Betapa
Nikmatnya Dianiaya
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal
sementara di Perth, akan segera pulang ke Bantul
|
DETIKNEWS,
19 Desember
2017
Sudah jelas Australia
adalah negara anti-Islam. Bagi pemerintah Australia, setiap muslim adalah
teroris, sampai ia berhasil membuktikan bahwa dirinya bukan teroris.
Aha, paragraf pembuka yang
cakep sekali, bukan? Anda pasti kecantol. Padahal itu bukan kalimat saya.
Pernyataan demikian muncul mendadak pada sebuah sore, saat seseorang mampir
di beranda Facebook saya yang hangat itu.
Mulanya saya kira orang
itu membaca Australia dari jarak pandang sepuluh ribu kilometer, lalu
mengimajinasikan seperti apa kehidupan di benua ini. Namun saya salah sangka.
Justru dia, sebut saja Bilal nama palsunya, menumpang di tanah ini jauh lebih
lama ketimbang saya. Bahkan posisi geografisnya lebih dekat ke sentrum
Negeri-Aborigin-yang-Akhirnya-Meng-Eropa ini.
Benar, Mas Bilal yang
ganteng itu tinggal di Sydney, kota yang langsung membuat orang ingat
Australia. Perth, tempat saya ngontrak selama empat tahun terakhir, jelas
kalah magnitude dalam soal itu.
Maka saya pun menyimak
cerita Bilal dengan takzim. Tentang bagaimana Australia begitu mencurigai
umat Islam, bahkan memosisikan setiap muslim sebagai teroris.
Malang buat saya, karena
tak ada kisah heboh dari lelaki itu sebagai bukti pandangannya. Satu-satunya
yang berhasil dia sajikan dengan cukup menarik adalah tautan berita, berupa
kesaksian seorang polisi federal Australia yang menyatakan persis sebagaimana
Bilal sampaikan: bahwa bagi pemerintah Australia setiap muslim adalah
teroris, sampai bukti-bukti ditemukan bahwa ia bukan teroris.
Selebihnya, saya
mengingat-ingat pengalaman saya sendiri. Barangkali saya kena amnesia atau
sejenisnya. Sebab tidak muncul ingatan buruk tentang perlakuan petugas atau
pegawai lembaga pemerintah yang menyikapi saya sebagai teroris, hanya karena
mereka tahu saya muslim.
Di bagian imigrasi
bandara, saya melewati batas teritorial dengan relatif lancar. Tidak ada
pertanyaan aneh-aneh. Padahal nama resmi saya yang terpampang di paspor ada
"Muhammad"-nya, fotonya berjenggot pula. Kenapa mereka tidak
memasukkan saya ke dalam ruang isolasi, lalu mencecar dengan 30 pertanyaan
ngeri, sembari menyabetkan sebilah cambuk ekor ikan pari ke punggung saya
sesekali? Kenapa?
Di Fremantle Hospital,
rumah sakit negeri tempat saya berobat, petugas pun tahu saya muslim. Sebab
pada tahap pendaftaran mereka memastikan apa agama saya, agar mereka bisa
menyediakan vitamin dan obat-obatan yang tidak melanggar keyakinan yang saya
anut.
Namun bagaimana bisa
mereka tetap tenang merawat saya, padahal setiap muslim dianggap teroris?
Di tempat-tempat umum
kerap kali saya juga bertemu dengan para petugas polisi. Jelas, mereka paling
berkepentingan kalau ada indikasi-indikasi terorisme. Herannya, mereka tidak
menangkap dan menginterogasi saya, padahal saya berjalan bersama istri saya
yang berjilbab, bahkan bareng ibu saya yang kadang gamisnya begitu syar'i.
Itu sungguh aneh. Bukankah
kata Bilal seorang muslim di Australia akan dianggap teroris dulu, hingga
kemudian terbukti bukan?
Boleh jadi Bilal akan
menganggap saya tidak kritis, terlalu lunak dalam bersikap kepada negara
Barat atau negara non-Barat yang kebarat-baratan, dan tidak tegas membela
sesama umat Islam.
Masalahnya, memang yang
saya alami jauh dari gambaran Bilal dan pengakuan oknum polisi Australia
dalam berita yang entah seberapa valid itu. Jadi saya harus bagaimana?
Haruskah saya percaya teori Bilal, sembari mencampakkan fakta yang saya
saksikan sendiri?
Saya mengetik tulisan ini
dengan ponsel sambil berhenti di tepi Hay Street. Di ujung timur jalan raya
ini, ada Princess Margaret Hospital, rumah sakit negeri. Pada beberapa pintu
lift di rumah sakit itu ditempel pengumuman lokasi "Salat Room"
alias musala. Pengumuman itu murni petunjuk arah, bukan semacam peringatan
keras bagi pengunjung RS agar tidak dekat-dekat dengan Salat Room (yang
sewajarnya penuh dengan granat dan RPG itu).
Di ujung barat Hay Street,
jauh di depan sana, ada King Eddward Hospital, rumah sakit negeri juga.
Musala di sana paling enak, dan biasanya saya Salat Duhur di situ. Ajaibnya,
tidak pernah saya berpapasan dengan satu pun petugas detasemen antiteror atau
jihandak di sekitar musala. Lho, katanya muslim dianggap teroris?
Belok ke selatan hingga
ujung dari King Eddward Hospital, ada kampus UWA, University of Western
Australia. Di kampus itu ada musala lengkap dengan toilet dan tempat-tempat
wudunya.
Dulu kala pernah terjadi
aksi seorang bigot membuang kepala babi di toilet musala UWA. Tapi membuang
kepala hewan saya rasa bukan sikap standar dalam menghadapi terorisme,
kecuali saya telat info dan belum mengerti bahwa kepala babi zaman now bisa
menjadi penjinak bom.
Dan, dengan atau tanpa
kepala babi di toiletnya, komunitas mahasiswa muslim di UWA tetap rutin
menggelar Salat Jumat. Saya pun selalu bergabung ke sana, karena UWA cukup
dekat dengan area kerja delivery saya.
Jadi universitas paling
tua dan berwibawa di Australia Barat mendukung terorisme?
Entah apa istilahnya dalam
psikologi. Disebut masokisme jelas kurang cocok, sebab dengan masokisme orang
menikmati rasa sakit itu sendiri.
Lah, ini tidak. Rasa sakit
itu sendiri tidak membawa kenikmatan secara langsung. Namun perasaan
terus-menerus dianiaya, ditekan, dan dizalimi membuat banyak orang mendapat
kesempatan untuk dengan garang menuding pihak lain sebagai para biadab.
Saya kira, dengan pola
demikianlah gejala-gejala yang terjadi pada orang-orang yang tak lelah
berimajinasi bahwa mereka terus dianiaya.
Dahsyatnya, disorder
seperti itu gampang sekali mewabah pada masa kini. Bahkan ketika penjelasan
yang komprehensif atas peta masalah disajikan, bukti-bukti konkret
disodorkan, kemudian yang merasa dizalimi tadi berubah sikap jadi penuh
optimisme, tak lama kemudian pada kasus lain bakalan muncul lagi rengekan
dengan pola perasaan teraniaya seperti sedia kala. Kenapa?
Saya kok jadi penasaran.
Adakah dalam sejarah umat manusia pernah muncul peradaban besar yang berangkat
dari suatu tradisi komunal, yang konsisten menanamkan perasaan dizalimi dan
dianiaya pada masyarakatnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar