Uighur
dalam Politik Global Smith Alhadar ; Direktur Eksekutif
Institute for Democracy Education (IDe) |
KOMPAS, 5 Mei 2021
Selain Rohingya, muslim Uighur di Provinsi
Xinjiang, China, adalah etnis yang paling mengalami persekusi di dunia.
Baru-baru ini AS, UE, dan Inggris menyatakannya sebagai genosida. Diamnya
Dunia Islam terhadap penghilangan identitas religius Uighur oleh rezim China
hanya menggambarkan betapa besar pengaruh China terhadap negara-negara Islam. Karena itu, Presiden AS Joe Biden berniat
memobilisasi Dunia Islam untuk juga menjatuhkan sanksi atas China. AS,
Kanada, Inggris, dan UE, telah memboikot ekspor kapas China yang datang dari
Xinjiang. Mereka juga telah menghukum empat pejabat China yang dituduh
sebagai arsitek penindasan atas Uighur. Sikap keras 40 negara maju terhadap China
tak lepas dari nilai-nilai luhur hak asasi manusia yang mereka yakini telah
dilanggar secara vulgar oleh Beijing. Tetapi sebagian dari mereka, khususnya
AS, isu Uighur juga dijadikan pintu masuk bagi upaya menghambat perkembangan
China. Apalagi belakangan ini Beijing kian asertif dan agresif di Laut China
Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Kalau dibiarkan akan memberi pesan yang
keliru kepada China dan merusak tatanan internasional. Model China, negara
totaliter tetapi menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi, ditakutkan akan
melemahkan promosi sistem negara demokrasi di dunia. Terkait situasi HAM di Xinjiang, Ketua
Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet mendesak Beijing
memberi akses pada Pengawas HAM PBB untuk masuk ke Xinjiang untuk
menginvestigasi situasi di sana. Sebenarnya kegelisahan 11 juta etnis Uighur
di Xinjiang – orang Uighur menyebutnya Turkistan Timur – sudah terjadi sejak
pertengahan abad ke-18 ketika Dinasti Qing menduduki provinsi terbesar di
Cina itu menyusul pemindahan etnis Han – etnis mayoritas di China – ke
wilayah itu. Tapi pemindahan besar-besaran yang lebih terencana terjadi
setelah rezim komunis China di bawah Ketua Mao Zedong berdiri 1949. Dengan maksud mengubah demografi dan
menghilangkan identitas Islam di provinsi itu, orang Han dalam jumlah besar
masuk hingga ke jantung wilayah Uighur. Kini jumlah etnis Han 70 persen dari
total penduduk. Nampaknya, Beijing ingin meng-Han-kan orang
Uighur sebagaimana yang terjadi pada etnis Muslim Hui. Memang berbeda dengan
Uighur, etnis Hui – yang kebanyakan tinggal di wilayah otonomi Ningxia dan
Provinsi Gansu -- telah mengadopsi budaya dan bahasa Han. Penampilan fisiknya
pun tak dapat dibedakan dengan orang Cina lainnya. Hanya saja asimiliasi
orang Hui yang bernenek moyang orang Arab dengan orang Han terjadi secara
alami. Setelah tentara Mongol yang mendirikan
Dinasti Yuan di China menghancurkan Baghdad pada pertengahan abad ke-13,
ribuan orang Arab dibawa ke China untuk menjadi administrator pada dinasti
itu. Orang Hui terkenal dan dihormati karena
kepintaran mereka berdagang dan loyalitasnya pada dinasti-dinasti kuno hingga
negara modern China saat ini. Salah seorang Hui yang terkenal di Indonesia
adalah laksamana Cheng Ho yang melaksanakan perintah Kaisar Chengzu dari
Dinasti Ming untuk memimpin armada besar China ke Nusantara pada awal abad
ke-15. Orang
Uighur, rumpun etnis Orang Uighur, rumpun etnis Turki, masih
bertahan di wilayah asli mereka dan mempertahankan budayanya yang jauh
berbeda dengan budaya Han. Rezim China menganggap Uighur sebagai orang yang
menderita “sakit mental”. Menyusul peristiwa teror 9/11di AS, China
memanfaatkan perang terhadap teror itu dengan program pembersihan identitas
etnis. Imbauan Bachelet di atas muncul setelah dilaporkan bahwa Uighur
menghadapi penahanan sepihak, pembatasan ibadah, dan indoktrinasi politik
paksa dalam pengawasan yang dilakukan secara massif. Pada Agustus 2018, Panel HAM PBB
mengatakan, mereka menerima laporan yang kredibel bahwa sekitar satu juta
orang Uighur ditahan dalam penahanan ekstra legal di Xinjiang, dan memintanya
untuk dibebaskan. Penahanan di kamp konsentrasi oleh rezim
China memang menggetarkan. Paling tidak setiap satu dari 11 orang Uighur
hilang ke dalam kamp-kamp konsentrasi. Angka itu bahkan lebih menggetarkan
bagi mereka yang memiliki keluarga atau teman yang dikurung hanya karena
mempraktekkan ajaran Islam di wilayah di mana agama ini diasosiasikan dengan
subversi, separatisme, dan terorisme. Memang sejak dulu Uighur mengangkat senjata
melawan Beijing. Pada 1933 dan 1944 mereka berhasil mendirikan Republik
Turkistan Timur Pertama sebelum dihancurkan pada 1934. Republik Turkistan
Timur Kedua berdiri dari 1944 sampai 1949. Pada saat ini ada tiga organisasi
Uighur yang terus berjuang untuk kemerdekaan: Gerakan Islam Turkistan Timur,
Organisasi Pembebasan Turkistan Timur, dan Gerakan Kemerdekaan Turkistan
Timur. Ancaman terhadap penahanan di kamp
konsentrasi adalah ketakutan yang melayang-layang di atas Xinjiang. Memang
ketakutan akan penahanan telah menjadi fakta kehidupan sehari-hari. Dan
ketakutan adalah senjata yang digunakan China untuk mencegah dan
mengintimidasi Uighur agar tidak menjalankan perintah agama mereka, yang
dilakukan dengan cara menyebarkan polisi dalam jumlah besar dalam komunitas
Uighur, menyadap tetangga, kawan sekolah, dan teman sejawat untuk bekerja
sebagai pengumpul data dan mata-mata, serta yang paling jahat adalah mewakilkan
anak-anak Uighur untuk mengawasi dan menjerumuskan orangtua mereka sendiri. Sementara otoritas China di Xinjiang telah
mendaftarkan secara virtual setiap orang di dalam komunitas Uighur untuk
ambil bagian dalam program persekusi terhadap Uighur. Apakah kecaman dan sanksi dari Pengawas HAM
PBB, AS, dan sekutunya dapat mengubah kebijakan China? Tidak juga. Pasalnya,
kecaman dan sanksi itu nyaris tidak berdampak apa-apa terhadap China, anggota
tetap DK PBB dengan ekonomi terbesar kedua di dunia. China hanya akan mendengar kalau Dunia
Islam menekannya. Toh, China sangat bergantung pada pasokan energi dari Dunia
Islam. Sayangnya, Iran dan Arab Saudi, pemasok energi terbesar kepada China,
justru membangun hubungan yang kian erat dengan rezim komunis itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar