Industri
Digital Kian Menggerus
Andreas Maryoto ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
19 Desember
2017
Di beberapa perusahaan
mapan makin terlihat dua perbedaan besar pendapat mengenai model bisnis saat
ini. Ada yang yakin, model bisnis lama bisa bertahan dan mereka berupaya
keras mempertahankannya.
Ada juga yang yakin bahwa
perubahan besar tengah terjadi dan model bisnis lama hanya menunggu waktu
untuk terhancurkan. Model bisnis baru hadir seiring dengan penggunaan
teknologi digital.
Perdebatan itu masih akan
terus berlanjut. Sebab, beberapa kalangan belum yakin bahwa teknologi digital
menghadirkan model bisnis baru sehingga model bisnis lama sudah tak memadai
dan bakal tergerus.
Pendapatan yang menurun,
jumlah kunjungan menurun, jumlah karyawan yang mengundurkan diri bertambah,
jumlah pesanan menurun, dan lain-lain yang seharusnya menjadi sinyal agar
mereka segera berubah belum diyakini sepenuhnya sebagai awal tsunami digital
yang bakal menggerus usaha mereka.
Fenomena pasar baru yang
berisi generasi milenial-dan menyusul kemudian generasi Z-juga tak membuat
mereka mengubah cara-cara pemasaran dan penggarapan pasar baru itu. Pasar
baru yang sangat besar-yang di dunia kerja telah mencapai 50-60 persen-dan
bergantung pada fasilitas digital itu tak membuat perusahaan mapan mengubah
strategi bisnis. Kejayaan masa lalu masih menjadi puja-puji yang diyakini
bakal terus berlangsung meskipun penjualan terus menurun.
Tahun 2018, penggerusan
itu akan makin terus terjadi di beberapa sektor, seperti transportasi, ritel,
media, perhotelan, dan logistik. Semua sektor sepertinya tak akan bisa
bertahan dengan model bisnis lama. Persoalannya hanyalah siapa yang terkena
lebih dulu dan siapa yang menunggu berikutnya. Penggerusan di dunia
transportasi sudah jelas terjadi. Penurunan order hingga 50 persen terjadi di
perusahaan transportasi dan keagenan tiket. Di ritel, meski tengah terjadi
perdebatan, sebuah survei menunjukkan terjadi penurunan kunjungan ke mal.
Pada tahun depan salah
satu sektor yang diperkirakan akan terancam adalah perbankan. Pengembangan
usaha rintisan teknologi finansial (tekfin) bakal mendapat pendanaan besar
setelah pada tahun sebelumnya investor memilih pendanaan di e-dagang. Seperti
pada pengembangan industri digital lainnya, pertumbuhan tekfin bersifat
eksponensial alias tidak membutuhkan waktu lama untuk menjadi besar.
Pertumbuhan di usaha digital, semisal pada awal hanya 5 persen, kemudian 25
persen, dan selanjutnya 70 persen.
Pada masa lalu pertumbuhan
bisnis perusahaan relatif konstan, semisal 10 persen dan terjadi
bertahun-tahun. Lonjakan terjadi, tetapi tidak dalam waktu singkat. Intinya,
untuk masuk di satu sektor dan meruntuhkan model bisnis lama, kini industri
digital tak membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan industri yang
mirip pada beberapa tahun lalu.
Perusahaan tekfin yang
dulu berada di bawah usaha rintisan diperkirakan mulai ancang-ancang untuk
menjadi mandiri. Usaha rintisan tekfin baru akan makin menarik investor
apabila berpotensi bersaing atau mereka yang bisa menawarkan peluang baru.
Di samping itu, industri
digital yang berbasis media, jasa yang menawarkan gaya hidup sehat, dan jasa
logistik efisien masih akan bertumbuh. Apabila mereka bisa menerjemahkan
persoalan masyarakat dan mengatasi beberapa hambatan, itu akan menarik
investor.
Perilaku
mapan
Di tengah perkembangan
itu, banyak perusahaan mapan masih sibuk dengan model bisnis lama. Padahal,
setiap pebisnis akan selalu waspada begitu penjualan mengalami penurunan.
Ketika penurunan terus terjadi, pilihannya pada masa lalu adalah memutar
haluan. Pada era digital ternyata putar haluan tidak cukup. Ada beberapa
pilihan yang dilakukan beberapa perusahaan, seperti menghancurkan atau
merobohkan perusahaan lama dan beralih ke model bisnis baru atau membiarkan
bisnis lama, tetapi secara keuangan masih sehat dan mereka telah membuat
“kendaraan” baru untuk memulai bisnis baru.
Di negara lain ada
beberapa perusahaan dengan model bisnis lama memilih menghentikan bisnisnya
dan memasuki model bisnis baru. Mereka berkeyakinan model bisnis lama sudah
tidak bisa lagi dipertahankan. Salah satu contoh yang melakukan cara ini
adalah Vice Media. Perusahaan media itu kini berfokus pada media digital.
Nilai aset Vice Media melampaui perusahaan mapan, seperti Washington Post dan
The New York Times.
Ada juga perusahaan yang
tetap memelihara bisnis lama, tetapi sudah menyiapkan bisnis baru yang
berakar pada bisnis inti perusahaan yang ada. Akan tetapi, model bisnis dan
pengelolanya merupakan orang-orang baru dengan visi yang baru. Mereka masih
mengoperasikan perusahaan lama sambil melakukan efisiensi, tetapi sudah
menjalankan bisnis baru.
Salah satu yang juga
dilakukan oleh beberapa perusahaan adalah menjemput masa depan. Beberapa
perusahaan lama telah melihat pada masa depan akan terjadi tsunami digital di
bisnis mereka. Sebelum tsunami itu muncul, mereka sudah mengenali dan
menghadirkan teknologi masa depan itu ke masa sekarang. Sinyal kecil yang
muncul dan diperkirakan pada masa depan akan membesar telah dijemput sehingga
mereka bisa bersiap. Mereka lebih memahami masalah yang akan terjadi dan
telah bersiap menghadapi berbagai kemungkinan. Otomatis ada investasi yang
dibutuhkan untuk menjemput persoalan dan solusi yang bakal muncul.
Dari berbagai perbincangan
dengan pelaku bisnis, masalah utama di tengah tsunami digital ini adalah pada
pengelolaan sumber daya manusia ketika harus melakukan perubahan. Karyawan di
perusahaan mapan cenderung untuk menolak perubahan atau transformasi. Di
antara penolakan itu ada yang cemas, tetapi ada pula yang tak paham dengan
langkah yang harus dilakukan.
Paling parah adalah
perusahaan tersebut tidak memasukkan perubahan atau transformasi di dalam
strategi bisnis mereka. Perusahaan ini sebenarnya memiliki dana yang besar,
kemampuan sumber daya manusia juga memadai. Namun, karena transformasi tidak
menjadi bagian strategi bisnis, mereka bingung untuk menentukan perubahan
ketika penggerusan terus terjadi. Akibatnya, perusahaan seperti ini hanya
menunggu waktu untuk tergerus.
Tempat
berperang
Di tengah permasalahan
korporasi itu, perusahaan-perusahaan digital global makin mengincar
Indonesia. Secara khusus di sektor ritel, Amazon dan Alibaba telah menyatakan
pasar berikutnya yang hendak digarap adalah Asia tenggara, terutama
Indonesia. Mereka melihat pasar yang besar sebagai alasan mereka menggarap
Indonesia. Tahun depan peta perusahaan digital di Indonesia diperkirakan
berubah.
Di samping investasi yang
bakal makin gencar di beberapa sektor, perusahaan digital tersebut makin
memperlihatkan kemampuannya. Dalam beberapa artikel, tahun 2018 merupakan
tahun yang bakal menjadi peperangan teknologi berbasis kecerdasan buatan.
Penggunaan kecerdasan buatan, data raksasa (big data), pesawat nirawak, dan
lain-lain akan bermunculan. Salah satu perusahaan e-dagang bahkan mengatakan
siap membuka toko tanpa pelayan pada tahun depan di Jakarta.
Kita bisa membayangkan
perusahaan mapan bakal makin tergerus bisnisnya. Bisnis mereka hanya tinggal
menunggu waktu tergerus oleh perusahaan digital yang makin efisien.
Perusahaan mapan tidak bisa tinggal diam lagi.
Pemerintah mungkin akan
mengambil langkah. Namun, seperti pada era digital ini, aturan pemerintah
malah tidak efektif, semisal pemain dalam negeri malah menjadi jago kandang,
sumber daya lokal tidak berkembang karena tidak bisa memasuki bisnis-bisnis
yang dikelola oleh investor dari luar negeri yang seharusnya bisa dimasuki
mereka hingga bisa kompetitif, dan transfer pengetahuan pun tidak terjadi
karena perusahaan digital dari luar negeri dihambat masuk. Dalam hal ini,
kita mungkin harus mengkaji lebih dalam soal kepentingan nasional.
Kebingungan dan kegamangan
akan makin banyak ditemukan pada masa depan karena produk dari teknologi
digital yang muncul diperkirakan akan makin menabrak aturan-aturan lama.
Kasus taksi daring di beberapa tempat merupakan awal dari permasalahan ini.
Ke depan, kita akan makin menemukan beberapa masalah yang terkait dengan
bisnis digital. Penyewaan kamar melalui aplikasi di beberapa negara sudah
mulai diprotes karena disebutkan mengganggu lingkungan karena peruntukannya
bukan untuk persewaan kamar. Beberapa negara mulai menerapkan pengaturan
penyewaan kamar itu.
Satu hal yang tidak bisa
dihindarkan adalah kita harus menghadapi kemajuan teknologi digital. Apabila
ada komitmen seperti ini, fokus kita adalah membangun sumber daya manusia
yang bisa memasuki dunia industri digital dan mampu berkompetisi. Untuk itu,
membangun sumber daya manusia di berbagai lapisan adalah cara yang efektif
agar bisa ikut bertarung menghadapi pengembangan industri digital.
Pemerintah dan swasta
sebenarnya sudah memahami masalah ini, tetapi sepertinya usaha lebih keras
harus dilakukan agar makin banyak sumber daya manusia yang memiliki kapasitas
yang memadai. Akan tetapi, sebenarnya bukan urusan kapasitas teknis semata,
industri digital sangat membutuhkan orang kreatif yang bisa menangkap masalah
masyarakat dan mendekatkan solusi dengan teknologi digital. Kita masih
membutuhkan tenaga yang seperti ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar