Goliath
Melawan VUCA
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan
Publik dan Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS,
18 Desember
2017
Era now penuh dengan
disruption. Saat ini tidak ada satu pun sektor industri yang terbebas dari
disruption atau gangguan. Industri transportasi seperti taksi mengalami
disruption dari munculnya taksi online dengan aplikasi teknologi mobile dan
penggabungan berbagai bisnis sekaligus. Bisnis retail mengalami disruption
dengan hebohnya belanja murah secara online karena terputusnya rantai
distribusi konvensional dan belum tersentuh pajak. Industri televisi
mengalami disruption dengan ramainya Youtube. Bahkan jumlah penonton website
online ini jauh melebihi penonton televisi.
Begitu pula dengan
industri energi migas yang sudah lama mapan, juga mengalami disruption dengan
munculnya energi baru terbarukan, seperti aplikasi solar cell dan mobil
listrik yang semakin lama semakin nyaman dan murah. Tidak ada industri yang
bebas disruption. Akibatnya di seluruh sektor industri, perusahaan incumbent
yang memegang pangsa pasar terbesar banyak yang bertumbangan. Mereka runtuh
di-disrupt oleh perusahaan start up yang memiliki model bisnis tidak biasa.
Mereka begitu inovatif, lincah, dan cepat mengambil peluang. Para Goliath ini
kewalahan dan semakin limbung ketika suhu politik dunia juga memanas. Bisnis
energi migas sangat rawan terhadap gejolak politik dan ekonomi.
Saat ini dikenal istilah
VUCA, atau Volatility-Uncertainty-Complexity-Ambiguity. Semua terus berubah,
mulai dari teknologi, peraturan atau kebijakan, perilaku konsumen, sampai
dengan iklim. Ketidakpastian menjadi lebih besar dari berbagai kondisi
tersebut, sehingga menjadikannya lebih kompleks untuk diantisipasi. Dalam
hitungan bulan semua bisa berubah. Maka banyak perusahaan yang berhenti
membuat Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dengan jangkauan waktu yang
jauh sampai 5 tahun.
VUCA tidak selalu merupakan
hal yang menakutkan dan menjadi masalah besar. Dalam kaca mata
entrepreneurship, VUCA juga menawarkan banyak peluang. Untuk menangkap
peluang diperlukan kecepatan, kelincahan, dan keberanian. Peluang bertebaran
di seluruh pelosok bumi, dan saat ini banyak diambil oleh perusahaan kecil
dan baru (start up) yang memang lebih lincah ketimbang perusahaan-perusahaan
raksasa yang lebih kaku, birokratis, dan penuh pertimbangan. Para Goliath ini
akhirnya sering menyerah kalah; lihat Kodak, Myspace, Crocs dan lain-lain.
Industri migas Indonesia
pun tidak bebas dari VUCA. Akhir Agustus 2017 lalu sudah dinyatakan oleh
Menteri ESDM bahwa pada 2040 tidak ada lagi kendaraan berbahan bakar minyak
yang akan diproduksi di Indonesia. Pernyataan ini jelas menjadi disruption
bagi Pertamina karena konsumsi terbesar BBM adalah untuk kendaraan bermotor.
Pertamina sebagai Goliath di industri migas Indonesia harus cepat merespons
perubahan ini segera, jika tidak ingin bangkrut.
Disruption lain bagi
Pertamina pun bermunculan, seperti munculnya SPBU Vivo yang menjual bensin
Premium dengan harga lebih murah dan lebih baik kualitasnya (RON89) ketimbang
SPBU Pertamina. SPBU Vivo ini bisa menjual lebih murah jelas karena dimiliki
oleh Vittol, salah satu trader migas terbesar di dunia. Sehingga akses
terhadap komoditas yang lebih murah mereka miliki.
Isu terhangat lain terkait
dengan pertempuran antara Goliath melawan David, yaitu isu holding BUMN migas
yang melibatkan PT Pertamina (Persero) dengan PT PGN, Tbk. Direktur Utama
Pertamina, Elia Massa Manik seperti ramai di grup Whatsapp dan juga media
online menyatakan bahwa PGN itu terlalu kecil, dan bila digabungkan dengan
Pertamina tidak akan membantu sama sekali. Bahkan untuk skala Pertamina,
mengelola PGN cukup hanya dengan satu Vice President (VP) di Pertamina.
Memang bila dilihat skala revenue dalam 5 tahun terakhir, Pertamina sebesar
38 miliar dolar AS sedangkan PGN hanya 2,9 miliar dolar AS. Namun, mengapa
beliau begitu upset dengan rencana holding BUMN migas dan penolakan yang terjadi?
Ternyata dari informasi
yang kami kumpulkan di lingkungan migas, PGN yang kecil ini menjadi bentuk
disruption bagi Pertamina. Kondisi terbaru, PGN telah ditunjuk dan diberi
kewenangan oleh Menteri ESDM sebagai penjual gas bagian negara. PGN diminta
untuk menjualkan dua kargo LNG dari Sanga-Sanga. Dan, PGN melakukan penjualan
melalui mekanisme tender yang dipublikasikan di Platts.com. Cara ini
menjadikannya proses penjualan gas bagian negara menjadi transparan dan
kompetitif. Ini test case yang berhasil dilakukan oleh Menteri ESDM. Good
job, Pak Menteri!
Dari sumber yang dapat
dipercaya, PGN berhasil menjual dengan harga jauh lebih tinggi dari yang
dilakukan Pertamina. Ini disruption karena selama lebih 40 tahun Pertamina
selalu menjadi penjual gas bagian negara tanpa kompetisi dan pembanding.
Kemudian, PGN dalam beberapa penugasan pemerintah seperti pembangunan SPBG
konon menawarkan biaya yang lebih murah ketimbang Pertamina. Dan, dari 10
SPBG yang dikelola oleh PGN, semuanya beroperasi walaupun belum optimum.
Sedangkan Pertamina mengelola lebih dari 30 SPBG, dan banyak yang mangkrak.
Selain itu dengan bisnis
gas bumi yang dilakukan PGN selama ini sangat efisien dan efektif melalui
pendekatan pengelolaan gas langsung sampai dengan pengguna akhir. Maka tidak
heran bila lebih dari 78% jaringan pipa gas ke pengguna akhir saat ini
dimiliki oleh PGN. Sedangkan Pertamina memilih untuk melakukan penjualan gas
melalui trader atau makelar. Beberapa waktu lalu BPK menyampaikan hasil audit
di Pertamina Gas, dan menemukan kerugian ratusan miliar rupiah dalam kegiatan
niaga gas karena macet di tingkat traders. Dengan deretan kinerja yang lebih
baik itu menjadikan PGN, si David yang men-disrupt comfort zone Pertamina.
Melihat konteks
pembentukan holding BUMN oleh Kementerian BUMN, khusus untuk holding BUMN
migas orang awam melihatnya tidak lebih sebagai langkah akuisisi PGN oleh
Pertamina untuk menghilangkan kompetisi dan disruption. Holding BUMN migas
hanya beranggotakan Pertamina dan PGN. Penggabungan yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan keuangan Pertamina terbukti ditolak langsung oleh
Direktur Utama Pertamina bahwa itu tidak akan berdampak sama sekali. PGN
terlalu kecil untuk membantu permasalahan keuangan yang dialami oleh
Pertamina.
Di sisi lain Menteri BUMN
menyatakan bahwa holding BUMN migas ini dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan duplikasi pengelolaan gas bumi antara PGN dan Pertagas. Sebagai
orang awam, saya berpendapat bahwa solusi paling jitu adalah menggabungkan
Pertagas ke dalam PGN, seperti yang pernah diputuskan oleh Dahlan Iskan
sebagai Menteri BUMN. Bukan mengakomodasi kepanikan dari Goliath dengan
mengeliminasi disruption dan pembanding dalam kinerja.
Presiden Jokowi pasti
melihat lebih jeli bahwa kebijakan holding BUMN migas ini tidak tepat secara
nasional karena munculnya monopoli absolut di usaha migas. Selain itu, dengan
VUCA dan tren hari ini di mana dibutuhkan kelincahan dan kecepatan
pengambilan peluang, holding BUMN sebagai upaya membangun raksasa sepertinya
bukan langkah yang tepat. Melawan perubahan ada biayanya.
Tidak ada industri yang
lolos dari ancaman VUCA. Para Goliath berguguran karena begitu lambat
merespons perubahan, kalah cepat mengambil peluang dari perusahaan kecil yang
lincah. Dalam perusahaan raksasa selalu memiliki masalah mengenai
kompleksitas birokrasi. Lapisan-lapisan birokrasi yang membuat pengambilan
keputusan investasi harus memakan waktu berbulan-bulan. Saking besar mereka
menjadi angkuh, dan hanya mau mengambil peluang yang besar, dan melupakan
peluang-peluang kecil yang sebenarnya berpotensi menjadi besar. Lihat
bagaimana perusahaan start up menjadi besar karena dengan kejeliannya melihat
peluang yang tidak pernah disentuh para Goliath.
Tulisan ini dibuat untuk
menyeimbangkan pemberitaan negatif terstruktur yang pada akhirnya akan
menghancurkan BUMN kita sendiri. Batalkan holding karena belum ada aturan
hukumnya, dan melanggar konstitusi. Jadi jangan melawan perubahan, dan mari
berubah bersama. Riding the wave of
change! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar