Jumat, 01 Desember 2017

Maulid Nabi dan Islam Rahmatan lil Alamin

Maulid Nabi dan Islam Rahmatan lil Alamin
Muhbib Abdul Wahab ;  Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
                                              KORAN SINDO, 30 November 2017



                                                           
MAULID Nabi Mu­ham­mad SAW penting di­per­ingati dan dimak­nai dalam konteks pe­num­buh­an sikap cinta Nabi SAW dan pe­ngembangan spirit Islam ­au­ten­tik yang pernah di­dak­wah­kan oleh Nabi SAW dengan cinta dan damai. Melalui Maulid Nabi SAW, umat dan bangsa diajak un­tuk meneladani visi-misi pro­fetiknya yang agung, yaitu mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin bagi semesta raya.

Aktualisasi Islam rahmatan lil ‘ala­­min bukan sekadar wa­ca­na, me­­­lainkan Islam autentik yang per­­­n­ah diteladankan Nabi SAW me­­­lalui kesuksesannya da­lam me­­­ngemban lima peran pro­­fe­tik, ya­i­­tu: sebagai syahidan (sak­­si dan pem­­beri bukti atas ke­be­nar­an Is­lam), mu­basy­syi­­ran (pem­ba­wa ka­bar gembira, mo­tivator), na­dziran (pem­­beri per­ingatan, pe­negak ke­adil­an), da’iyan ila Allah (pe­nye­ru aga­ma Allah), dan sirajan mu­nir­an (ca­­ha­ya yang mem­berikan pen­­ce­rah­­­an, ins­pi­ra­tor) (QS al-Ah­zab [33]:45-46). Li­ma peran pro­­fe­tik itu di­tun­tas­kan dengan men­­­­de­kla­rasikan di­ri sebagai se­­orang pen­d­idik se­ka­li­gus pe­nyem­­purna akh­lak mulia (HR Malik).

Tugas Nabi SAW memang bu­kan sekadar menyampaikan ayat-ayat Allah, tetapi juga men­jadi teladan mental spiritual dan moral paling ideal bagi umat manusia. Dengan su­nnah­nya, Nabi SAW tampil sebagai pen­jelas ayat-ayat dalam ben­tuk amalan nyata. Karena itu, wu­jud Islam rahmatan lil ‘alamin itu mewujud dalam kepribadian be­liau yang luhur. “Sungguh pa­da diri Rasulullah itu terdapat ke­teladanan yang baik bagi orang yang mengharapkan per­te­mu­an dengan Allah dan Hari Akhir.” (QS al-Ahzab [33]: 21).

Resolusi Konflik Dialogis  
Sebelum diangkat menjadi ra­sul, Muhammad pernah mem­beri teladan dialogis yang suk­s­es melakukan resolusi kon­flik antarsuku yang nyaris ber­akhir dengan konfrontasi fisik. Saat itu semua suku Arab di se­ki­tar Kota Mekkah saling berebut “geng­si sosial” untuk mele­tak­kan kembali Hajar Aswad yang ter­empas dari posisinya akibat ban­jir bandang. Setiap suku me­ra­sa berhak menempatkannya kem­b­ali pada posisi semula. S­e­mua bersitegang dan merasa be­n­ar sendiri-sendiri. Untunglah, di­capai kata sepakat bahwa orang pertama yang masuk Mas­­jidilharam dipercaya me­nye­lesaikan konflik itu. Mu­ham­mad, pemuda yang waktu ma­suk masjid pertama kali, tam­pil memberi solusi dengan ter­lebih dahulu berdialog de­ngan para kepala suku.

Hasil dialog itu dilanjutkan de­ngan menggelar sorban be­liau, lalu Hajar Aswad dile­tak­kan di atasnya dan diangkat se­ca­ra bersama-sama menuju po­si­si­nya. Semua aspirasi di­ako­mo­da­si, dan semua diberikan hak­n­ya. Tin­dak kekerasan an­tar­suku da­pat dihindari. D­e­ngan resolusi kon­flik dialogis­nya, Mu­ham­mad sukses se­ba­gai problem solver,  bukan trouble maker.

Resolusi konflik dialogis itu mem­­buat beliau meraih leg­i­ti­ma­­s­i sosial dan gelar kemuliaan “al-Amin Award “ (Orang yang sa­­ngat dapat dipercaya). Dialog da­lam menyelesaikan per­soal­an me­rupakan solusi damai yang da­pat mengakomodasi se­mua pi­hak dengan win-win so­lu­tion. Pe­mimpin tepercaya (al-Amin) pas­ti berusaha mencari so­lusi ter­hadap berbagai per­soal­an se­ca­ra dialogis dan da­mai sekaligus me­ngedepankan ke­pentingan ra­k­yatnya, bukan ke­pentingan go­longan dan partainya.

Setelah diangkat menjadi ra­sul, Nabi SAW membuktikan di­ri­nya sebagai pemimpin yang ju­jur dan benar (shidq), dapat di­per­caya, akun­tabel (amanah), ter­­buka dan ko­mu­ni­ka­tif (ta­b­ligh), serta c­er­das dalam m­e­ma­hami dan memper­juangk­an ke­ma­juan ma­sya­ra­katnya (fa­tha­nah). Ka­ta kunci dari ke­ber­­ha­sil­an Rasul da­lam memimpin umat adalah ke­lu­hur­an akhlak dan ke­teladanannya yang baik, ber­satunya an­ta­ra kata dan per­buat­­an nyata. Beliau ti­dak mu­dah me­ng­obral janji dan gemar me­­lakukan pen­ci­tra­an, tetapi se­lalu ter­de­pan dalam mem­be­ri
us­wah hasanah (tel­adan ter­baik) ba­gi umatnya.

Aktualisasi Rahmatan lil ‘alamin
Salah satu identitas Islam ada­lah ajaran salam (cinta da­mai): as-salamu’alaikum wa rah­ma­tullahi wa barakatuh. Nilai-ni­l­ai salam ini sangat penting di­re­vitalisasi dan di­aktuali­sa­si­kan dalam kehidupan sehari-hari karena setiap hari minimal li­ma kali muslim mengucapkan sa­lam ketika mengakhiri salat. Ar­tinya, menjadi muslim d­itun­tut mampu mengupayakan ter­wu­judnya: salam (perdamaian, cin­ta damai), rahmat (kasih sa­yang, harmoni, semangat ihsan, be­­r­buat baik demi kebaikan se­mua), dan barakah (nilai ke­baik­an, keberkahan, dan ke­ber­mak­na­an dalam hidup).

Visi Islam rahmatan lil ‘alamin  da­pat diwujudkan melalui be­be­ra­pa hal. Pertama, me­nam­pil­kan Islam autentik yang sangat da­mai (peaceful), penuh empati, dan harmoni. Nabi SAW me­nge­de­pankan pemberian maaf
da­ri­pada membalaskan dendam atau kemarahan hatinya akibat di­benci dan dimusuhi. Beliau le­bih suka memberi dan me­no­long orang lain daripada m­e­men­tingkan dirinya sendiri  atau memperkaya diri.

Kedua, Islam mengajarkan pen­­tingnya bersikap empati dan mem­beri pertolongan mes­ki­pun terhadap orang yang me­mu­suhi dan menzaliminya se­ka­li­pun sebab dengan begitu si­kap dan pandangan musuh bo­leh ja­di berubah menjadi lebih baik dan tidak lagi memusuhi Islam.

Ketiga, jalan kekerasan bu­kan solusi dalam memecahkan ber­­bagai persoalan, termasuk per­­soalan ketidaksukaan Abu Ja­­hal dan kom­plot­an­nya ter­­ha­dap dakwah I­s­lam. Na­­bi SAW me­milih ja­­lan da­mai de­­ngan me­no­long dan me­maafkan orang yang me­­mu­suhi­nya ka­re­na da­pat ber­­dam­pak po­si­tif ba­gi per­­­ubahan ci­tra po­si­tif Is­­l­am di ma­ta orang-orang kafir yang ti­­­dak me­­nyukainya. Ja­di, pen­­­di­dik­an pe­r­da­mai­­­an merupakan sa­lah sa­tu fondasi dan mo­­­dal so­sial ak­tua­li­sa­si Is­­lam rah­matan lil ‘alamin.

Keempat, esensi Mau­lid Na­bi adalah ke­lahiran figur pe­juang HAM sejati yang tulus dan ber­de­dikasi sangat tinggi. Be­­liau menghargai per­bedaan, ter­ma­suk kepada musuh atau orang yang sa­ngat dibenci ka­re­na ber­beda etnis, agama, atau ideo­logi. Dalam sebuah Ha­dits di­riwayatkan: “Dari Ja­bir RA bah­wa ada jenazah yang di­­usung melewati Nabi SAW, ke­­mu­dian beliau berdiri (untuk mem­­beri hormat kepadanya) dan kami pun (ikut) berdiri. La­lu kami  berkata: ‘Ya Rasul, je­na­zah itu jenazah Yahudi.’ Ra­sulul­­lah lalu berkata: ‘Se­sung­guh­­nya kematian itu sesuatu yang menakutkan. Jika kalian me­­lihat jenazah, hendaklah eng­­kau berdiri.’ Dalam riwayat lain, kepada Rasul dinyatakan: ‘Je­­nazah itu jenazah seorang Y­a­hu­di.’ Lalu Rasulullah berkata: ‘Ti­dakkah jenazah Yahudi itu ju­ga manusia?” (HR al-Bukhari).

Kelima, revitalisasi Islam yang humanis: ramah, penuh ka­sih sayang, cinta damai, dan to­leran. Fakta sejarah
me­nu­n­juk­kan bahwa Nabi SAW tidak me­lakukan pertumpahan da­rah selama di Kota Mekah mau­pun ketika membebaskan Kota Mek­kah. Dalam konteks ini, Han­nan al-Lahham, dalam Ha­dyu al-Sirah wa al-Taghyir
al-Ij­ti­ma’i (2002), menyatakan bah­wa orang-orang kafir Quraisy su­dah berprasangka buruk bah­wa Nabi SAW akan “me­lam­pias­kan dendamnya” dengan mem­bu­nuh atau mengusir mereka da­ri Mekkah.

Namun, saat itu Na­bi dengan bahasa yang san­tun melakukan “pengampunan mas­sal”. Kata beliau, “Kalian se­mua boleh pergi meninggalkan Mek­kah; kalian semua bebas, di­maafkan.” (idzhabu, fa antum al-thulaqâ’). Lebih lanjut Nabi me­nyatakan: “Dinuna dinul al-mar­hmah“ (agama kami adalah agama kasih sayang).

Meneladani  
Memaknai Maulid Nabi SAW menghendaki umat Islam un­tuk mereformasi komitmen mo­ral kita untuk mematuhi, me­neladani, dan mengamalkan Is­lam secara konsisten di te­ngah kehidupan masyarakat se­hing­ga dapat mewujudkan ke­da­maian, keharmonisan, k­e­se­jah­teraan, dan kasih sayang ba­gi umat manusia dan makhluk lain yang ada di alam raya ini. Mau­lid Nabi meniscayakan Is­lam yang penuh rahmat: ramah, p­e­nuh perdamaian, toleran, ka­sih sayang, antikekerasan, dan an­ti­terorisme. Dengan kete­la­dan­an moralnya, terbukti be­liau mampu mengubah ma­sya­ra­kat Jahiliah yang tak ber­mo­ral menjadi masyarakat yang ber­akhlak mulia.

Dengan memperingati Na­bi SAW sesungguhnya sistem ni­lai Is­lam diharapkan dapat m­e­­wu­jud­kan tatanan ke­hi­dup­an umat manusia dan sis­tem dunia yang adil, damai, se­jah­tera, dan ba­hagia dunia dan akhi­rat. Jadi, visi rahmatan lil ’al­a­mîn  meng­ha­ruskan kita mam­pu men­ja­di­kan Islam se­ba­­gai agama te­la­dan yang au­ten­tik sekaligus aga­ma per­adab­an yang ber­ke­adab­an, ber­perikemanusiaan, dan ber­ke­adilan. Islam itu un­tuk se­mua dan memberi rahmat ba­gi se­m­esta raya (Islam for all).

Menghadirkan Islam se­ba­gai rahmatan lil ‘alamin  me­nun­tut ketulusan hati dan ke­ter­bu­ka­an sikap umat Islam untuk me­nampilkan Islam yang ung­gul dan berkemajuan, bukan ber­perilaku melawan hukum dan mencoreng citra positif Is­lam. Sebagai rahamatan lil ‘ala­min, Islam pada zaman now ha­rus menjadi bagian integral dari upa­ya meneladani al-asma’ al-hus­na, yaitu ar-Rahman ar-Ra­him. Kalau Allah itu Maha Pe­ngasih dan Penyayang, sebagai umat-Nya, kita semua, harus me­wujudkannya dalam keh­i­dup­an nyata.

Sifat utama yang di­tun­juk­kan oleh Allah, terutama ketika meng­awali surat-surat Alquran, ada­lah sifat kasih sayang (ar-Rah­man ar-Rahim). Oleh para pe­nulis sirah-nya, Nabi SAW ju­ga dijuluki sebagai Nabiyyu
ar-Rah­mah (Nabi Sang Pembawa ajar­an kasih sayang). Jika se­ba­gai pengikutnya, kita meyakini Allah dan Nabi-Nya menge­de­pan­kan sifat rahmah, maka su­dah semestinya menjadi rah­mat Islam ini menjadi karakter uta­ma dalam hidup ber­ke­luar­ga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan se­nan­tia­sa meneladani akhlaknya yang mulia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar