Donald
Trump vs Amerika
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara
Foundation
|
DETIKNEWS,
19 Desember
2017
Semakin kita melihat
secara dekat kehidupan berbangsa dan bernegara di berbagai belahan dunia,
semakin kita dapati betapa gap (jurang pemisah) antara pemerintah dan rakyat
sangat besar. Terkadang apa yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan atas nama
kepentingan rakyat sekalipun, tidak selamanya mencerminkan kehendak rakyat
mayoritasnya. Dan, ini bahkan terjadi di negara-negara di mana demokrasi
menjadi (bagaikan) "petunjuk suci" dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Amerika Serikat, misalnya,
adalah negara yang diakui oleh banyak kalangan sebagai "mbah-nya
demokrasi liberal modern". Artinya, harusnya semua sikap dan kebijakan
pemerintah merupakan cerminan dari keinginan mayoritas rakyaknya.
Karena, sejatinya dalam konsep demokrasi dipahami bahwa kebijakan negara itu
adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kenyataannya tidak selalu
demikian.
Gap antara kebijakan
pemerintah dan keinginan masyarakat luas boleh bersifat positif, tapi juga
negatif bahkan berbahaya. Lalu, apa yang kemudian menentukan sebuah kebijakan
publik dapat dikategorikan baik atau buruk? Apakah ada pada keinginan
mayoritasnya semata? Atau, apa yang dianggap baik oleh pemerintah?
Jawabannya tidak pada
salah satunya. Tapi, ada pada acuan bersama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, yaitu Konstitusi dan UUD. Bahwa, dalam kehidupan publik,
bernegara, dan berbangsa Konstitusi atau UUD menjadi acuan benar-tidaknya
sikap publik. Baik sikap pemerintah maupun sikap rakyatnya.
Pemerintah dalam
menjalankan pemerintahannya, atau dalam pengambilan keputusan publik dibatasi
oleh konstitusi. Di Amerika Serikat ketika presiden ditemukan terbukti
melakukan pelanggaran konstitusi maka sang presiden terancam untuk dipecat
(impeached). Oleh karenanya konstitusi tegas menjadi acuan dalam
pergerakannya.
Selama kebijakan itu
sejalan dengan konstitusi yang ada, bahkan terkadang kurang populer, maka
kebijakan itu akan dilihat sebagai kebijakan positif. Hal ini karena sikap
publik (masyarakat) belum tentu sikap yang murni. Seringkali terombang ambing
oleh emosi yang kerap dipertajam oleh kepentingan-kepentingan politik dan media.
Satu contoh yang kami,
masyarakat muslim Amerika, alami di pengujung 2010 lalu. Saat itu warga
muslim di New York ingin mendirikan sebuah Islamic Center sekitar dua blok
dari Ground Zero, lokasi gedung kembar WTC dulu ambruk pada 2001. Rencana ini
oleh salah seorang kandidat gubernur dari Partai Republican, Rick Lazio,
dipakainya sebagai alat kampanyenya. Bahwa, Islamic Center ini sengaja
dibangun oleh komunitas muslim sebagai simbol kemenangan Islam atas Amerika.
Politisasi isu agama itu
dengan serta merta pula dipanas-panasi oleh media yang selama ini memang
dikenal anti-Islam, seperi NYPost, Fox News, Wall Street, dll. Maka serempak
di seluruh kota-kota Amerika tumbuh resistensi. Tentu yang paling kuat
menentang rencana itu adalah warga kota New York. Sebesar 70% lebih warga
ketika itu menentangnya.
Tetapi, saya bolehlah
berbangga dengan New York ketika itu. Walikota New York saat itu, salah
seorang terkaya dunia, beragama Yahudi pula, Michael Blooberg, justru dengan
gigih mendukung pendirian Islamic Center itu.
Pada bulan Ramadan 2010
itu sang walikota mengadakan acara buka puasa untuk pemimpin masyarakat
muslim. Saya kebetulan duduk semeja dengan beliau. Saya pun tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menanyakan tentang dukungannya.
"Mr. Mayor, what
makes you supporting this project to build an Islamic Center near Ground
Zero?"
Sambil tertawa lepas
beliau menjawab, "I do not support the project, neither the muslims. I
am defending my value and constitution."
Dari jawaban itu kita
pahami bahwa pengambil kebijakan dalam tatanan kehidupan publik itu dibatasi
oleh batasan-batasan konstitusi. Oleh karenanya sebuah kebijakan selama tidak
menyalahi konstitusi, walau kenyataannya tidak populer, perlu dilakukan.
Donald
Trump dan Bangsa Amerika
Yang menjadi masalah
kemudian adalah ketika sebuah kebijakan diambil dan bertentangan dengan
keduanya; bertentangan dengan aspirasi masyarakat luas, juga melanggar UU dan
konstitusi yang ada. Demikianlah sesungguhnya yang menjadikan berbagai
kebijakan Donald Trump bermasalah. Tidak saja bahwa kebijakan itu selalu
berpihak kepada kelompok masyarakat tertentu dan mengindahkan masyarakat yang
seringkali berada di posisi mayoritas. Tapi, yang paling berbahaya adalah
seringkali keputusan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dibanggakan
Amerika dan konstitusi yang ditinggikan.
Dalam hal ini mungkin kita
diingatkan kembali bahwa terpilihnya Donald Trump itu adalah kecelakaan
sistem. Sistem pemilihan presiden Amerika tidak sepenuhnya murni demokratis,
one man/woman one vote, seperti yang berlaku di banyak negara demokrasi
lainnya termasuk Indonesia.
Di Amerika Serikat
pemilihan memakai sistem elektoral. Yaitu, perhitungan kemenangan secara
distrik dalam sebuah negara bagian. Dengan sistem ini terjadi kecelakaan pada
pemilu Amerika lalu, di mana Donald Trump memperoleh kemenangan elektoral
walau secara jumlah suara pemilih Hillary unggul sekitar 3 juta suara. Dalam
sejarah Amerika ini adalah kemenangan kandidat secara suara terbesar, tapi
gagal menjadi presiden karena bukan jumlah suara yang menentukan.
Sejak saat itu pula Donald
Trump nampak dalam berbagai kebijakan yang diambilnya melalui "Executive
Order" bercirikan dua hal yang paling menonjol. Pertama, mendapat
resistensi tinggi dengan demo menentang di mana-mana. Kedua, bahwa kebijakan
itu harus paradoks dengan kebijakan yang pernah diambil oleh Barack Obama.
Sehingga ada yang memperkirakan bahwa berbagai kebijakan Donald Trump itu
menggambarkan "political revenge" atau dendam politik ke Barack
Obama. Bahkan oleh sebagian dicurigai sebagai upaya menghilangkan jejak-jejak
jasa Barack Obama kepada negara ini.
Tapi, yang paling runyam
dan berbahaya adalah ketika Donald Trump mengambil kebijakan yang jelas-jelas
bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai tinggi Amerika. Ambillah
sebagai misal kebijakan untuk melarang orang-orang Islam dari 6 negara
mayoritas muslim untuk masuk ke Amerika. Kalau pelarangan ini adalah
kebijakan Amerika sebagai negara maka sah-sah saja. Itu adalah haknya.
Tapi, ketika pelarangan
itu didasari oleh ras dan etnis, apalagi agama dan keyakinan, maka itu jelas
bertentangan dengan konstitusi Amerika yang menjunjung tinggi keadilan untuk
semua. Serta, bertentangan dengan nilai-nilai non-diskriminatif yang
dijunjung tinggi oleh Amerika.
Keputusan Donald Trump
untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sekaligus rencana
memindahkan kedubes Amerika ke Yerusalem sebagai penguatan pengakuan itu
sesungguhnya adalah pelanggaran dan pengkhianatan terhadap konstitusi dan
nilai-nilai mulia Amerika yang dibanggakan itu. Kenapa demikian?
Tentu banyak alasan. Tapi,
yang terpenting dari semua itu adalah bahwa ketika kita berbicara tentang
konflik maka tentu ada dua pihak yang saling bertabrakan (clash). Dalam hal
ini masalah Yerusalem menyangkut dua pihak yang bertikai. Yaitu, Palestina
dan Israel. Kenyataannya Donald Trump mencampakkan satu pihak, dan sepenuhnya
memberikan privilege (kelebihan) kepada pihak lain. Inilah kezaliman dan
ketidakadilan yang nyata, sekaligus pelanggaran nyata konstitusi yang
menjunjung tinggi "justice for all" (keadilan untuk semua).
Masyarakat Amerika
memiliki sikap ragam dalam menyikapi keputusan Donald Trump ini. Bahkan
mereka yang mendukung Yerusalem sekalipun sebagai ibu kota Israel banyak yang
tidak setuju dengan pengumuman sepihak Donald Trump. Karena, harusnya
penyelesaian konflik Pakestina-Israel, khususnya isu Yerusalem, dilakukan
melalui negosiasi dengan melibatkan semua pihak yang terkait (stake holder),
khususnya Palestina dan Israel sendiri.
Keputusan Donald Trump
oleh banyak pihak di Amerika diyakini justru membawa dampak negatif, bahkan
mengancam stabilitas keamanan di Timur Tengah bahkan dunia. Oleh karenanya di
tengah emosi dan kemarahan umat, hendaknya juga perlu memilah-milah masalah
dan jeli dalam menyikapi. Saya menyadari bahwa di saat kita teruji, pemikiran
sehat dan common sense akan terkucilkan oleh rasa emosi dan amarah. Dalam
situasi seperti itu kerap timbul berbagai retorika yang kurang realistis.
Maka saya ingin ingatkan
bahwa keputusan Donald Trump tidak seharusnya dilihat sebagai posisi bangsa
Amerika secara menyeluruh. Sehingga kemarahan kepada Donald Trump juga seolah
kemarahan kepada semua bangsa Amerika, termasuk kurang lebih 12 juta umat
Islam di negara ini.
Demikian pula keinginan
memboikot produk-produk Amerika. Saya justru ingin mengusulkan agar yang
dikampanyekan bukan boikot produk Amerika. Tapi, yang harus dikampanyekan
adalah menghadirkan alternatif-alternatif terhadap produk luar dengan
menguatkan produk-produk dalam negeri.
McDonald atau KFC tidak
akan berkembang di dunia Islam jika rendang atau sayur kangkung telah
terkampanyekan sebagai makanan yang lebih lezat, sehat dan terpuji
dibandingkan junk food dari Amerika itu. Bahkan harusnya mulai dipikirkan
bagaimana makanan-makanan Nusantara itu mampu minimal bersaing dengan
makanan-makanan Amerika di dunia internasional, bahkan di Amerika sendiri.
Yang saya juga ingin lihat
adalah bagaimana umat Islam di Indonesia dan dunia bisa bersatu untuk menolak
transaksi bisnis dengan perusahaan Trump seperti di Emirate, Qatar, Saudi,
bahkan Turki. Atau, keberanian mereka yang selama ini memuji Trump di
Indonesia untuk memboikot rencana pembangunan resort Trump di Bali dan di
Jawa, termasuk yang di Bogor.
Saya hanya khawatir hal
ini juga tidak realistis. Imam Masjidil Haram saja memuji Donald Trump
sebagai pahlawan stabilitas, keamanan, dan perdamaian. Di Indonesia juga
Donald Trump pernah dideklarasikan sebagai "highly liked by the
Indonesians."
Bahkan saya juga khawatir
bahwa bersamaan dengan retorika boikot yang kita kampanyekan, sikap
ketidakjujuran atau (maaf) paradoks nyata terjadi karena kita masih memakai
iPhone, WA, FB, Youtube, Twitter, IG, dan seterusnya. Bahkan mengkampanyekan
boikot produk Amerika, tapi pada saat yang sama jari-jemari bergerak sana-sini
digiring oleh produk Amerika, untuk mengutuk Amerika dan produknya. Piye
toh?! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar