Menghormati
Penganut Kepercayaan
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
04 Desember
2017
Mahkamah Konstirusi (MK)
mengabulkan uji materi atas UU 24/2013 Tentang Administrasi Kependudukan yang
menghendaki penganut kepercayaan bisa mengisi kolom agama di e-KTP. Dengan
pengabulan itu para penganut aliran kepercayaan dapat menuliskan status itu pada
KTP mereka. Selama ini mereka terpaksa memilih salah satu agama resmi yang
diakui negara untuk dicantumkan dalam KTP, meski mereka bukan penganutnya.
Kemudian mereka diberi hak untuk mengosongkannya.
Solusi mengosongkan itu
dianggap belum cukup untuk menghormati hak mereka, sehingga MK memutuskan
untuk memberi mereka hak mencantumkan kepercayaan mereka pada kolom agama.
Pasal 29 UUD 1945 koheren dengan konsep hak asasi manusia, di mana manusia
diberi kebebasan untuk memilih apa yang mereka imani, dan dijamin haknya
untuk beribadah sesuai iman itu.
Dalam konteks hak asasi
manusia, negara sebenarnya tidak boleh membatasi atau menentukan agama apa
saja yang boleh dianut warganya. Agama resmi yang diakui harus dipandang
sebagai keterbatasan pemerintah dalam melayani kebutuhan beragama warganya,
bukan sebagai wewenang untuk membatasi.
Umumnya banyak pihak
bergembira dengan keputusan MK itu. Yang keberatan hanya Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Pernyataan dari pengurusnya seperti Din Syamsuddin dan
Makruf Amin mencela keputusan MK ini. Bahkan MUI mengeluarkan pernyataan
resmi sebagai hasil dari Munas. Apa masalah MUI?
Pertama harus diingat, MUI
itu sebuah ormas, bukan organisasi yang punya kedudukan istimewa dalam tata
negara. Jadi, pendapat MUI sebenarnya sama saja dengan pendapat ormas mana
pun, bahkan bisa disetarakan dengan pendapat individu mana pun. Jadi
pemerintah tidak perlu memberi perhatian khusus. Kedua, MUI sepantasnya
mengurus umat Islam. Penganut aliran kepercayaan ini jelas bukan umat Islam. Kenapa
MUI perlu ikut mengurusinya?
Jadi pernyataan MUI soal
keputusan MK itu adalah pernyataan yang melampaui kepantasan. Kenapa MUI
sampai perlu bersuara? Sebabnya, banyak penganut aliran kepercayaan yang
selama ini mengisi kolom agama mereka dengan agama Islam, meski mereka
sebenarnya tak mengimaninya. Ada semacam rasa kehilangan kalau orang-orang
itu tidak lagi mencantumkan Islam sebagai agamanya.
Secara demografis efeknya
mungkin ada juga. Data jumlah penduduk muslim akan bergeser. Efeknya,
setidaknya akan mengancam status klaim mayoritas. Efeknya mungkin tidak akan
terasa secara nasional, tapi pada daerah tertentu mungkin akan terasa.
Sebab lain, banyak orang
Islam menganggap bahwa penganut aliran kepercayaan adalah orang-orang yang
menyimpang, atau menyimpangkan ajaran Islam. Karena itu, Din Syamsuddin
misalnya, meminta mereka kembali kepada Islam. Jadi, memberi mereka hak untuk
mencantumkan kepercayaan mereka seakan memberi mereka fasilitas untuk terus
menyimpang.
Yang harus diluruskan
dalam hal ini bukan iman mereka, tapi persepsi kita atas iman mereka. Mereka
memang bukan penganut ajaran Islam. Sebagian dari mereka, seperti diungkapkan
tadi, digiring untuk menjadi Islam, memenuhi kebutuhan sistem administrasi kependudukan.
Sebagian yang lain terpengaruh oleh sebagian dari ajaran atau tradisi Islam.
Ajaran yang mereka anut
sudah ada di negeri ini sejak sebelum agama lain masuk ke negara ini. Kedua
sebab itu secara substantif tak membuat mereka menjadi pemeluk ajaran Islam.
Jadi, keinginan MUI agar mereka kembali ke ajaran Islam itu adalah keinginan
salah kaprah, sekaligus tidak menghormati ajaran mereka.
Masalah ini menjadi rumit
karena MUI memang sering mengambil peran sebagai hakim atas iman orang. MUI
seolah punya wewenang untuk menentukan mana iman yang lurus, mana yang tidak.
Yang tidak lurus diberi cap bukan Islam. Tapi dalam kasus ini menjadi ironi,
ketika orang memilih untuk berada di luar Islam, MUI malah ribut
mempermasalahkannya.
Keputusan MK itu sudah tepat
dalam kerangka konstitusi. Keputusan itu harus dihormati. Ini tidak saja
kemenangan bagi para penganut aliran kepercayaan. Ini adalah kemenangan semua
manusia. Ini adalah keputusan penting dalam menghormati hak setiap manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar