Zina,
LGBT, dan Putusan MK
M Ilham Hermawan ; Pengajar Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum
Universitas Pancasila
|
DETIKNEWS,
19 Desember
2017
Vonis Mahkamah Konstitusi
(MK) terhadap perkara 46/PUU-XIV/2016 secara nyata dan gamblang tidak dapat
disimpulkan bahwa MK mendukung zina dan LGBT. Pernyataan dari berbagai pihak
bahwa 5 (lima) hakim yang menolak perkara tersebut mendukung zina dan LGBT,
patut untuk diluruskan. Karena titik masalahnya bukan di situ; vis a vis yang
terjadi di antara para hakim MK (5 vs 4) terletak dari keberanian mereka
untuk mengeluarkan putusan yang membentuk norma baru, atau yang sering
disebut dengan positive legislator.
Secara normatif telah
jelas bahwa hanya ada 3 (tiga) jenis putusan MK yakni permohonan tidak dapat
diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Tapi, secara
teoritis dan praktis terdapat jenis putusan lainnya yakni membentuk norma.
Jenis putusan ini telah tumbuh dan hidup di MK; para hakim sebenarnya telah
lama mengamini keberadaan jenis putusan ini. Tapi, pada perkara ini MK
menyandarkan diri secara tegas pada pendapat bahwa MK tidak dapat membentuk
norma. Suatu pernyataan yang berbeda arah dengan apa yang telah MK yakini
selama ini.
Jika ditelisik,
pertentangan negative legislator dengan positive legislator sudah terjadi
sejak MK "ada". Bahkan perdebatan ini telah menjalar ke ruang-ruang
lainnya. Sebut saja di ruang DPR, sebagian mereka menilai bahwa MK selama ini
kebablasan. Keluar dari khitah pembentukannya yakni mengambil fungsi DPR
sebagai pembentuk undang-undang. Dan, kenyataannya MK tetap pada
keyakinannya, bahkan MK berdalil bahwa adanya putusan yang bersifat positive
legislator dalam rangka mewujudkan keadilan substantif. Suatu jargon yang
selama ini melekat pada toga para hakim MK.
Tapi, kenyataannya
berubah. Lima hakim dalam putusan tersebut berpendapat bahwa "Secara
doktriner, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk memiliki
kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya
dapat membatalkan undang-undang dan tidak dapat mengambil kewenangan parlemen
dalam membuat undang-undang atau peraturan." Tentu pendapat ini secara
jelas dan gamblang dapat dinilai melawan laju air yang selama ini diciptakan
oleh MK sendiri.
Cara berpikir 5 (lima)
hakim MK, persis seperti yang disuarakan oleh para pengkritik MK selama ini.
Mereka —para pengkritik— berpendapat positive legislator bertentangan dengan
demokrasi; dinilai bertentangan dengan pertanggungjawaban atas pemilih. Hal
ini berakar pada asumsi bahwa mayoritas merupakan sumber utama dari pembuatan
peraturan yang sah dalam demokrasi yang terletak pada kehendak mayoritas
rakyat atau perwakilan yang dipilih.
Mereka lupa bahwa esensi
dari demokrasi adalah setiap orang harus diperlakukan dengan perbuatan dan
rasa hormat yang sama. Konsepsi demokrasi memang memerlukan prosedur
mayoritas tetapi juga memerlukan adanya kepedulian terhadap status yang sama
terhadap setiap warga negara. Jadi tidak terdapat alasan bahwa prosedur
non-mayoritas tidak dapat digunakan pada keadaan khusus, ketika hal ini akan
lebih melindungi atau meningkatkan status persamaan yang menjadi esensi dari
demokrasi itu sendiri.
Maka, pembentukan norma
(positive legislator) oleh MK harus dilihat tidak hanya sebagai sah secara
demokratis, tetapi sebenarnya berpotensi memperkuat demokrasi. Bahkan
postivie legislator memainkan peran protektif dalam mengamankan cita-cita
moral tertentu dari mayoritarianisme untuk memastikan nilai-nilai fundamental,
dan menjamin hak-hak individu.
Maka, argumentasi 5 (lima)
hakim yang membatasi bahwa positive legislator tidak dapat dilakukan ketika
menyangkut norma hukum pidana, tidaklah tepat. Kebutuhan positive legislator
bukan kebutuhan yang parsial. Positive legislator lebih melihat bahwa hakim
harus memiliki "gagasan keadilan substantif yang berubah mengikuti
masyarakat." Hakim harus dapat menyesuaikan hukum ke dalam perkembangan
yang baru. Jadi titik tekannya pada kepatuhan terhadap pencarian nilai-nilai
fundamental, guna kepentingan keadilan dalam masyarakat.
Hal ini persis yang
dinyatakan oleh 4 (empat) hakim dalam dissenting opinion yakni "positive
legislator dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaar
feit) dapat dilakukan. Manakala norma undang-undang secara nyata mereduksi
dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada
dasarnya bersifat 'terberi' (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan
kehidupan manusia." Suatu pendapat yang patut diberi apresiasi. Karena
seyogianya hakim harus mampu menggali nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Maka jelas permasalahannya
bukan pro dan kontra terhadap zina dan LGBT, tapi soal cara bernalar yang ada
di belakang para hakim. Bagi hakim yang memiliki keyakinan judicial restraint
maka akan membaca hukum secara deduktif dan tertutup. Tapi, bagi hakim yang
memiliki keyakinan moral reading of the constitution maka akan membaca hukum
secara terbuka dan progresif. Ironisnya cara bernalar 5 (lima) hakim tersebut
dilihat oleh masyarakat umum dari perdebatan zina dan LGBT. Maka wajar jika
terdapat suara yang cukup keras bahwa MK mendukung zina dan LGBT. Secara
ekstrem mereka menyatakan bahwa 5 (lima) hakim yang menolak perkara tersebut
pro zina dan LGBT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar