 persen) dan Malaysia (1,3 persen), bahkan oleh Thailand (0,5 persen) dan
Vietnam (0,4 persen). Memang ada sedikit perbedaan data antara
UNESCO dan Bank Dunia. Menurut Bank Dunia, tingkat pengeluaran kita pada 2018
adalah 0.2 persen—tidak banyak berbeda. Namun, yang memprihatinkan adalah
jika kita melihat progresi yang kita lakukan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, kita memulai spending
0,068 persen. Sepuluh tahun kemudian, angkanya bergerak nyaris tak berarti
menjadi 0,083 persen. Itu berarti dalam kurun waktu hampir 20 tahun,
peningkatan yang kita lakukan teramat kecil. Standar pengeluaran riset untuk
negara-negara Asia Timur dan Pasifik adalah 2 persen dari PDB. Ini angka yang
tidak memasukkan negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, Australia, dan
Selandia Baru. Jika semua negara maju di kawasan kita masukkan, standarnya
naik menjadi 2,5 persen. Ini adalah tantangan riil yang menjadi PR
bagi pemerintah, khususnya bagi pejabat yang baru dilantik, soal bagaimana
keberpihakan terhadap penelitian ini bisa kita terjemahkan secara nyata lewat
kebijakan-kebijakan yang sistematis. Tantangan lain terkait dengan strategi
pembiayaan. Riset di bidang sains dan teknologi membutuhkan infrastruktur dan
dana yang tidak sedikit. Kita akan sangat kerepotan jika hanya mengandalkan
pemerintah sebagai satu-satunya ”pemodal” di dunia penelitian. Anggaran negara terbatas dan sebagian sudah
dikunci oleh konstitusi untuk disetor ke pos tertentu, seperti 20 persen
untuk pendidikan dan sekian persen untuk transfer fiskal ke daerah. Selain
itu, diyakini ke depannya porsi besar anggaran negara akan digunakan membayar
utang piutang yang kian menumpuk. Karena celah fiskal kita terbatas, maka
satu-satunya jalan keluar adalah mendorong partisipasi swasta yang lebih
besar. Pelajaran dari negara-negara maju adalah bagaimana mereka bisa
menemukan model hubungan mutualistis antara dunia usaha dan dunia riset
sehingga memungkinkan ekosistem bisnis dan riset saling mendukung. Mayoritas negara maju selalu mengedepankan
peran swasta untuk pembiayaan alih-alih berharap pada negara. Ini berlaku
bahkan untuk negara seperti China dan Vietnam yang selama ini dianggap sangat
state-driven dari segi kebijakan. Sayangnya, penetrasi sektor swasta kita
terhadap riset, menurut UNESCO, hanya 25,6 persen saja. Kontribusi terbesar
masih datang dari pemerintah, yakni 39,3 persen, dan sisanya dari universitas
35,1 persen. Jika kita bandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, kita
jelas tertinggal. Kontribusi pembiayaan swasta di Malaysia
adalah 45,6 persen, Vietnam 51,7 persen, dan Thailand 54,2 persen. Korea
Selatan lagi-lagi menjadi yang tertinggi dalam hal ini dengan kontribusi
swasta 78,2 persen. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, Inggris, dan
Perancis memiliki kontribusi sektor swasta masing-masing 71,5, 65,1, dan 63,6
persen. Oleh karena itu, pemerintah perlu meramu
model hubungan dan model riset seperti apa yang memungkinkan komunitas bisnis
mau membiayai riset di Tanah Air. Jikalau kebijakan yang dimaksud sudah ada,
hampir dipastikan ia perlu direvitalisasi. Opsi-opsi yang bisa dieksplorasi, seperti
potongan pajak, pemberian beasiswa, pemberian stimulus agar bisnis mau
membentuk pusat-pusat studi, pembuatan komitmen pendanaan riset jangka
panjang untuk riset-riset tertentu yang berorientasi industri–ini semua perlu
dibicarakan secara serius. Inovasi
dan luaran riset Hal lain yang juga beririsan dengan tema
riset adalah soal inovasi; seberapa mampu kita meningkatkan output inovasi
dan bagaimana inovasi tersebut, dalam perspektif pembangunan ekonomi, bisa
dimonetisasi. Untuk itu, mari kita tengok data Global Innovation Index (GII),
sebuah database yang berisi agregasi level inovasi setiap negara di seluruh
dunia. Total ada 131 negara yang dinilai pada
2020. Indikator yang digunakan GII sangat beragam, lebih dari 50 indikator.
Akan tetapi, semua indikator ini bisa dikelompokkan ke dalam dua bagian
besar, input dan output inovasi. Input inovasi merupakan rangkuman dari
hal-hal seperti kualitas infrastruktur internet, jumlah lulusan sekolah sains
dan engineering, skillset yang dimiliki lulusan perguruan tinggi, sampai
dengan kebijakan ekologi, dan penetrasi venture capital. Sedangkan output
inovasi dinilai dengan lebih sederhana. Ia terdiri dari beberapa indikator,
seperti pertumbuhan ekspor barang-barang kreatif, jumlah paten dan royalti,
proporsi penerimaan ekspor industri kreatif terhadap keseluruhan ekspor,
hingga jumlah artikel di jurnal ilmiah untuk bidang sains dan teknologi. Jika seluruh data diagregasi, kita dapati
Indonesia ada di posisi ke-85 dari 131 negara dengan nilai 26,5, sementara
Swiss menjadi negara yang paling inovatif dengan skor 66. Hanya ada dua
negara Asia yang berada di 10 besar, yakni Singapura (peringkat ke-8) dan
Korea Selatan (peringkat ke-10). Negara tetangga kita, Malaysia, ada di
posisi ke-33, Vietnam di peringkat ke-42, dan Thailand di peringkat ke-44.
Sementara Filipina ada di posisi ke-50 dan Brunei Darussalam di posisi ke-71. Singkat kata, PR kita masih banyak dan kita
masih jauh tertinggal dari negara-negara lain di kawasan. Tentu di sisi lain kita harus jujur berkata
bahwa hampir semua indikator input dan output inovasi tersebut merupakan
hasil dari investasi jangka panjang. Untuk kepentingan tulisan ini, sebagian
besar indikator malah bukan merupakan tanggung jawab langsung dari dua
pejabat yang baru dilantik. Namun, tentu ada peluang yang masih bisa
dimaksimalkan. Misalnya, yang terkait dengan kuantitas dan kualitas luaran
riset yang dihasilkan para ilmuwan kita. Dalam hal ini memang mau tidak mau
kita berbicara soal publikasi penelitian. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah
gencar mendorong para dosen dan peneliti memublikasikan karya tulis mereka di
jurnal-jurnal ilmiah bereputasi. Bahkan, lewat Permen Kemenristek-Dikti No
20/2017 disebutkan, publikasi di jurnal internasional menjadi syarat
pemberian tunjangan bagi dosen dengan jabatan profesor dan lektor kepala. Banyak kritik terhadap permen tersebut. Akan
tetapi, secara pribadi saya menganggap stimulus semacam itu memang diperlukan
untuk mendorong gairah penelitian para ilmuwan kita. Menurut the Nature
Index, sebuah database berisikan jumlah artikel yang terpublikasi di 82
jurnal sains berpengaruh setiap tahun, pada periode 1 November 2019 hingga 30
November 2020, ilmuwan Indonesia baru menghasilkan 87 artikel. Jumlah artikel
kita memang terus meningkat secara konsisten sejak 2016. Saat ini, Indonesia
ada di peringkat ke-66 dari 179 negara. Akan tetapi, negara lain di kawasan
ternyata berlari lebih cepat; Thailand menghasilkan 238 artikel, Malaysia 128
artikel, dan Vietnam 103 artikel. Singapura yang menempati peringkat keenam
di kawasan Asia Pasifik berhasil memublikasikan 1.290 artikel pada periode yang
sama. Dua posisi tertinggi diraih ilmuwan Amerika Serikat dengan 29.027
artikel dan China dengan 19.065 artikel. Merumuskan kebijakan, strategi, dan
insentif bagaimana kita bisa meningkatkan produktifitas riset lewat
publikasi-publikasi ilmiah barangkali bisa menjadi salah satu poin yang bisa
diharapkan dilakukan dalam jangka pendek. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar