Masa
Depan Palestina di Tangan Kuartet
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 20 Desember 2017
BADAI diplomasi yang
disebabkan oleh deklarasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait
penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel sedikit demi sedikit mulai
mereda. Beberapa aksi unjuk rasa dari para penduduk, khususnya yang berasal
dari negara-negara berpenduduk muslim, masih berlangsung meskipun massa kritis
dan ekspresi untuk menunjukkan perlawanan atas keputusan AS itu telah
disalurkan lewat Deklarasi “Freedom for Jerusalem” dari negara-negara anggota
OKI (Organisasi Kerja Sama Islam).
Deklarasi OKI ini memuat
sejumlah sikap negara-negara berpenduduk muslim antara lain menolak dan
menuntut pencabutan pernyataan sepihak Trump terkait Yerusalem sebagai ibu
kota Israel, mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina,
meminta PBB, Uni Eropa, dan masyarakat internasional untuk menjaga Resolusi PBB
soal status Yerusalem dan beberapa pokok penting lainnya.
Saya sendiri melihat bahwa
deklarasi “Pembebasan Palestina” itu masih jauh dari harapan akan adanya
aliansi strategis baru yang dapat memberikan dampak jangka pendek dan jangka
panjang untuk proses perdamaian di Palestina. Dunia berharap keputusan
sepihak Trump dapat menjadi pemicu langkah persatuan, khususnya di kawasan
negara-negara di kawasan Timur Tengah, untuk mengesampingkan perbedaan dan
mendahulukan kepentingan Palestina.
Nyatanya, pertemuan OKI
itu sendiri di satu sisi justru mengonfirmasi masih besarnya perpecahan di
antara negara-negara pendukung Palestina merdeka. Pertemuan OKI di Turki
hanya dihadiri oleh 20 kepala negara dari 57 negara anggotanya, dan
selebihnya hanya diikuti pejabat setingkat menteri luar negeri seperti yang
dilakukan oleh Arab Saudi sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Timur
Tengah serta Mesir yang berbatasan langsung dengan Israel.
Lemahnya persatuan
negara-negara berpenduduk muslim untuk bersatu memberi tekanan kepada Israel
dan AS mengondisikan sebuah fakta bahwa masa depan Palestina tidak bisa lagi
dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau militer. Situasi telah berubah di
Timur Tengah. Kekerasan justru akan melemahkan perjuangan Palestina Merdeka
karena memberikan ruang legitimasi bagi Israel yang memiliki kekuatan dan
perlengkapan militer yang jauh lebih baik dari yang miliki oleh para pejuang
Palestina untuk melakukan kekerasan tanpa ada bantuan dari negara-negara Arab
lainnya.
Iran sebagai salah satu negara
yang mampu menandingi militer Israel, khususnya dari sisi perlengkapan dan
militansi, sudah menjadi musuh bersama bagi Arab Saudi dan negara lain yang
berkumpul di GCC (Gulf Cooperation Council). Siapa pun dalam tubuh gerakan
perjuangan Palestina yang berhubungan dengan Iran (baik Hamas, Fatah dll)
harus siap-siap untuk tidak mendapat dukungan baik politik maupun keuangan
dari negara GCC. Oleh sebab itu, kecil kemungkinan perlawanan bersenjata akan
mampu bertahan (endure) dengan lama.
Jalan yang tersedia
akhirnya hanyalah melalui perjuangan diplomasi dan dalam perjuangan ini
keterlibatan negara-negara lain dan badan internasional yang memiliki
pengaruh besar terutama kepada Israel dan AS menjadi sangat mutlak. Beberapa
negara yang selama ini aktif antara lain Uni Eropa, Rusia, dan akhir-akhir
ini adalah China. Sementara PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) adalah salah satu badan internasional, juga selama ini memfasilitasi perdamaian Palestina dan
Israel.
Keterlibatan negara-negara
tersebut menjadi signifikan saat ini, yakni pascadeklarasi Trump. Uni Eropa,
Rusia, AS, dan PBB sudah lama bergabung dalam sebuah kelompok yang biasa
disebut Quartet for Middle East yang mendorong proses perdamaian
Palestina-Israel.
Kelompok kuartet ini
berdiri untuk mencari jalan damai dalam menanggapi gerakan Intifada kedua
pada 2000. Saat serangan Israel ke wilayah Palestina pada April 2002,
kelompok kuartet ini bertemu di Madrid dan kembali menyerukan pelaksanaan
perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh pemerintah AS. Mereka juga
sepakat untuk mengubah kerja sama Quadripartite mereka menjadi sebuah forum
permanen untuk menindaklanjuti proses perdamaian Israel-Palestina.
Kelompok kuartet selama
ini tidak terlalu menonjol peranannya walaupun tetap aktif memfasilitasi perdamaian
baik melalui bantuan keuangan dan pelatihan di Palestina dan Israel.
Alasannya karena AS, terutama para presiden sebelum Trump, mendominasi proses
diplomasi tingkat tinggi.
Dengan hilangnya
kredibilitas AS, “tanggung jawab” proses perdamaian jatuh ke tangan Uni
Eropa, karena posisi Uni Eropa yang terdiri atas 28 negara adalah mitra
dagang utama bagi Israel dan bantuan keuangan terbesar juga bagi otoritas
Palestina.
Menurut Dana Moneter
Internasional, bantuan keuangan internasional adalah motor utama penggerak
pertumbuhan ekonomi di Palestina. Tingkat pengangguran telah turun saat
ekonomi Gaza tumbuh 16% pada paruh pertama tahun 2010, hampir dua kali lebih
cepat dari ekonomi Tepi Barat.
Rusia sendiri awalnya
lebih diharapkan sebagai pihak penyeimbang AS dalam kelompok kuartet ini,
karena sejak masih menjadi bergabung di Uni Soviet yang komunis, dalam
sejarahnya mereka lebih berpihak kepada negara-negara Arab dan Palestina.
Posisi itu sendiri tampaknya telah bergeser dengan kemenangan melawan ISIS di
Suriah dan semakin menguatnya pengaruh di Timur Tengah akhir-akhir ini yang
membuat Rusia semakin penting terlibat.
Negara lain yang mulai
aktif terlibat dalam proses perdamaian di Palestina adalah China. Jauh
sebelum deklarasi Trump, China menawarkan beberapa proposal perdamaian kepada
Palestina dan Israel. Usulan proposal perdamaian China mulai dirintis
terutama bersamaan dengan diproklamasikannya OBOR (One Belt One Road) alias
strategi pengembangan infrastruktur China pada 2013.
Presiden China Xi Jinping
mengajukan proposal empat poin perdamaian Palestina-Israel ketika Presiden
Palestina Mahmoud Abbas berkunjung ke Beijing. China bahkan mengimbau
masyarakat internasional pada Juni lalu untuk mengadopsi proposal tersebut
dan bersedia untuk memfasilitasi perundingan segitiga Palestina-China-Israel.
Keterlibatan dan kesiapan
negara-negara tersebut untuk memulai proses perdamaian di Palestina tampaknya
adalah lembaran baru yang harus terus didorong. Indonesia perlu menemukan
cara untuk mengawasi dan mengawal proses tersebut karena proses tersebut
tidak hanya melibatkan kepentingan Palestina dan Israel, tetapi juga rentan
disusupi oleh kepentingan pihak-pihak yang terlibat.
Ini tentu menjadi
tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk memformulasikan kekuatan dan
menggunakan apa yang kita miliki sebagai daya tawar untuk mengawasi proses
perdamaian tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar