Komunikasi
Politik Trump
Dadi Krismatono ; Pengamat Komunikasi; Direktur Opapaci
Strategic, Jakarta
|
KOMPAS,
21 Desember
2017
Bak petir di siang bolong,
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pemerintahannya mengakui
Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan disusul rencana pemindahan
kedutaan besar AS di negara itu.
Kontan pernyataan itu
menyulut reaksi di berbagai belahan dunia. Namun, jika kita telusuri lebih
dalam, pengakuan itu hanya soal waktu. Kebetulan Trump yang mengumumkan,
seolah menggenapkan sekian banyak kontroversi selama ini.
Mengapa hanya soal waktu?
Sejak 1995, Kongres AS telah meloloskan Jerusalem Embassy Act, sebuah
undang-undang untuk menginisiasi dan mendanai pemindahan Kedubes AS di Israel
dari Tel Aviv ke Jerusalem. Dalam UU tersebut, Kongres AS dengan jelas
menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibu kota negara Israel sejak 1960 dan
menjadi tempat kedudukan presiden, parlemen, mahkamah agung, dan lembaga-lembaga
penting lain.
Disebutkan juga, pada 1996
Israel merayakan 3.000 tahun kehadiran Yahudi di Jerusalem sejak kedatangan
Nabi Daud (tertulis: King David).
Presiden AS sebelum Trump—
Bill Clinton, George W Bush, dan Barrack Obama—memilih melakukan pengabaian
(waiver) setiap enam bulan sesuai dengan mekanisme. Trump sendiri
menandatangani pengabaian pada Juni tahun ini sebelum membuat pengumuman awal
Desember.
Tiga
hipotesis
Dalam perspektif
komunikasi politik, klaim Trump dibaca dalam tiga hipotesis. Pertama, Trump
sedang menguji siapa sekutu sejati AS saat ini. Inggris bersikap mendua.
Walaupun Perdana Menteri Inggris Theresa May adalah pemimpin pertama yang
mengunjungi Trump di Gedung Putih, balasannya tak setimpal ketika Trump
berkunjung ke London. Majelis Rendah (House of Commons) menolak Trump bicara
di majelis itu.
Sikap Jerman yang makin
berani kepada AS seiring menguatnya posisi Jerman di Eropa membuat Trump
gusar. Kanselir Angela Merkel tidak segan-segan mengkritik proteksionisme
Trump dan mengatakan sudah waktunya Barat tidak bergantung pada kepemimpinan
AS.
Konstelasi juga bergeser
karena Trump semakin dekat dengan Rusia. Bahkan, sejumlah pihak menduga Trump
menang pemilu dengan ”bantuan” Moskwa. Namun, kedekatan Trump dengan Vladimir
Putin masih menyisakan tanda tanya bagi perdamaian Timur Tengah. AS berbeda
posisi dengan Rusia dan sekutunya (terutama Iran) terhadap kepemimpinan
Presiden Bashar al Assad di Suriah. Serangan AS ke Suriah awal April memantik
kritik dan pembelaan yang keras dari kedua belah pihak.
Dengan pernyataan yang
kontroversial ini, Trump ingin melihat siapa teman sejatinya. Namun, kita
sudah melihat bahwa Inggris, Jerman, dan Perancis menolak klaim Trump, begitu
pun Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa. Di kawasan Arab; Lebanon,
Qatar, Mesir, dan Jordania menyampaikan keberatan yang sama, juga Turki dan
Iran.
Hipotesis kedua, Trump
sedang mengingatkan Israel dan dunia bahwa Paman Sam masihlah kekuatan
terbesar di dunia. Langkah ini mirip bermain bola biliar karena yang disodok
sebenarnya adalah menguatnya China dan makin mesranya Negeri Paman Mao itu
dengan Israel dan Palestina sekaligus.
China yang menjulang
sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru mulai berkomentar tentang kondisi
politik dunia, tak terkecuali Timur Tengah. Dalam isu Jerusalem, Beijing
tegas mendukung negara Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu
kota dan mendesak semua pihak menyikapi langkah Trump dengan hati-hati.
Kemesraan itu terlihat
dari data ekonomi. Ekspor Israel ke China terus meningkat hingga 3,3 miliar
dollar AS pada 2016, didominasi ekspor teknologi untuk pertanian. Tak
bertepuk sebelah tangan, investasi China di Israel juga menderas.
Pada tahun yang sama,
penanaman modal langsung (FDI) China di Israel mencapai 16,5 miliar dollar
AS, khususnya ke bisnis startup, keamanan siber, dan alat kesehatan (Thomson
Reuters). Negeri Panda itu juga berinvestasi dalam pembangunan transportasi
metro Tel Aviv dan pelabuhan supermodern Haifa di Laut Mediterania.
Simbol kemesraan itu akan
menguat jika rencana penawaran saham perdana (IPO) sebuah perusahaan
teknologi Israel di bursa saham China terealisasi dalam waktu dekat—bukan di
NYSE atau Nasdaq.
Pada saat yang sama, China
”bermain mata” dengan Palestina. Dalam pertemuan dengan Presiden Palestina
Mahmoud Abbas pada bulan Juli, Presiden China Xi Jinping tidak hanya
menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, tetapi juga menawarkan
dukungan finansial, termasuk pembangunan kawasan industri dan pembangkit
listrik tenaga surya.
Kemesraan ini sangat
mengusik Trump yang sudah sejak kampanye membuat pernyataan kasar terhadap
China.
Terakhir, langkah Trump
bisa dibaca sebagai manuver memperkuat posisinya di dalam negeri. Pengakuan
Jerusalem adalah janji kampanye Trump dan ia memenuhinya. Ini penting untuk
mengonsolidasikan kembali basis konstituen dan barisan Partai Republik.
Dengan langkah ini pula, Trump sedang mendiferensiasi dirinya dengan
pendahulunya, terutama Obama.
Trump berniat menggusur
warisan Obama, khususnya Obamacare, dan ini adalah langkah pertama bagi
serangkaian proses ”de-Obama-isasi”.
Tentu tidak ada faktor
tunggal dalam peristiwa politik. Selalu ada kepentingan dan perhitungan yang
berkelindan. Ketiga hipotesis di atas adalah bacaan situasi makro atas langkah
Trump.
Sikap
Indonesia
Pernyataan tegas Presiden
Joko Widodo terhadap langkah gegabah AS patut diapresiasi. Terutama karena
pernyataan itu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan antipenjajahan,
seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Indonesia harus memenuhi
salah satu janji konstitusinya, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar