Natal
Kasih Sayang
Yudi Latif ; Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi
Pancasila
|
KOMPAS,
19 Desember
2017
Kembali ke Natal seperti
memasuki ruang liminal menuju kelahiran kembali. Istilah liminal berasal dari
kata limen, yang berarti ‘ambang batas’ atau ‘ruang antara’. Dalam
studi-studi antropologi, istilah itu dimunculkan Arnold van Gennep (1960)
merujuk ritus-ritus transisi antara ritus-ritus perpisahan dari dunia lama dan
upacara-upacara penasbihan memasuki dunia baru.
Ruang liminal memberi
kesempatan jeda, menyediakan momen reflektif dari mana kita bermula, di mana
kita sekarang, dan hendak ke mana. Dengan melewati prosesi refleksi diri ini,
manusia diharapkan kembali ke titik awal kehidupan: terlahir ke dunia sebagai
buah cinta kasih, yang diharapkan dapat menumbuhkembangkan cinta kasih.
Peringatan Natal seperti
hadiah untuk menyehatkan kembali kehidupan, yang secara simbolik dirayakan
dengan berbagi hadiah. “Natal tidaklah menjadi Natal tanpa sesuatu hadiah,”
tulis novelis Louisa May Alcott. Dan tiada hadiah yang lebih berharga
daripada cinta. Ia adalah obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, harapan
bagi kebuntuan.
Cinta memperoleh
pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang
bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti menginginkannya hidup. “Apa yang
kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap
dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Lao Tzu.
Ujian cinta dibuktikan
oleh pengorbanan, seperti Yesus yang siap mengorbankan diri demi keselamatan
warga bumi. Setiap Natal, saatnya mengisi baterai cinta, dengan menghidupkan
jiwa pengorbanan, demi kebaikan dan kesuburan negeri tercinta. “Cintailah satu
sama lain,” ujar Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34). Nabi Muhammad
menggemakan anjuran ini dengan bersabda, “Engkau akan melihat orang beriman
dalam perangai belas kasih, saling mencintai, serta berbagi kebaikan satu
sama lain.”
Peringatan Natal adalah
momen pengingat bahwa jalan spiritualitas-keagamaan itu adalah jalan cinta
kasih menuju mata air kebahagiaan. Agama dimulai saat pemeluk agama melihat
orang di tepi jurang, lantas ia tarik-selamatkan tanpa mempertanyakan apa
agamanya. Agama dihayati saat pemeluk agama menikmati warna-warni perbedaan
untuk saling mengarifkan dalam berlomba menumbuhkan kebajikan. Agama
ditinggikan saat pemeluk agama menghargai orang sujud di masjid, berlutut di
gereja dan wihara, serta bersimpuh di sinagoga.
Apabila para pemeluk agama
dapat menyibakkan ranting-ranting kecil dari tiap-tiap agama untuk dapat
menjangkau batang pohon yang tegak lurus menjulang ke langit, mereka akan
dipersatukan dengan semua pemeluk agama. Dipersatukan dalam akar tunjang yang
menghunjam ke bumi kehidupan yang sama dan menjunjung keluhuran langit
spiritualitas yang sama.
Semua pemeluk agama ingin
bahagia, tetapi tak semua orang memahami cara memenuhinya. Ada yang mengejar
dengan memenuhi kesenangan gairah konsumsi dan gaya hidup. Memburu makanan
lezat hingga ufuk horizon. Merasakan segala minuman hingga paling memabukkan.
Melampiaskan hasrat birahi. Menjajal segala model penampilan hingga reparasi
paras. Menimbun harta tanpa batas. Ada orang memburu bahagia dengan memenuhi
hasrat kuasa. Ambisi terus berkobar mengejar jabatan. Syahwat kuasa tak kenal
usia senja. Apakah dengan itu puncak kebahagiaan insani bisa diraih?
Apabila mimpi bahagia bisa
dicapai dengan memenuhi hasrat konsumsi dan kuasa, hewan di rimba raya pun
sanggup mengejarnya. Ketahuilah bahwa manusia dengan hewan tertentu memang
memiliki kemiripan. Kromosom manusia dan simpanse sekitar 98 persen identik.
Dengan otak mamalia purba, manusia bisa bak binatang: tega membunuh sesamanya
apabila kekasih atau makanannya direbut. Seperti hewan, manusia juga
cenderung berkumpul dengan mereka yang warna kulitnya sama. Tetapi,
sadarilah, manusia masih memiliki neokorteks yang tak dipunyai binatang.
Dengan itu, manusia bisa mengembangkan etika, estetika, spiritualitas, dan
ilmu pengetahuan. Dengan itu pula manusia bisa mengaktualisasikan diri demi
kebahagiaan.
Kebahagiaan tertinggi itu
terletak pada kesanggupan untuk memberi dan meraih makna hidup. Tidak cukup
makan sendiri, tetapi merasa lebih bermakna apabila bisa berbagi makanan
kepada sesama. Tidak cukup meraih hasrat kuasa, tetapi merasa lebih bermakna
apabila bisa melayani harapan banyak orang. Kebahagiaan tertinggi itu teraih
manakala kita bisa menjadi lebih besar dari diri sendiri; terhubung dengan
realitas kehidupan, menciptakan kehidupan yang lebih bermakna bagi
kebahagiaan hidup bersama.
Demi menumbuhkan kepekaan
bela rasa, cobalah sesekali tengok daerah aliran sungai yang tak lagi berair?
Aliran perasaan manusia pun bisa mengering. Air mata tak bisa lagi
merembes-menetes menjadi sungai kehidupan. Jika hati terasa tandus, pertanda
kurang siram keharuan. Basahi rongga hati dengan menampung tetes tangis
duka-lara. Hidup steril di zona nyaman bisa menumpulkan kepekaan pada kemarau
kehidupan. Rasakan getar keroncong perut kosong, kita akan mengerti perih
rintih kelaparan. Sambungkan hati pada isak-tangis kepiluan, kita akan
memahami arti perhatian kasih sayang.
Seseorang boleh berhasil
melewati ambang batas kemiskinan, belum tentu lulus menghadapi ambang batas
kekayaan. Ujian terberat adalah menahan diri dari godaan menimbun harta
kelewat batas. Manusia perlu sifat keugaharian, tahu kapan merasa cukup, agar
bisa merawat kepekaan bela rasa, berbagi rezeki. Ketamakan mengeringkan air
mata, seperti kemarau yang menerikkan langit tanpa hujan. Hidup tanpa tetes
tangis keharuan ibarat padang rumput tanpa guyuran hujan.
Dengan menghikmati Natal,
semoga rerumputan hati yang kering kembali mendapatkan siraman kasih sayang
demi kelahiran musim semi kebahagiaan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar