Tentang
Burung-Burung dan Ketidakarifan Lokal
Iqbal Aji Daryono ; Esais
|
DETIKNEWS,
12 Desember
2017
Biasanya, setiap kali
bercerita tentang Australia, saya selalu menyisipkan sinisme-sinisme
tertentu. Namun kali ini tidak. Ini murni berisi kekaguman norak seorang
warga Dunia Ketiga.
Begini. Hingga tahun kedua
keberadaan kami di Perth, saya merasa hanya ada dua yang mampu membuat saya
merindukan kota ini suatu hari nanti: orang-orang baik yang ada di sana, dan
langitnya. Ya, langit Perth tekun berimajinasi dengan awan warna-warni, dan
selalu bermurah hati menghadirkan pelangi.
Namun di tahun keempat,
ada satu lagi yang saya masukkan ke daftar biru calon pembangkit kerinduan
saya, yaitu burung-burungnya.
Sejak hari-hari awal saya
menginjakkan kaki di Perth, burung-burung sudah masuk ke dalam khazanah kesan
pertama. Meski cuma gagak-gagak hitam yang berkaok-kaok dengan suara
memilukan, berbeda dengan gagak Nusantara yang angker dan gagah itu,
lumayanlah.
Semakin ke sini, semakin
saya terpapar dengan burung-burung. Saat main ke pantai, camar-camar putih
datang merubung. Mereka mendekat, berharap lemparan remah-remah makanan.
Waktu ke Danau Bibra di
dekat rumah kontrakan, pemandangan burung-burung muncul dalam jenis-jenis
yang lain. Bebek-bebek, baik yang bentuknya mirip menthok, atau bebek-bebek
gemuk berdada coklat, berbaur dengan burung-burung air lain yang lebih kecil.
Belum lagi bebek-bebek putih, juga burung-burung bangau berkaki panjang yang
sesekali muncul di sela-sela bebek-bebek itu.
Situasi mabuk burung itu
jadi lebih parah lagi saat saya mulai bekerja jadi kurir. Di area kerja saya
ada empat danau. Danau Herdsman, Danau Monger, Danau Jakadeer, dan Danau
Jualbup. Di danau-danau itu khazanah perburungan yang saya akrabi jauh lebih
kaya lagi. Saya menjumpai bangau-bangau putih berkaki pendek berparuh
melengkung, burung-burung berbulu ungu berparuh merah dan bersarang di semak
sekitar danau, juga angsa-angsa hitam.
Angsa hitam adalah salah
satu trade mark Australia selain kanguru dan koala. Bendera negara bagian
Australia Barat sendiri memajang gambar angsa hitam bersebelahan dengan Union
Jack, bendera Britania Raya.
Nah, angsa-angsa hitam itu
saya lihat berkumpul begitu banyak di Danau Monger, terutama pada musim
panas. Ada ratusan ekor yang mengapung di danau itu, atau bersantai di
tepiannya bersama unggas-unggas jenis lain. Penyebabnya, danau-danau lain
menyusut airnya selama musim panas, dan hanya Danau Monger yang airnya tetap
penuh. Maka para penghuni danau kering pindah ke Monger untuk sementara
waktu.
Jadilah, sepanjang musim
panas, Danau Monger mirip taman burung raksasa.
Itu baru tentang
bebek-bebek dan angsa hitam di danau-danau. Belum lagi di sepanjang Sungai Swan.
Belum lagi burung-burung cantik di tempat-tempat lain.
Kebetulan, di area saya
ada Coral Tree Avenue, ruas jalan yang ditumbuhi jajaran pohon coral
berderet-deret. Pepohon itu berbunga rimbun selama Agustus. Nektar lezat pada
bunga-bunga merah itu mengundang ratusan burung nuri cantik warna-warni untuk
datang dan menetap di situ siang-malam sepanjang bulan tersebut.
Ini agak sama dengan ruas
jalan lain, Salisbury Street, yang diapit jajaran pohon berbiji entah apa
namanya. Di situ yang ngendon bukan burung-burung nuri, melainkan
kakatua-kakatua hitam berekor merah.
Kakatua ekor merah itu
beda lagi dengan kakatua berbulu putih, atau kakatua berbulu merah jambu,
yang kumpulan mereka kerap saya temui sedang mematuk-matuk rerumputan di area
sepanjang City Beach.
Cerita berpanjang-panjang
di atas sekadar gambaran bahwa kota yang saya tumpangi ini adalah surga
burung-burung. Dari semua itu saya jadi merawat pertanyaan yang tak kunjung
terjawab: bagaimana bisa orang-orang di sini tidak menangkapi atau memangsa
burung-burung itu?
Alih-alih menangkapi
burung-burung liar, orang malah begitu serius memerhatikan nasib para unggas.
Pernah, misalnya, pemerintah lokal di bilangan Pantai Cottesloe melarang
perayaan ulang tahun di pantai dengan menggunakan balon-balon. Gara-garanya,
ada seekor burung camar mati dan di dalam temboloknya ditemukan balon karet.
Jadi dia tewas karena kelolodan balon, dan tercekik karenanya.
Selain itu, di banyak
tempat dipasang papan-papan peringatan: "Tolonglah burung-burung dengan
tidak memberi mereka makanan. Tindakan memberikan makanan akan membuat mereka
sulit beradaptasi ketika alam berubah."
Saya paham, berbarengan
dengan upaya-upaya menjaga kelestarian burung-burung itu, ada juga
seperangkat aturan hukum tentang animal cruelty. Denda-denda sangat besar
dijatuhkan bagi siapa pun yang tertangkap tangan sedang menangkap apalagi
membunuh hewan-hewan liar.
Namun itu tetap belum
menjawab pertanyaan saya. Sebab sebenarnya sangat mudah untuk, misalnya,
menangkap seekor bebek di Danau Monger tanpa ketahuan siapa pun. Daging bebek
pun lumayan berharga. Bebek utuh beku di supermarket toh bisa seharga 13
dolar. Jika kita menangkap dua atau tiga bebek, cukuplah untuk teman nasi
selama seminggu. Itu akan jadi efisiensi anggaran yang lumayan, bukan?
Dan harap dipahami, banyak
juga orang Australia yang terpepet situasi ekonomi. Jadi pengangguran, bahkan
peminta-minta. Artinya keamanan bebek-bebek itu bukan karena orang Australia
sudah pada kaya. Lalu karena apa?
Pernah suatu hari di sela
kerja, saya turun ke Danau Jualbup, memotreti bangau-bangau. Lalu seorang
perempuan usia 50-an mendatangi saya, penasaran dengan apa yang saya lakukan.
Maka saya pun bertanya kepadanya, "Kenapa kalian tidak menangkapi dan
memakan burung-burung?"
Helen, perempuan itu,
menjawab dengan ragu. "Mmm, ya karena kami memang dididik seperti itu
sedari kecil."
Pendidikan! Sesimpel
itukah? Di negeri saya pendidikan sejak tingkat dasar juga mengajarkan
perilaku jujur dan amanah. Tapi toh korupsi tetap saja tumbuh subur. Lalu
bagaimana pendidikan untuk mencintai burung-burung bisa berhasil dengan
gemilang?
Pertanyaan penggalau batin
itu tentu akan saya kaitkan dengan nasib burung-burung di kampung kita. Di
dusun saya sendiri, burung-burung sudah lama menghilang. Kicau yang dulu
selalu meramaikan pagi sekarang sudah semakin jarang terdengar.
Kultur berburu sudah jelas
menjadi satu sebabnya. Coba, ada burung derkuku nongol satu saja, anak-anak
kampung langsung sibuk mengejar-ngejar dengan ketapel mereka. Bahkan burung
sekelas emprit sawah saja ditangkapi dengan jala.
"Buat dimasak
tongseng, Mas. Kalau di sini yang langganan minta setoran dari saya ya
keluarga Pak Lurah Anu," kata lelaki yang menjala ratusan ekor burung
emprit di sawah depan rumah saya waktu itu. Ia menyebut nama seorang lurah
paling kondang se-DIY yang ternyata konsumen aktif tongseng emprit.
Lihatlah, kenapa kita jadi
sebrutal itu? Di mana bukti atas teori-teori lama yang menyebut bahwa
masyarakat tradisional Nusantara begitu arif, sehingga dengan nilai-nilai
lokal menjadikan alam lestari, dan negeri jadi ijo royo-royo tertib aman
sehat asri? Beranikah kita membongkar
kebijaksanaan klasik kita, lalu dengan jujur mengakuinya sebagai
ketidakbijaksanaan?
Saya ambil contoh, dalam
tradisi Jawa ada lima syarat seorang ksatria. Wisma, wanita, turangga,
kukila, curiga. Rumah, istri, kuda, burung piaraan, lalu keris. Perhatikan,
bahwa kepemilikan burung piaraan sejak ratusan tahun silam atau bahkan lebih
lama lagi telah menjadi tradisi yang mengurat akar di alam kesadaran
masyarakat kita.
Jadi tak perlu heran,
kesenangan menangkapi burung-burung, memeliharanya dalam sangkar alih-alih
membiarkannya terbang bebas di alam terbuka pun terus berkembang. Mulai
perkutut yang memang burung kelangenan kaum priyayi, hingga burung
oceh-ocehan alias burung berkicau yang disenangi semua golongan.
Pendek kata, budaya
menangkapi burung-burung alias ketidakmampuan untuk membangun harmoni dengan
alam adalah budaya yang telanjur lama kita terima sebagai sesuatu yang
baik-baik saja. Itu.
Lalu bagaimana kita akan
bercita-cita tentang kelestarian lingkungan, keseimbangan ekosistem, keasrian
alam, lalu mengajarkan itu semua di bahan ajar untuk anak-anak kita di
sekolah, jika kita tidak membongkar lebih dulu berbagai nilai yang sebenarnya
dengan jujur bisa kita sebut sebagai ketidakarifan lokal itu?
Ah, tapi ini memang cuma
perkara burung-burung. Obrolan yang sangat tidak penting. Beda dengan banjir
Jakarta, pilkada di mana-mana, juga ribut-ribut Trump vs Palestina…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar