Jumat, 01 Desember 2017

Perundungan dan Duel ala Gladiator di Kalangan Siswa

Perundungan dan Duel ala Gladiator
di Kalangan Siswa
Rahma Sugihartati ;  Dosen FISIP Universitas Airlangga; Peserta the 6th Knowledge Co-Creation Program for Practice on Drafting and Vetting, Tokyo, Jepang
                                          MEDIA INDONESIA, 30 November 2017



                                                           
SEKOLAH tampaknya gagal menanamkan arti penting nilai persaudaraan, kerja sama, dan kasih sayang di antara sesama. Munculnya berbagai kasus perundungan dan perkelahian ala gladiator di kalangan siswa belakangan ini membuktikan ada sesuatu yang salah dari proses pembelajaran yang berkembang dan dikembangkan di berbagai sekolah.

Di Bogor, misalnya, masyarakat kembali dikejutkan berita terjadinya kasus perkelahian antarpelajar yang memakan korban siswa yang masih belia. MRS, 16, siswa SMP Asy-Syuhada Rumpin, tewas terkena sabetan celurit dalam duel dengan pelajar dari sekolah lain di Kampung Leuwihalang, Desa Gonang, Rumpin. Kejadian sama sebelumnya juga dialami seorang pelajar berinisial HCER, 15, yang tewas dalam duel maut ala gladiator.

Di luar kasus perkelahian ala gladiator, di media sosial tak sekali-dua tersebar video pendek yang berisi kasus penganiayaan dan perundungan yang dilakukan sejumlah siswa kepada siswa lain yang kemudian rekamannya diunggah sendiri oleh salah seorang pelakunya hingga menjadi viral. Di berbagai daerah, dapat dipastikan masih banyak kasus perundung­an lain yang terjadi di lembaga pendidikan di Tanah Air. Kasus itu boleh jadi masih merupakan dark number yang masih belum terungkap karena tidak masuk ke dunia maya yang bisa diakses publik.

Berbagai kasus perploncoan yang terjadi di setiap awal penerimaan siswa atau mahasiswa baru, kasus pemalakan yang terjadi di antara sesama siswa, dan bentuk-bentuk bullying lain yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan ialah bukti yang bisa ditelusuri dan bisa dipastikan masih tetap terjadi hingga sekarang. Meskipun pemerintah telah berusaha mengurangi kasus ini dengan kebijakan melarang aktivitas perploncoan, karena kejadian ini masih dianggap sebagai bagian dari tradisi dan juga karena kurangnya pengawasan, dari waktu ke waktu kejadian itu masih tetap berlangsung.

Perundungan di dunia maya

Siapa pun korban dan siapa pula pelaku tindak kekerasan dan kasus-kasus perundungan di lembaga pendidikan, semua harus ditangani agar kejadian serupa tidak terus terjadi di kemudian hari. Kasus perkelahian dan tindak perundungan itu mendesak segera dicarikan solusi. Korban perundungan di lembaga pendidikan bukan hanya tidak nyaman dengan lingkungan di sekitarnya dan tumbuh inferior. Tidak jarang anak-anak yang menjadi korban perundungan kemudian juga lari dari masalah yang di­hadapi dengan menarik diri dari lingkungan sosial, atau bahkan bunuh diri.

Di era masyarakat digital, kasus perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan kita tahu jumlahnya tidak berkurang, justru dalam kenyataan yang terjadi sebaliknya. Kemajuan dan penggunaan teknologi dan informasi (TI) yang makin masif serta kehadiran internet semakin membuka peluang dan ruang bagi terjadinya bentuk-bentuk perundungan baru. Tren yang terjadi di lapangan bukan hanya perundungan secara fisik, verbal, psikis, dan seksual, melainkan tidak jarang juga perundungan yang berbasis dunia maya.
Kasus perundungan yang terjadi di media sosial, dengan pelaku memproduksi dan menyirkulasikan teks-teks yang mem-bullying siswa atau mahasiswa lain, diakui atau tidak kini telah menjadi salah satu tren baru yang makin meluas. Di dunia maya, kasus perundungan memang tidak berupa tindakan kasar, seperti pemalakan atau tindakan kekerasan lainnya. Namun, seorang korban yang di-bullying di dunia maya bukan tidak mungkin justru menanggung beban lebih berat karena merasa dipermalukan dan diperlakukan tidak adil oleh lingkungan sekitarnya.

Di dunia maya, bentuk perundungan yang terjadi mulai menjadi bahan pergunjingan komunitas cyberspace, penghinaan, perkataan tidak senonoh, hingga penyebarluasan foto yang memalukan, yang efeknya jauh lebih dahsyat. Itu mungkin bisa diakses ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan netizen lain. Seseorang yang menjadi korban bullying di dunia maya niscaya dengan mudah menjadi viral sehingga efek menekan ruang psikologis korban menjadi jauh lebih menjejas. Meski mungkin di kalangan anak-anak kasus bullying di dunia maya sering kali dianggap hanya guyonan atau tidak serius, karena efek sirkulasi unggahan di media sosial dengan cepat dapat tersebar, dampaknya pun menjadi sangat berbeda.
Seseorang sekali saja dipermalukan di media sosial, tetapi ketika hal itu disirkulasikan dan diresirkulasikan orang lain, efek yang terjadi benar-benar dahsyat. Selain cepat menyebar dan bisa diketahui orang lain, bullying yang diserbarluaskan melalui media sosial niscaya terus terpatri sepanjang masa.

Literasi kritis

Menangani dan mencegah kasus perkelahian pelajar dan bullying yang terjadi di lembaga pendidikan bukan hal yang mudah. Di era perkembangan masyarakat informasi, bentuk-bentuk perundungan yang terjadi di antara sesama pelajar makin berkembang dan membutuhkan penanganan yang benar-benar fundamental.

Dari sisi pelaku, banyak kajian telah membuktikan bentuk-bentuk pengasuhan yang keliru dan kurangnya kasih sayang dalam keluarga berpotensi melahirkan anak-anak pelaku perundungan. Sementara itu, lingkungan sosial yang tidak kondusif dan memudarkan kepekaan serta perasaan welas asih di kalangan anak-anak ialah faktor tambahan yang membuat perundungan tidak bisa dibedakan dengan guyonan yang sehat dan menyenangkan.

Untuk mengurangi atau menghapuskan berbagai bentuk perundungan di lembaga pendidikan, jelas peran orangtua dan guru menjadi sangat strategis. Namun demikian, untuk memastikan agar anak-anak kita tidak tumbuh di jalur yang keliru, pendidikan yang berbasis pengembangan literasi kritis siswa tidak kalah penting.

Sebagai insan pendidikan, semua siswa niscaya memiliki basis moral dan referensi sosial tentang norma dan nilai universal yang menghargai hak sesama. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan dan acuan tentang nilai dan norma sosial itu tidak jarang memudar karena kekeliruan mereka menyikapi kehidupan, dan juga karena pengaruh media massa, gim-gim yang bermuatan kekerasan, cerita sinetron, dan pengaruh peer-group yang salah.

Dengan memiliki literasi kritis, siswa diharapkan secara mandiri dapat menyikapi berbagai godaan dan pengaruh buruk yang berkembang di sekitar mereka melalui pengetahuan dan sikap kritis yang kuat. Literasi kritis tidak hanya membuat siswa mampu berpikir jernih dan menakar apa yang mereka lakukan benar atau salah. Namun, dengan berbekal literasi kritis, siswa niscaya juga mampu melawan pengaruh buruk media sosial, termasuk ajakan melakukan tindak kekerasan dan perun­dungan kepada sesama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar