Drakula
dan Manusia tanpa Kepala
AS Laksana ; Cerpenis, tinggal di Jakarta
|
JAWA
POS, 18 Desember 2017
SEPERTI kebanyakan
bocah-bocah lelaki lain di kampung kami, saya suka menonton film kungfu. Kami
berangkat bersama-sama ke gedung bioskop murahan, menonton Fushen, Mengfei,
David Chiang, Tilung, Chi Kuan Chin, Wangyu, dan selanjutnya Chen Lung. Bruce
Lee sudah meninggal sebelum saya mengenal gedung bioskop, tetapi akhirnya
kami bisa menontonnya juga pada era kaset video dan menikmati kehebatannya
dalam gambar buram kaset bajakan.
Sekarang umur kami
bertambah, kesukaan mereka mungkin berubah. Satu dua senang mengirimkan pesan
dakwah melalui aplikasi WhatsApp dan mungkin sudah tidak menyukai film apa
pun. Saya masih menyukai Jet Li, terutama saat ia memerankan Wong Fei Hung
dan Fong Sai Yuk serta Donnie Yen yang berperan sebagai Ip Man, guru kungfu
Bruce Lee.
Jenis film lain yang saya
sukai pada waktu itu adalah film horor, sebuah genre yang digemari para
penakut, dan Pak Item atau Tan Ceng Bok menjadi hantu pertama yang saya
jumpai di layar besar. Ia berperan sebagai drakula dalam film Drakula Mantu;
saya menontonnya di bioskop layar tancap. Ketika film selesai, kami pulang
berjalan kaki menempuh jarak 3 kilometer, dengan langkah cepat-cepat dan
tidak banyak bicara, dengan tengkuk merinding melewati tempat-tempat gelap,
dengan pikiran dihantui oleh drakula yang siap menyergap kami sewaktu-waktu
dan mengisap darah kami.
Drakula asli baru saya
temui beberapa tahun kemudian melalui novel Dracula karangan penulis Irlandia
Bram Stoker. Itu novel yang dianggap karya puncak untuk jenis cerita hantu
pengisap darah.
Ada teman yang memberi
tahu bahwa drakula benar-benar ada dan belakangan saya menjumpai di internet
artikel berjudul ’’Drakula ternyata Benar-Benar Ada!” Tulisan itu berisi
laporan tentang sejumlah penelitian yang sudah dilakukan orang untuk
membuktikan bahwa hantu pengisap darah itu bukan semata-mata khayalan.
Penelitian pertama dilakukan lebih dua puluh tahun lalu oleh Stephen Kaplan,
seorang ahli jiwa yang mengepalai Lembaga Riset Vampir di New York, Amerika
Serikat.
Kaplan melibatkan
sekelompok dukun dalam risetnya. Ia meneliti perkumpulan-perkumpulan pemuja
setan yang menggunakan darah segar untuk membuat sesaji dan mencari tahu di
negara mana saja para drakula bertempat tinggal. Dan hasil penelitiannya
sejalan dengan pernyataan teman saya.
Seperti pawang bonbin yang
tahu persis berapa jumlah gajah di kebun binatangnya, Kaplan dengan yakin
menyebut bahwa Amerika Utara adalah tempat dengan populasi drakula paling
banyak. Ada sekitar 500 drakula di sana. Tempat-tempat lain yang juga dihuni
banyak drakula adalah Inggris, Irlandia, Amerika Selatan, Kanada, dan Afrika
Selatan.
Selanjutnya, ada wawancara
televisi dengan vampir perempuan, yang tampil untuk meluruskan persepsi
meleset tentang kaumnya, dan mengaku tidak suka terhadap semua cerita drakula
yang sudah ditulis orang. ”Kami bukan makhluk jahat semacam itu,” katanya.
Saat wawancara berlangsung, perempuan itu mengenakan gaun model abad ke-16.
Penampilannya tampak seperti gadis 20-an tahun, tetapi umur vampir itu
sebenarnya sudah setua gaun yang ia kenakan.
Khayalan yang bagus, yang
disampaikan secara meyakinkan, seringkali membuat orang sulit membedakan
antara khayalan dan kenyataan. Novel Dracula terasa meyakinkan dan karena
itulah sebagian orang meyakini bahwa drakula tidak mungkin hanya khayalan. Ia
pasti benar-benar ada.
Sama halnya dengan Sitti
Nurbaya, tokoh rekaan dalam novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Ada
orang-orang yang meyakini bahwa gadis malang itu, yang terpaksa menikahi
Datuk Maringgih, memang benar-benar pernah hidup. Makamnya ada di puncak
Gunung Padang, Sumatera Barat, dan sudah banyak diziarahi orang. Sempat ada
berita yang menyebutkan bahwa makamnya ternyata ditunggui oleh manusia tanpa
kepala.
Itu cerita ngawur, tetapi
orang sering membutuhkan cerita semacam itu dan memercayainya sebagai
kebenaran, tidak peduli apakah yang mereka dengar itu masuk akal atau tidak.
Di dalam fiksi, kita bisa
mempertanyakan apa gunanya menghadirkan makhluk yang tidak mempunyai kepala.
Ia tidak bisa melakukan apa-apa sebagai penunggu makam: tidak bisa
bersih-bersih makam, tidak bisa menelan orang-orang yang berniat jahat sebab
ia pasti tidak punya mulut. Ia juga tidak mempunyai mata, telinga, dan hidung
sehingga tidak akan bisa melihat atau mendengar atau membaui siapa pun yang
datang ke makam itu. Sudah pasti juga ia tidak punya otak. Artinya, ia sama
sekali tidak berguna sebagai penunggu makam.
Tetapi, itu kehidupan
nyata. Orang bisa berbuat ngawur di dalam kehidupan nyata, di dalam fiksi
tidak. Mengarang adalah kecakapan menyampaikan –dengan gaya– apa yang kita
ingin sampaikan. Dan cerita yang bagus akan bertahan selamanya karena ia
disampaikan penuh perhitungan oleh orang yang cakap.
Cerita buruk mungkin bisa
terasa bagus pada suatu waktu, namun mengenaskan pada waktu-waktu berikutnya.
Ia seperti film-film kungfu yang saya tonton di waktu kecil. Sesekali saya
masih suka iseng menonton ulang film-film kungfu lama dan menjadi sedih
karena semuanya tampak buruk untuk ditonton hari ini. Ceritanya terlampau
sederhana dan koreografinya kurang canggih sehingga pertarungan mereka
terlihat seperti main-main. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar