Tahun
yang Tepat untuk Saling Berkolaborasi
Bhima Yudhistira Adhinegara ; Peneliti Indef
|
KORAN
SINDO, 18 Desember 2017
SEPANJANG 2017 pertumbuhan
ekonomi digital terus melonjak. Angka yang diklaim pemerintah mencatatkan
porsi ekonomi digital terhadap total ekonomi nasional sudah mencapai 7,3%.
Itu artinya peran ekonomi digital saat ini hampir setara dengan kontribusi
sektor pertambangan, yakni 7,9% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Indikator geliat ekonomi
digital salah satunya tecermin dari tren belanja online yang berkembang
pesat. Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017 buktinya berhasil
mematahkan rekor. Jumlah transaksi dalam tiga hari mencapai Rp4 triliun.
Tahun lalu lembaga survei Nielsen mencatat transaksi Harbolnas sebesar Rp3,3
triliun. Itu artinya dalam satu tahun animo masyarakat belanja di toko online
bisa naik Rp700 miliar di event yang sama.
Tidak mengheran Bank
Indonesia (BI) mencatat total transaksi per tahun dari e-commerce tembus Rp75
triliun. Namun, perlu dicatat bahwa porsi e-commerce terhadap total ritel
baru 1%. Tahapan adaptasi e-commerce di Indonesia masih early stage alias
prematur. China dan Amerika Serikat (AS) masing-masing telah menembus 8%
terhadap total ritel. Wajar apabila Harbolnas di China atau dikenal dengan
Single Day, angkanya bisa mencapai Rp243 triliun dalam satu hari.
Selain porsi e-commerce di
Indonesia masih kecil, fakta yang menarik dari bisnis e-commerce adalah tidak
semua barang bisa dibeli secara online. Sebagian besar barang yang dibeli
oleh masyarakat Indonesia merupakan kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan
bawang merah.
Revolusi digital tidak
bisa menggantikan belanja di pasar tradisional. Tidak semua barang shifting
ke e-commerce.
Amazon, sebuah e-commerce
ritel terbesar di dunia, pun menyadari era kolaborasi toko online
konvensional merupakan solusi masa depan. Bukannya saling bersaing, Amazon
mengakuisisi Wholefood, supermarket yang menjual kebutuhan pokok di AS.
Kolaborasi ini menguntungkan konsumen dan produsen sekaligus. Pascaakuisisi
harga barang Wholefood didiskon secara besar-besaran, bukannya melakukan PHK,
kolaborasi online konvensional justru merekrut 6.000 pekerja baru.
Dalam konteks wacana
perubahan teknologi di Indonesia, disrupsi sering dimaknai berkurangnya kue
atau keuntungan perusahaan konvensional. Ekonomi digital bukan mendatangkan
ketakutan, melainkan peluang kolaborasi. Tahun 2018 waktu yang tepat untuk
saling berkolaborasi, buktinya grup Matahari meluncurkan Mataharimall.com.
Barang di Mataharimall.com dan Matahari Departement Store sebenarnya sama
saja, tapi pembeli yang dilayani menjadi lebih luas. Tadinya konsumen harus
berjalan ke mal untuk beli baju, sekarang tinggal klik barang sampai di depan
rumah.
Terkepung
Barang Impor
Tantangan di tahun 2018
dalam pengembangan e-commerce adalah memutus ketergantungan barang impor.
Saat ini, menurut klaim pemerintah, 95% barang yang dijual melalui e-commerce
di berbagai platform adalah barang impor. Porsi produk UMKM masih di bawah
2%. Hal ini kemudian berkorelasi terhadap kenaikan impor barang konsumsi
sebesar 15,19% dari Januari-November 2017 dibanding tahun sebelumnya. Apakah
Indonesia akan menjadi negara jasa reseller produk impor atau produsen utama?
Pertanyaan itu perlu segera dijawab.
Pemerintah tidak bisa
menafikan bahwa serbuan impor mulai meningkat sejak masuknya modal-modal
besar sekelas Alibaba dan Tencent ke Indonesia. Jika ritel modern ingin
diatur agar barang UMKM bisa masuk ke dalam minimarket atau supermarket,
harusnya pemerintah mulai memberlakukan peraturan mewajibkan minimum 20%
barang di platform e-commerce yang dijual adalah produk UMKM. Sembari program
pendam pingan UMKM dan berbagai insentif terus didorong agar UMKM tidak
ketinggalan gerbong di era digital.
Peluang
FinTech
Di saat e-commerce mulai
berjamuran, saat ini pandangan regulator juga fokus pada isu financial
technology alias FinTech. Per September 2017 total pinjaman yang disalurkan
FinTech menembus Rp1,6 triliun. Jumlah FinTech terus berjamuran lebih dari
180 perusahaan yang tersebar dari kredit, sistem pembayaran dan crowdfunding.
Kemunculan FinTech sayangnya tidak beriringan dengan regulasi yang memadai,
sehingga muncul fenomena blokir top-up perusahaan FinTech yang merugikan
konsumen.
Hal yang menarik di balik
FinTech selalu muncul kehadiran bank konvensional. Perusahaan FinTech memang
hampir bisa melakukan segala sesuatu dengan efisien, misalnya membuka
rekening baru tanpa perlu ke bank, menyalurkan kredit via aplikasi
smartphone, dan transfer uang antarnegara dalam hitungan detik. Tapi ada yang
tidak bisa FinTech lakukan, yakni debt collection alias menagih kredit
bermasalah. Di sini FinTech harus menggandeng pihak ketiga alias jasa
keuangan formal seperti perbankan. Sekali lagi mau bicara soal e-commerce
maupun FinTech tetap diperlukan kolaborasi dengan pelaku konvensional.
Benarkah
ada PHK massal?
Soal tenaga kerja di era
digital memang kadang membuat dahi berkerut. Job security atau keamanan
bekerja memang jadi masalah serius di era perubahan teknologi. Sektor
industri mulai memasuki revolusi keempat yang artinya mesin sudah
menggantikan tenaga manusia. Di sektor perbankan, kemunculan FinTech pun akan
mengancam tenaga kerja semacam teller dan akuntan. Namun, berdasarkan riset
yang dilakukan McKinsey, kasus hilangnya pekerjaan akibat teknologi terkadang
terlalu dibesar-besarkan.
Buktinya di Prancis sejak
masuknya teknologi internet memang menciptakan PHK 500.000 pekerja. Namun, di
sisi lain internet melahirkan 1,2 juta tenaga kerja baru. Ada surplus
penyerapan tenaga kerja sebanyak 700.000 orang. Tugas Pemerintah saat ini
dalam mempersiapkan transisi ekonomi digital agar tidak terjadi pengangguran
massal adalah memperbaiki kualitas pendidikan.
Indonesia saat ini bukan
hanya mengalami krisis programmer teknologi informasi (TI) akibat kelahiran
ratusan startup baru, tapi juga profesi penunjang ekonomi digital lain. Salah
satu perusahaan transportasi online beberapa saat lalu mencari peneliti
ekonomi keperilakuan (behavioural economist). Padahal, jurusan perguruan
tinggi yang menyediakan profesi behavioral economist masih sangat terbatas.
Skill gap ini kalau dibiarkan justru menimbulkan ancaman bagi banjirnya
tenaga kerja asing yang mengisi pos pekerjaan yang sedang dibutuhkan
perusahaan digital. Atau jangan-jangan perusahaan Indonesia memilih untuk
memindahkan kantor pusatnya ke luar negeri untuk mendapatkan pekerja yang
lebih sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Melihat kondisi tersebut,
peta jalan ekonomi digital yang didesain pemerintah dalam Paket Kebijakan
Ekonomi Ke-14 sebaiknya tidak hanya bicara soal perbaikan logistik,
infrastruktur jaringan, dan perizinan, tapi lebih menyentuh masalah yang
krusial yakni penguatan UMKM dan pendidikan. Karena itu, revolusi ekonomi
digital tahun 2018 mendatang perlu disikapi dengan persiapan yang lebih
matang agar Indonesia bukan sekedar menjadi pasar, tapi pemain utama dalam
persaingan global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar