Politik
Luar Negeri Indonesia 2017 dan
Tantangannya
pada 2018
Beginda Pakpahan ; Analis Politik dan Ekonomi Global UI
|
KOMPAS,
21 Desember
2017
Kita akan menutup tahun
2017 dan akan memasuki tahun 2018. Dalam konteks pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia, kita berada di antara pelbagai capaiannya pada tahun 2017
dan tantangannya pada 2018.
Lalu, apa pelbagai capaian
politik luar negeri Indonesia 2017? Selanjutnya, apa pelbagai tantangan
politik luar negeri Indonesia 2018?
Capaian
2017
Pada 2017, Indonesia
melaksanakan beberapa hal penting. Pertama, Indonesia ikut mendorong dan
mendukung ASEAN sampai mencapai usia 50 tahun, terutama berkontribusi
memelihara perdamaian dan menjaga stabilitas di Asia Tenggara. Indonesia
kerja bersama sembilan negara ASEAN lain mendorong semua pihak yang
berkepentingan di Asia Pasifik untuk berkontribusi positif dalam perdamaian
dan stabilitas di Laut China Selatan, mengupayakan sentralitas dan kesatuan
ASEAN serta menjaga proses pembentukan Masyarakat ASEAN.
Kedua, Indonesia bekerja
sama dengan negara-negara ASEAN melawan ekstremisme dan terorisme di Asia
Tenggara, seiring dengan meningkatnya kehadiran Negara Islam di Irak Suriah
(NIIS) di Maute, Filipina. Pada Juni 2017, Indonesia, Malaysia, dan Filipina
bersama-sama menjaga keamanan di perairan Sulu dan Sulawesi dalam rangka
melawan terorisme di Asia Tenggara. Secara spesifik, setiap angkatan
bersenjata dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina membangun pusat komando di
Tarakan (Indonesia), Tawau (Malaysia), dan Bongao (Filipina) dalam rangka
memantau pergerakan para militan dan orang asing yang masuk ke atau keluar
dari Marawi, Filipina selatan.
Ketiga, Indonesia aktif
dalam melaksanakan diplomasi kemanusiaan untuk meredakan krisis yang terjadi
di Rakhine, Myanmar. Indonesia menawarkan dan mengupayakan formula 4+1 kepada
Myanmar sebagai solusi atas krisis kemanusiaan tersebut. Formula itu terdiri
dari pemulihan keamanan, menahan diri untuk tak melakukan pendekatan
kekerasan, perlindungan bagi semua penduduk Myanmar tanpa melihat apa
agamanya, dan memberikan akses bantuan kemanusiaan dan pembangunan bagi para
korban. Indonesia mendekati Myanmar dengan konstruktif supaya Myanmar mau
meredakan krisis yang terjadi di wilayahnya dan membuka akses bantuan
kemanusiaan. Indonesia juga mendekati Bangladesh untuk kesediaan negara
tersebut melindungi para pengungsi dari Rakhine yang saat ini ada di sana.
Keempat, Indonesia cukup
aktif dalam forum regional dan internasional dalam pelbagai isu. Pada 2017,
Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indian Ocean Rim
Association (IORA). Dalam KTT IORA, 5-7 Maret 2017, Indonesia mendorong
disepakatinya Kesepakatan Jakarta bagi negara-negara IORA yang mencakup
pelbagai bidang. Indonesia mendorong agar IORA menjadi platform penghubung
untuk mengisi kekosongan kerja sama dan keterkaitan antara arsitektur
regional Asia Pasifik yang sedang berevolusi dan belum optimalnya kerja sama
antarnegara di wilayah Samudra Hindia.
Pada 7-8 Desember 2017,
Indonesia menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum (BDF) ke-10 yang diadakan
di Tangerang, Banten. Tema yang diangkat oleh Indonesia adalah Does democracy
deliver? BDF adalah forum kerja sama antarnegara yang bertujuan memajukan
perdamaian, demokrasi, dan moderasi melalui tukar pikiran dan berbagi
pengalaman antara pemerintah dan masyarakat sipil di Asia Pasifik dan dunia
di pelbagai bidang.
Setelah kebijakan terbaru
Presiden Amerika Serikat Donald Trump perihal status Jerusalem awal Desember
2017, Indonesia mendorong agar isu Jerusalem dan masalah Palestina dibawa ke
KTT Luar Biasa OKI di Turki pada 13 Desember 2017 dan ke sidang Dewan
Keamanan PBB.
Tantangan
2018
Pada 2018, politik luar
negeri Indonesia akan menghadapi pelbagai tantangan. Pertama, persaingan
negara-negara besar di Laut China Selatan (LCS) dan ketidakpastian situasi di
Semenanjung Korea. Indonesia perlu
melaksanakan politik luar negeri bebas aktif dengan mengupayakan persatuan
ASEAN dan menjaga sentralitasnya. Tujuannya adalah memelihara perdamaian di
LCS, mende-eskalasi krisis di Semenanjung Korea, dan menjaga momentum
pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara. Persaingan negara-negara besar yang
sedang terjadi di Asia Tenggara dan Timur bisa dimitigasi dengan penguatan
peranan Indonesia dan ASEAN dalam pembentukan arsitektur kerja sama politik,
keamanan, dan ekonomi di Asia.
Kedua, peningkatan
kegiatan terorisme global yang sedang melanda Asia Tenggara. Indonesia perlu
berperan aktif dalam menghadapi ekstremisme dan terorisme yang terjadi di
Asia Tenggara karena krisis Marawi di Filipina adalah contoh konkret
kehadiran NIIS di kawasan tersebut. Kerja sama Indonesia dan negara-negara
ASEAN beserta negara-negara mitra ASEAN perlu ditingkatkan dan diperkuat
dalam rangka mencegah berkembangnya ekstremisme dan memberantas pelbagai
kegiatan terorisme.
Ketiga, ketidakpastian
politik dan ekonomi dunia, mulai dari kerja sama bilateral, regional,
multilateral, sampai situasi global. Pelaksanaan kebijakan politik dan
ekonomi dari AS yang mengedepankan kepentingan negara itu berdampak terhadap
pelbagai kerja sama dan situasi dunia. Pengetatan regulasi dan peningkatan
bea impor ke AS, keluarnya AS dari Trans-Pacific Partnership (TPP),
melemahnya perhatian AS terhadap Agenda Pembangunan Doha dan Dispute
Settlement Body/The Appellate Body di The World Trade Organization, dorongan
AS untuk revisi kerja sama The North American Free Trade Agreement (NAFTA)
dan kebijakan terbaru Presiden Trump atas status Jerusalem adalah pelbagai
perubahan dunia yang perlu diantisipasi oleh negara dan organisasi
regional/internasional di dunia, termasuk Indonesia.
Tak bisa dimungkiri,
ekonomi AS masih merupakan ekonomi terbesar dunia sejak abad ke-20 sampai
saat ini. Menurut data Bank Dunia, AS menguasai lebih dari 24 persen dari
seluruh produk domestik bruto (PDB) dunia tahun 2016. Pada 2016, AS adalah
tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan 15,68 miliar dollar
AS. Meskipun China mengganti posisi AS sebagai tujuan ekspor terbesar pada
periode Januari-Oktober 2017, dengan nilai 16,9 miliar dollar AS, tetapi pada
periode yang sama posisi AS sebagai tujuan ekspor Indonesia masih signifikan
karena berada di posisi kedua terbesar dengan total nilai 14,2 miliar dollar
AS.
Konsekuensinya. Indonesia
perlu mengantisipasi pelbagai perubahan itu dengan mengoptimalisasi diplomasi
ekonominya, seperti membuka pasar-pasar baru dengan Afrika dan Amerika Latin
serta meningkatkan kerja sama ekonomi di antara negara-negara selatan. Semoga
pemerintah dan rakyat Indonesia dapat merespons dengan efektif pelbagai
tantangan politik luar negeri Indonesia 2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar