Masa
Depan PLN
Joni Hermana ; Rektor ITS Surabaya
|
KORAN
SINDO, 19 Desember 2017
Bagian akhir serial
tulisan dari hasil kunjungan dinas PLN ke China adalah mencoba menjawab
pertanyaan penting yang mengusik: "Lalu, bagaimana masa depan PLN?"
Agak janggal mungkin
pertanyaannya, namun tentu saja hal ini bukan tanpa alasan. Ada beberapa persoalan
inti yang menggantung. Pertama, target Presiden terhadap capaian kapasitas
35.000 MW nyaris terpenuhi, namun yang menjadi masalah adalah kebutuhan
listrik di masyarakat ternyata tidak setinggi nilai kapasitas investasi yang
telah terbangun. Terutama di luar Jawa, kebutuhan listrik masih rendah akibat
pertumbuhan ekonomi yang masih lamban. Tampaknya keberadaan listrik dan
pertumbuhan ekonomi di luar Jawa masih berkisar pada pertanyaan klasik: ayam
atau telur? Bukan masalah lingkup pelayanan elektrifikasinya (yang sudah
mencapai 93,08%), melainkan lebih kepada konsumsi pemakaian per kapita
konsumen yang masih terlalu rendah (kita masih kurang lebih 1/5 dari konsumsi
[kWh] per kapita Malaysia saat ini).
Kedua, tarif dari listrik
sebagaimana umumnya komoditas utama masyarakat, air minum misalnya,
besarannya dikunci pemerintah. Artinya, perlu mekanisme panjang melalui DPR
untuk menaikkannya. Ini sesuatu yang nyaris sulit kalau tidak boleh dikatakan
tidak mungkin karena prosesnya akan panjang dan berdarah-darah. Isu kenaikan
tarif listrik, tingkat sensitivitasnya sangat tinggi di masyarakat, dan
tentunya juga, negara tidak mau kehilangan muka seolah tidak mampu
menyediakan tarif yang terjangkau. Di sisi lain, subsidi yang diberikan
pemerintah kepada PLN jauh lebih rendah dari selisih harga jual dengan harga
produksinya. Dampak dari hal ini
adalah tarif listrik kita tidak terlalu kompetitif dengan negara jiran itu,
tetapi di sisi lain, jelas ini juga akan membebani PLN dalam jangka panjang.
Ketiga, PLN masih bertumpu
pada sumber energi primer, artinya PLTU masih menjadi andalan mereka dalam
menghasilkan listrik dengan batu bara sebagai sumber bahan baku utamanya.
Anehnya, hampir semua produksi batu bara yang dihasilkan Indonesia semua,
atau lebih dari 80%, digunakan untuk ekspor, bukan untuk mem-backup kebutuhan
bahan baku listrik dalam negeri, sudah begitu usaha produksinya hampir
seluruhnya dikelola oleh swasta. Luar biasa!
Belum lagi, Indonesia
merupakan negara eksportir batu bara terbesar di dunia, padahal jika dilihat
dari kapasitas cadangannya, Indonesia hanya negara keenam di dunia (atau
hanya mewakili 3% cadangan batu bara dunia). Kebijakan ini membawa
konsekuensi yang membuat dahi berkenyit, yaitu harga batu bara yang dibeli
dan dibawa PLN dari Kalimantan ke Jawa lebih mahal daripada harga per tonase
batu bara untuk pelayanan yang sama dari Kalimantan ke India!
Namun, yang lebih penting
lagi, boleh jadi akibat eksploitasi cadangan batu bara besar-besaran untuk
ekspor ini, Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang kehabisan
cadangan batu baranya. Lalu, ke mana PLN harus mendatangkan batu bara untuk
menghidupi mayoritas unit-unit pembangkit listriknya lagi? Sudah bisa
ditebak, PLN akan semakin bergantung negara asing yang pada gilirannya akan
semakin memperkecil ketahanan bangsa kita sesungguhnya.
Keempat, perkembangan
pembangkit listrik dengan energi terbarukan (EBT) juga menjadi tantangan
tersendiri. Pemerintah menargetkan PLN untuk mampu menghasilkan EBT sekitar
23% pada 2024. Saat ini capaian PLN masih sangat rendah sehingga masih
diperlukan perjalanan panjang untuk mencapai target pemerintah di atas. Satu
di antara yang berpotensi diberdayakan adalah tenaga matahari, melalui
teknologi sel surya, di samping panas bumi dan hydropower. Teknologi ini
masih dalam tahap berkembang dan relatif mahal. Saat kunjungan kami ke
industrinya di China, mereka pun masih belum sepenuhnya mandiri karena masih
harus berkolaborasi dengan negara Swiss dan beberapa negara Eropa Barat dalam
memproduksi panel sel surya dan baterainya. Belum sepenuhnya made in China.
Namun, ada yang menarik
kalau kita tarik garis lebih jauh. Di India dan di negara eks Eropa Timur,
terutama Ceko. Perkembangan sel surya sudah mulai masif dan berskala
individu. Artinya, ke depan pelayanan listrik sudah tidak lagi akan bertumpu
pada perusahaan konvensional yang rigid dan berbahan bakar batu bara, tapi
bertumpu pada unit-unit kecil skala individu yang mampu melayani dirinya
secara mandiri di rumah masing-masing. Semua ini sepertinya tinggal soal
waktu saja.
Rasanya belum hilang dari
ingatan, PT Pos harus banting setir ketika jasa pengiriman surat mereka
diambil alih secara individual akibat keberadaan e-mail. Disusul kemudian
oleh PT Telkom ketika saluran kabel telepon mereka perlahan diganti oleh
jaring nirkabel dari telepon genggam. Ke depan tidak heran ketika sel surya
telah mencapai skala ekonomis, kabel SUTET juga mungkin menjadi barang kiloan
(maaf) bersama kabel logam lain. Agak berlebihan memang, tapi hal itu bisa
saja terjadi.
India misalnya, penelitian
di negara ini telah mampu menghasilkan listrik sel surya pada nilai ekonomis
8,78 rupees (sekitar Rp1.800) per kwh. Ceko sampai 2010 menjadi investor
nomor tiga setelah Jerman dan Italia dalam pengembangan sel surya. Walaupun
setelah itu agak surut akibat kenaikan
pajak sel surya, diramalkan akan naik kembali pada tahun-tahun
mendatang, terutama setelah Jerman bekerja sama dengan Prancis berhasil
mengatrol efisiensi sel surya sampai 46% pada
2014. Jerman bahkan telah mencanangkan bahwa pada 2050, 60 % listrik
mereka akan berasal dari sel surya.
Semua data di atas
merupakan "early warning system" bahwa telah terjadi disruptive
innovation pada semua sektor, termasuk energi listrik. Sudah selayaknya PLN
melakukan kajian lebih serius tentang sumber energi alternatif ini, khususnya
sel surya maupun gelombang serta arus laut yang relatif masih nihil
perkembangannya.
Khusus untuk arus laut,
ini perlu menjadi perhatian karena di samping Indonesia adalah negeri dengan
ribuan selat, teknologinya pun tidaklah terlalu rumit. Turbin Gorlov
misalnya, itu teknologinya mudah dikuasai. Perguruan tinggi bisa dijadikan
mitra dalam meneliti alternatif sumber pembangkit yang lebih layak, ekonomis,
sekaligus berkelanjutan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, PLN lebih siap
menghadapi masa depannya dibandingkan dengan perusahaan penyedia jasa milik
negara sebelumnya. Tetap semangat!!! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar