Satu
Abad Tragedi Kemanusiaan Palestina:
Dari
Balfour ke Trump
Anis Matta ; Mantan Presiden PKS
|
DETIKNEWS,
17 Desember
2017
Deklarasi Trump yang
mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, 6 Desember 2017 lalu mengingatkan
kita pada Deklarasi Balfour 2 November 1917, persis satu abad lalu. Pilihan
waktu ini jelas sangat historis. Satu abad rasanya cukup untuk menuntaskan
mimpi negara Israel.
Ide negara Israel
dideklarasikan secara resmi oleh Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris,
melalui surat yang ia kirim kepada konglomerat sekaligus Ketua Komunitas
Yahudi Inggris, Rothchild. Dalam surat yang berisi dukungan penuh terhadap
aspirasi Zionis itu, Balfour antara lain mengatakan, "His Majesty's
government view with favour the establishment in Palestine of a national home
for the Jewish people, and will use the best endeavours to facilitate the
achievement of this object…"
Deklarasi itu dilakukan di
tengah kecamuk Perang Dunia Pertama yang berlansung dari 28 Juli 1914 hingga
11 November 1918, di mana Inggris, Prancis, dan Rusia (Allies) berhadapan
dengan Jerman, Austro-Hungaria (Central Power). Dengan meluasnya medan
tempur, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat akhirnya ikut bergabung dengan
Sekutu, sementara Ottoman dan Bulgaria bergabung dengan Central Power.
Seperti yang kita ketahui, perang itu akhirnya dimenangkan oleh Sekutu. Tapi
karena Tsar Rusia terjungkal dalam Revolusi Bolshevik yang berlangsung dari 8
Maret 1917 hingga 7 November 1917, praktis Inggris dan Prancis yang kemudian
muncul sebagai kekuatan baru dunia.
Dan perang selalu begitu
dalam sejarah, selalu menjadi alat paling efektif untuk mengubah peta dan
jalannya sejarah secara keseluruhan. Setidaknya ada 4 imperium yang lenyap
dari peta dunia setelah Perang Dunia Pertama itu, Imperium Jerman, Imperium
Austro-Hungaria, Imperium Tsar Rusia, dan Imperium Ottoman. Dan, tentu saja
peta baru dibuat oleh sang pemenang. Dan, itulah awal dari semua perubahan
peta geopolitik di Dunia Islam. Pada 1916, atau di pertengahan Perang Dunia
Pertama itu, dilatari oleh keyakinan bahwa Sekutu akan mengalahkan Imperium
Ottoman, secara diam-diam Inggris dan Prancis membuat perjanjian yang juga
disetujui Rusia untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan Ottoman sebagai rampasan
perang. Perjanjian ini secara resmi disebut Asia Minor Agreement tapi
kemudian lebih popular dengan nama Sykes-Picot Agreement, merujuk kepada nama
diplomat Inggris, Mark Sykes, dan diplomat Prancis, Francois Georges-Picot.
Jatah Inggris adalah
seluruh jalur pantai yang terbentang antara laut Mediterania dan Sungai
Jordan, wilayah selatan Irak plus beberapa wilayah kecil lainnya, termasuk
pelabuhan Haifa sebagai akses ke Mediterania. Sementara Prancis mengambil
jatah di wilayah Tenggara Turki, wilayah Utara Irak, Syria dan Lebanon.
Sementara Rusia mengambil Istanbul, Selat Bosphorus, dan Armenia. Dalam
perjanjian itu ada beberapa wilayah yang masuk dalam apa yang disebut sebagai
"brown area" termasuk Yerusalem, yang akan dikelola oleh
administrasi internasional setelah dikonsultasikan ke Rusia dan Syarif Husein
sebagai gubernur Hejaz (Mekkah, Medinah, dan Jeddah).
Tapi, kemudian brown area
itu sepenuhnya diserahkan ke tangan Inggris pada 1920, yang kemudian dikelola
dalam apa yang disebut sebagai Mandatory Palestine dari 1923 sampai 1948 saat
negara Israel berdiri. Rusia sendiri sejak awal tidak dominan dalam
perjanjian itu, apalagi setelah kaum Bolshevik membongkar perjanjian itu di
media-media Rusia 23 November 1917, yang tentu saja mempermalukan Inggris,
membuat murka Ottoman dan mengecewakan raja-raja Arab yang telah mengkhianati
Ottoman.
Tapi yang pasti "Peta
Sykes-Picot" itu telah membelah Imperium Ottoman secara sangat efektif
dan cepat. Seluruh wilayah Arab Non Jazirah terlepas dari kekuasaan Ottoman.
Kelak seluruh kawasan itu berubah menjadi pecahan negara-bangsa
(nation-state) yang merdeka, sementara kabilah-kabilah Arab di kawasan
Jazirah kemudian menyusul menjadi negara merdeka berbasis kekabilahan (tribe-state).
Batas-batas antar negara di kawasan itu ditentukan oleh Inggris dan Prancis
di wilayah kekuasaan masing-masing. Tapi semuanya lepas dari kekuasaan
Ottoman. Itu sebabnya runtuhnya Imperium Ottoman tinggal masalah waktu. Dan
itulah yang kemudian terjadi pada 1924.
Jadi landscape geopolitik
baru seluruh wilayah Ottoman dibuat dalam Peta Sykes-Picot pada 1916,
sementara proses awal pendirian Negara Israel digarap setelah Deklarasi
Balfour 1917. Kekalahan Ottoman dalam Perang Dunia Pertama akhir 1918, disusul
keruntuhannya pada 1924 membuat ide Negara Israel makin mendekati kenyataan.
Balfour sendiri bukan penggagas negara Israel. Tapi, Deklarasi Balfour adalah
komitmen Inggris untuk membantu komunitas Yahudi Zionis mendirikan Negara
Israel yang akan mewadahi seluruh orang Yahudi dari berbagai belahan dunia.
Ide mendirikan sebuah
negara mandiri bagi orang Yahudi adalah ide Organisasi Zionis yang didirikan
oleh seorang jurnalis Yahudi asal Austro-Hungaria, Theodor Herzl (1860-1904).
Ide ini merupakan respons terhadap ancaman eksistensial yang dihadapi kaum Yahudi
di Eropa bersamaan dengan bangkitnya gerakan-gerakan Nasionalis Radikal, yang
menjadikan Anti-Semitisme sebagai salah satu inti ideologinya.
Nasionalisme Radikal yang
berkecambah di paruh kedua abad ke-19 itulah yang menjadi akar munculnya
berbagai konflik di Eropa, yang puncaknya adalah Perang Dunia Pertama dan
Kedua, dan berbagai gerakan Anti-Semitisme seperti pada Dreyfus Affair di
Paris yang kemudian membelah Prancis dari 1894 hingga 1906, dan munculnya
pemimpin Anti-Semit di Vienna, Karl Lueger pada 1895, hingga kasus
pembantaian (holocaust) Kaum Yahudi, yang puncaknya pada era Hitler
(1933-1945). Dalam manifestonya, Hitler bahkan menganggap ideologi
Kapitalisme sebagai bagian dari konspirasi Yahudi. Walaupun secara keamanan
kaum Yahudi di Eropa mengalami ancaman eksistensial, tapi fenomena itu juga
dapat dibaca secara sosiologis sebagai kegagalan asimilasi sosial kaum Yahudi
dengan masyarakat Kristen Eropa.
Awalnya Kaum Zionis punya
4 pilihan negara tempat mereka menampung Kaum Yahudi dari berbagai belahan
dunia; Palestina, Argentina, Uganda, dan Mozambik. Tapi kemudian mereka
memilih Palestina karena justifikasinya secara keagamaan lebih mudah
dilakukan. Dan, itu juga sekaligus memudahkan proses mobilisasi global Kaum
Yahudi untuk berimigrasi ke Palestina sebagai tanah yang dijanjikan. Termasuk
di antaranya memobilisasi para donatur untuk membiayai mobilisasi imigrasi
besar-besaran itu. Kelak kita mengetahui bahwa salah satu donatur utama
mobilisasi imigrasi itu adalah keluarga Rothchild, pemilik jaringan perbankan
terbesar di dunia.
Jika hari ini kita
menyaksikan migrasi besar-besaran para korban konflik dari Timur Tengah dan
Afrika ke Eropa, pemandangan itu pula yang terjadi bagi Kaum Yahudi dari
Eropa dan Rusia ke Palestina sejak 1882 hingga 1948. Dalam kurun waktu hampir
70 tahun itu, 521.000 orang Yahudi telah berimigrasi ke Palestina dalam 6
gelombang migrasi, yang terbesar di antaranya adalah migrasi sepanjang 1932
hingga 1939, yaitu sebanyak 225.000 orang, dan antara 1940 hingga 1948, yaitu
sebesar 118.000 orang. Dua gelombang migrasi besar ini terjadi persis di era
Hitler. Sementara 2 gelombang migrasi terjadi sebelum Perang Dunia Pertama
dan Deklarasi Balfour, yaitu sebanyak 25.000 orang antara 1882 hingga 1903,
dan 40.000 orang antara 1904 hingga 1914.
Jika perang adalah alat
paling efektif untuk mengubah peta geografi dan politik, maka migrasi adalah
alat paling efektif untuk mengubah komposisi demografi dalam sebuah wilayah.
Akibat migrasi itu, warga Yahudi di Palestina berkembang dari 3% dari total
460.000 orang pada 1882 menjadi 31,5% dari total 2.065.000 penduduk Palestina
pada 1948, dan menguasai sekitar 78% lahan.
Begitulah cerita Negara
Israel dimulai; warga Yahudi sudah memenuhi wilayah Palestina sebelum Negara
Israel berdiri pada 1948. Pada mulanya adalah konflik penguasaan lahan yang
tidak disadari oleh warga Palestina hingga Intifada Pertama pada 1921,
Demonstrasi Besar Al Quds pada 1933, dan Syahidnya Izzuddin Al Qassam pada
1935, Revolusi Palestina antara 1936 hingga 1939. Di bawah pendudukan Inggris
dan operasi militer milisia Zionis semua perlawanan itu gagal. Puncaknya
adalah perang pada 1948 di mana gabungan Pasukan Pembebasan Arab di bawah
Liga Arab takluk. Negara Israel langsung dideklarasikan pada 1948 itu juga,
dan segera diakui sebagai anggota PBB pada 1949.
Resolusi PBB nomor
181/1947 sebelumnya, yang tertuang dalam apa yang disebut Palestine Partition
Plan, telah membagi Palestina ke dalam 3 zona. Satu zona dikuasai
pemerintahan Israel, satu zona dikuasai pemerintahan Palestina, dan satu lagi
merupakan zona bersama, yaitu Al Quds atau Yerusalem. Setelah perang 1948,
Israel menguasai wilayah Barat Al Quds, sementara wilayah Timur dikuasai
Jordania. Tapi wilayah Timur Al Quds itu kemudian dicaplok lagi oleh Israel pada
1967.
Bagi kaum Yahudi Zionis,
70 tahun waktu yang terbentang antara 1947 hingga 2017 adalah penundaan mimpi
Israel Raya akibat kepengecutan para pemimpin Amerika Serikat dan Eropa. Itu
adalah kesia-siaan. Sebab mimpi Israel Raya, yang digagas Theodor Herzl dan
kemudian dikenang sebagai Bapak Negara Israel, tidak sempurna tanpa Al Quds.
Dan. keberanian Trump-lah yang mengakhiri kesia-siaan itu 6 Desember 2017
lalu. Inilah yang mereka sebut sebagai Deal of The Century. Inilah pesta
sejarah terbesar Kaum Yahudi, dimulai dari Deklarasi Balfour 2 November 1917,
disempurnakan oleh Deklarasi Trump 6 Desember 2017.
Tragedi
Kemanusiaan
Penelusuran sejarah itu
menjelaskan alasan mengapa Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa lainnya
kemudian mendukung ide pendirian Negara Israel. Itu cara Eropa membayar
"utang budi" mereka kepada kaum Yahudi. Dukungan itu jadi kebijakan
yang realistis setelah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia Pertama 1918.
Namun menjadi kewajiban setelah peristiwa holocaust yang dialami kaum Yahudi
di bawah Hitler, dan kemudian takluk oleh Sekutu dalam Perang Dunia Kedua
1945.
Tapi, yang membayar utang
budi Eropa kepada kaum Yahudi adalah Kaum Muslim Palestina. Kaum Yahudi yang
menjadi korban pembantaian di Eropa sekonyong-konyong datang ke tanah
Palestina untuk menjadi pelaku pembantaian baru atas kaum Muslim di sana. Itu
adalah transfer tragedi kemanusiaan dari Eropa ke Palestina. Kini, satu abad
sudah tragedi kemanusiaan itu berlangsung. Dimulai oleh Balfour disempurnakan
oleh Trump.
Misi
Konstitusi
Negara Israel berdiri
1948, persis 3 tahun setelah Indonesia merdeka pada 1945. Kita yang merasakan
getirnya penderitaan akibat penjajahan lebih dari 3 abad pasti membawa rasa
senasib sepenanggungan dengan kaum Muslim Palestina, dan semua bangsa lain
yang sampai saat itu belum merdeka. Perasaan senasib sepenanggungan itulah
yang mendorong para pendiri bangsa kita menjadikan kebebasan dan kemerdekaan
seluruh bangsa dunia sebagai misi konstitusi Indonesia. Semangat itu pula
yang melatari pendirian Konferensi Asia Afrika yang dipelopori salah satunya
oleh Bung Karno. Sejak saat itu satu demi satu negara-negara Asia Afrika
merebut kemerdekaannya.
Yang tersisa kini tinggal
Palestina. Ya. Tinggal Palestina. Dan, "selama kemerdekaan bangsa Palestina
belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah Indonesia
berdiri menentang penjajahan Israel," kata Bung Karno. Sebagai bangsa
Indonesia, kata Bung Karno lagi dalam pidato HUT RI ke-21, "Kita harus
bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa
kemerdekaan, bukan saja berjiwa anti-imperialisme, tetapi juga konsekuen
terus berjuang menentang imperialism."
Rasanya semangat pembelaan
kepada orang-orang tertindas adalah darah revolusi yang terus mengalir abadi
dalam diri setiap manusia Indonesia. Inilah yang menggerakkan kita berdiri
tegap, dan bergerak tanpa henti mengakhiri satu abad tragedi kemanusiaan di
Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar