Perundungan
dan Duel ala Gladiator
di
Kalangan Siswa
Rahma Sugihartati ; Dosen FISIP Universitas Airlangga; Peserta the
6th Knowledge Co-Creation Program for Practice on Drafting and Vetting,
Tokyo, Jepang
|
MEDIA
INDONESIA, 30 November 2017
SEKOLAH tampaknya gagal menanamkan arti
penting nilai persaudaraan, kerja sama, dan kasih sayang di antara sesama.
Munculnya berbagai kasus perundungan dan perkelahian ala gladiator di kalangan
siswa belakangan ini membuktikan ada sesuatu yang salah dari proses
pembelajaran yang berkembang dan dikembangkan di berbagai sekolah.
Di Bogor, misalnya, masyarakat kembali
dikejutkan berita terjadinya kasus perkelahian antarpelajar yang memakan
korban siswa yang masih belia. MRS, 16, siswa SMP Asy-Syuhada Rumpin, tewas
terkena sabetan celurit dalam duel dengan pelajar dari sekolah lain di
Kampung Leuwihalang, Desa Gonang, Rumpin. Kejadian sama sebelumnya juga
dialami seorang pelajar berinisial HCER, 15, yang tewas dalam duel maut ala
gladiator.
Di luar kasus perkelahian ala gladiator, di
media sosial tak sekali-dua tersebar video pendek yang berisi kasus
penganiayaan dan perundungan yang dilakukan sejumlah siswa kepada siswa lain
yang kemudian rekamannya diunggah sendiri oleh salah seorang pelakunya hingga
menjadi viral. Di berbagai daerah, dapat dipastikan masih banyak kasus
perundungan lain yang terjadi di lembaga pendidikan di Tanah Air. Kasus itu
boleh jadi masih merupakan dark number yang masih belum terungkap karena
tidak masuk ke dunia maya yang bisa diakses publik.
Berbagai kasus perploncoan yang terjadi di
setiap awal penerimaan siswa atau mahasiswa baru, kasus pemalakan yang
terjadi di antara sesama siswa, dan bentuk-bentuk bullying lain yang terjadi
di berbagai lembaga pendidikan ialah bukti yang bisa ditelusuri dan bisa
dipastikan masih tetap terjadi hingga sekarang. Meskipun pemerintah telah
berusaha mengurangi kasus ini dengan kebijakan melarang aktivitas
perploncoan, karena kejadian ini masih dianggap sebagai bagian dari tradisi
dan juga karena kurangnya pengawasan, dari waktu ke waktu kejadian itu masih
tetap berlangsung.
Perundungan
di dunia maya
Siapa pun korban dan siapa pula pelaku
tindak kekerasan dan kasus-kasus perundungan di lembaga pendidikan, semua
harus ditangani agar kejadian serupa tidak terus terjadi di kemudian hari.
Kasus perkelahian dan tindak perundungan itu mendesak segera dicarikan
solusi. Korban perundungan di lembaga pendidikan bukan hanya tidak nyaman
dengan lingkungan di sekitarnya dan tumbuh inferior. Tidak jarang anak-anak
yang menjadi korban perundungan kemudian juga lari dari masalah yang
dihadapi dengan menarik diri dari lingkungan sosial, atau bahkan bunuh diri.
Di era masyarakat digital, kasus perundungan
yang terjadi di lembaga pendidikan kita tahu jumlahnya tidak berkurang,
justru dalam kenyataan yang terjadi sebaliknya. Kemajuan dan penggunaan
teknologi dan informasi (TI) yang makin masif serta kehadiran internet
semakin membuka peluang dan ruang bagi terjadinya bentuk-bentuk perundungan
baru. Tren yang terjadi di lapangan bukan hanya perundungan secara fisik,
verbal, psikis, dan seksual, melainkan tidak jarang juga perundungan yang
berbasis dunia maya.
Kasus perundungan yang terjadi di media
sosial, dengan pelaku memproduksi dan menyirkulasikan teks-teks yang
mem-bullying siswa atau mahasiswa lain, diakui atau tidak kini telah menjadi
salah satu tren baru yang makin meluas. Di dunia maya, kasus perundungan
memang tidak berupa tindakan kasar, seperti pemalakan atau tindakan kekerasan
lainnya. Namun, seorang korban yang di-bullying di dunia maya bukan tidak
mungkin justru menanggung beban lebih berat karena merasa dipermalukan dan
diperlakukan tidak adil oleh lingkungan sekitarnya.
Di dunia maya, bentuk perundungan yang
terjadi mulai menjadi bahan pergunjingan komunitas cyberspace, penghinaan,
perkataan tidak senonoh, hingga penyebarluasan foto yang memalukan, yang
efeknya jauh lebih dahsyat. Itu mungkin bisa diakses ratusan, ribuan, atau
bahkan jutaan netizen lain. Seseorang yang menjadi korban bullying di dunia
maya niscaya dengan mudah menjadi viral sehingga efek menekan ruang
psikologis korban menjadi jauh lebih menjejas. Meski mungkin di kalangan
anak-anak kasus bullying di dunia maya sering kali dianggap hanya guyonan
atau tidak serius, karena efek sirkulasi unggahan di media sosial dengan
cepat dapat tersebar, dampaknya pun menjadi sangat berbeda.
Seseorang sekali saja dipermalukan di media
sosial, tetapi ketika hal itu disirkulasikan dan diresirkulasikan orang lain,
efek yang terjadi benar-benar dahsyat. Selain cepat menyebar dan bisa
diketahui orang lain, bullying yang diserbarluaskan melalui media sosial
niscaya terus terpatri sepanjang masa.
Literasi
kritis
Menangani dan mencegah kasus perkelahian
pelajar dan bullying yang terjadi di lembaga pendidikan bukan hal yang mudah.
Di era perkembangan masyarakat informasi, bentuk-bentuk perundungan yang
terjadi di antara sesama pelajar makin berkembang dan membutuhkan penanganan
yang benar-benar fundamental.
Dari sisi pelaku, banyak kajian telah
membuktikan bentuk-bentuk pengasuhan yang keliru dan kurangnya kasih sayang
dalam keluarga berpotensi melahirkan anak-anak pelaku perundungan. Sementara
itu, lingkungan sosial yang tidak kondusif dan memudarkan kepekaan serta
perasaan welas asih di kalangan anak-anak ialah faktor tambahan yang membuat
perundungan tidak bisa dibedakan dengan guyonan yang sehat dan menyenangkan.
Untuk mengurangi atau menghapuskan berbagai
bentuk perundungan di lembaga pendidikan, jelas peran orangtua dan guru
menjadi sangat strategis. Namun demikian, untuk memastikan agar anak-anak
kita tidak tumbuh di jalur yang keliru, pendidikan yang berbasis pengembangan
literasi kritis siswa tidak kalah penting.
Sebagai insan pendidikan, semua siswa
niscaya memiliki basis moral dan referensi sosial tentang norma dan nilai
universal yang menghargai hak sesama. Namun, dalam kehidupan sehari-hari,
pengetahuan dan acuan tentang nilai dan norma sosial itu tidak jarang memudar
karena kekeliruan mereka menyikapi kehidupan, dan juga karena pengaruh media
massa, gim-gim yang bermuatan kekerasan, cerita sinetron, dan pengaruh
peer-group yang salah.
Dengan memiliki literasi kritis, siswa
diharapkan secara mandiri dapat menyikapi berbagai godaan dan pengaruh buruk
yang berkembang di sekitar mereka melalui pengetahuan dan sikap kritis yang
kuat. Literasi kritis tidak hanya membuat siswa mampu berpikir jernih dan
menakar apa yang mereka lakukan benar atau salah. Namun, dengan berbekal
literasi kritis, siswa niscaya juga mampu melawan pengaruh buruk media
sosial, termasuk ajakan melakukan tindak kekerasan dan perundungan kepada
sesama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar