Bara
yang Tak Kunjung Padam
Freddy Numberi ; Ambassador, Tokoh Masyarakat Papua
|
KORAN
SINDO, 20 Desember 2017
KONFLIK Jakarta-Papua
sejak awal integrasi 1 Mei 1963-1 Mei 2017 (54 tahun) bagaikan "bara api
yang tak kunjung padam". Hal ini menyuburkan dan memapankan paradigma
separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan berpikir baik
di Jakarta maupun di Papua.
Els Bogaerts dan Remco
Raben dalam bukunya "Van Indie tot Indonesie" (Amsterdam, 2007; hlm
35) menyatakan: " De diepste wortels van het geweld dat na 1945 zo’n
vernietigende uitwerking op Indonesie had, zijn te vinden in het patron van
geweld misdrijven in de koloniale tijd en de manier waar op het koloniale
gezag met misdaad omging. Onvermoed steunde-en crieerde-het Nederlanse system
in Indie een reservoir geweld."
Inti dari pernyataan
tersebut bahwa akar kekerasan yang ada di Indonesia setelah 1945 memang
diciptakan oleh kolonial Belanda untuk menghancurkan orang Indonesia dan
secara sistem menjadi sumber kekerasan aparat keamanan Belanda.
Penulis coba memosisikan
Papua dalam konteks pernyataan di atas: "De
diepste wortels van geweld dat na de New York Agreement 1962 en de
intergratie 1 Mei 1963 zo’n vernetigende uitwerking op de Papua’s had, zijn
te vinden in het patron van geweld en misdrijven onder Indonesie en de manier
waar op het gezag met misdaat omging."
Bahwa akar kekerasan yang
terjadi setelah Perjanjian New York 1962 dan penyatuan kembali pada 1 Mei
1963 menghancurkan Orang Asli Papua (OAP) dalam pola kekerasan oleh aparat
keamanan.
Dinamika
Konflik
Namun, penderitaan panjang
selama tiga setengah abad itu telah mempersatukan suku-suku dalam wilayah
Nusantara sebagai bangsa Indonesia. Persatuan itu terjadi karena adanya
keinginan untuk hidup bersama, bebas dari penjajah, dan meraih cita-cita
bersama. Nasionalisme Indonesia tidak lahir semata-mata dari solidaritas
agama, suku, bangsa, bahasa, asal-usul, maupun geografi saja, tetapi juga
dari pengalaman sejarah yang sama dan persamaan nasib sebagai bangsa yang
dijajah.
Namun, terkadang
nasionalisme dipakai secara manipulatif untuk kepentingan-kepentingan
tertentu. Pengultusan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) "harga
mati" misalnya, merupakan contoh bagaimana nasionalisme itu
dipersepsikan begitu sempit NKRI seolah-olah identik dengan nasionalisme.
Sedangkan di luar itu dianggap berlawanan dan divonis sebagai barang haram
yang mengancam kedaulatan negara dan bangsa.
Hal ini justru menjadi
"bom waktu", apalagi di era globalisasi, demokratisasi, dan
keterbukaan informasi. Reformasi yang kita gulirkan sejak 1998 yang didukung
seluruh rakyat Indonesia menyuburkan berbagai tuntutan daerah agar daerahnya
menjadi lebih sejahtera dalam naungan NKRI. Lahirnya Undang-Undang No 21/2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus) misalnya, merupakan
langkah pemerintah yang paling tepat dalam menjawab berbagai tuntutan rakyat
Papua di masa lalu.
Contohnya, Pasal 45
tentang Penegakan HAM, diamanatkan bahwa di Papua akan dibentuk perwakilan
Komisi Nasional HAM, pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Sudah lebih dari satu dasawarsa, komisi-komisi tersebut belum juga terbentuk.
Inilah salah satu contoh inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan
pasal-pasal yang diamanatkan oleh UU Otsus, yang notabene dibuat sendiri oleh
pemerintah.
Harapan rakyat Papua bahwa
dengan adanya otsus, pembangunan di Papua dapat berjalan sesuai kondisi
ekonomi, sosial, dan budaya OAP dalam bingkai NKRI telah sirna. Perlakuan
yang dialami setelah otsus masih sama seperti sediakala, yaitu kemiskinan,
kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidakadilan, dan trauma akibat kekerasan.
Bahkan di antara mereka ada yang tersandera oleh stigma separatis.
Bergulirnya Otsus Papua
belum dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Dalam pelaksanaannya,
belum efektif dan secara khusus belum memberi perhatian untuk meraih Papua
Tanah Damai. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam lebih dari tiga kali
kunjungannya ke Papua mengamanatkan bahwa pembangunan di Papua harus menuju
Papua Tanah Damai, tetapi konflik dan kekerasan masih terus terjadi.
Contohnya adalah konflik Deiyai berdarah 31 Juli 2017 yang juga dikutuk oleh
Presiden Jokowi karena kekerasan masih saja terus terjadi di Papua.
Perlu
Evaluasi Kritis
Selama lebih dari setengah
abad (1963-2017), pendekatan pembangunan di Tanah Papua cenderung
mengedepankan pendekatan keamanan dan politik yang didasarkan pada kecurigaan
yang bersifat stereotipe etnik. Pendekatan tersebut kiranya sudah waktunya
dievaluasi secara kritis dan menyeluruh untuk kemudian menggantinya dengan
pendekatan baru yang didasari mindset
baru. Pendekatan keamanan yang cenderung sarat pelanggaran HAM sampai
saat ini terbukti belum berhasil menyelesaikan masalah Papua secara tuntas
dan permanen serta bermartabat, tetapi malah menghasilkan benih-benih
separatisme dan kebencian OAP (Orang Asli Papua) terhadap pemerintah.
Papua saat ini lebih
membutuhkan pendekatan yang dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi OAP
(human security), menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and
wealth creation). Mudah-mudahan dalam kurun waktu tertentu secara permanen
dan bermartabat dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada di bawah
kepemimpinan Presiden Jokowi.
Dr Daoed Joesoef
mengingatkan kita untuk lebih bijaksana dalam menangani ketidakpuasan rakyat
daripada menggunakan senjata. Konflik yang terjadi di Tanah Papua saat ini,
menurut Omar N Bradley, yaitu perang yang keliru, pada tempat yang keliru,
pada waktu yang keliru, dengan musuh yang keliru, dan digagas dengan alasan
yang keliru.
Itulah yang pernah terjadi
di Aceh dan masih berlanjut di Papua hingga saat ini. Memang perlawanan
rakyat dapat ditumpas dengan kekuatan bersenjata dan luka-luka akibat perang
yang serbakeliru itu dapat sembuh. Namun bekas luka-lukanya tidak akan pernah
hilang, karena diceritakan orang tua ke anak, dari anak ke cucu, dan dari
cucu ke cicit (memoria passionis).
Hasil penelitian Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan ada empat akar permasalahan
Papua, yaitu; (1) marjinalisasi dan diskriminasi; (2) kegagalan pembangunan;
(3) kekerasan negara dan pelanggaran HAM; (4) sejarah dan status politik
Papua (Muridan S. Widjojo, dkk, 2010 ; hlm 6). Lebih dari setengah abad
penanganan empat akar masalah ini belum tuntas.
Pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla (JK) masih memiliki suatu beban sejarah untuk mengakhiri pengalaman
pahit yang masih dirasakan oleh saudara-saudaranya orang asli Papua sejak
bergabung dengan bangsa Indonesia 54 tahun yang silam. Hal ini tentunya
sejalan dengan Nawacita yang dicanangkan sejak awal pemerintahan Kabinet
Kerja di bawah kepemimpinan Jokowi-JK.
Semoga dengan pendekatan
baru yang dirancang oleh pemerintahan Jokowi-JK, tercipta Tanah Papua yang
damai dalam NKRI ke depan dan akan mencatat lebih banyak kenangan manis yang
secara kolektif akan terus diingat oleh Orang Asli Papua sebagai bukti alasan
utama mengapa mereka memilih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar