Institusionalisasi
Politik Anak Muda
Ronny P Sasmita ; Pegiat Kajian Ekonomi
Politik
di Economic Action
Indonesia (EconAct)
|
DETIKNEWS,
11 Desember
2017
Politik anak muda
rata-rata adalah politik yang cenderung muncul tanpa institusi politik.
Aspirasi dan suara lebih banyak mengalir ke beranda-beranda media sosial,
dengan rule of the game yang terbilang cukup longgar. Solidaritas dan kohesi
sosial digital lebih menonjol dengan munculnya gerakan seperti petisi online
atau penggalakan hashtag untuk isu-isu tertentu.
Namun, dalam praktiknya
dunia sosial alam maya berkecenderungan untuk menipiskan keberanian dalam
menghadapi perbedaan. Misalnya saja, perbedaan pendapat sangat berpotensi
berakhir dengan cara pemutusan pertemanan, atau malah saling menjatuhkan.
Mengapa bisa? Karena saling tak bertatap muka. Yang satu entah di mana, yang
lainya pun demikian. Tapi, suara dan pendapat bisa mengalir di sungai yang sama,
yakni sungai alam maya.
Kondisi tersebut sejatinya
menjadi tantangan tersendiri bagi institusi-institusi demokrasi, pertama dan
utama adalah partai politik dan lembaga perwakilan rakyat. Sekalipun terdapat
beberapa lembaga demokrasi, semisal kepresidenan dan yudikatif, toh arah
aspirasi dan pendapat lebih banyak kepada kedua institusi yang pertama saya
sebutkan. Dan, terkadang kecenderungan semacam itu menjadi ladang tersendiri
untuk mendulang popularitas bagi dua institusi demokrasi yang kurang terkena
imbas tadi (kepresidenan dan yudikatif)
Pasalnya, pertama, pada
tataran makro partai menjadi ajang pembibitan dan penetasan para wakil
rakyat, yang punya wewenang mengawasi lembaga-lembaga lainnya. Sekalipun
representasi presiden saat ini langsung didapat dari rakyat via pemilihan
langsung, toh tidak berarti presiden bebas dari kontrol wakil rakyat. Kedua,
adanya perpaduan antara berkembangnya teknologi (yang melahirkan berbagai
macam inovasi, termasuk ponsel dan media sosial), dan lemahnya kinerja representasi
para wakil rakyat.
Perkembangan teknologi
yang secara terus-menerus semakin memersonalisasi berbagai aktivitas sosial,
mendekatkan suara-suara dan aspirasi-aspirasi satu dengan yang lain di dunia
yang lain pula (maya), tapi merenggangkan kohesi sosial di dunia nyata. Tak
ada tatap muka, tak ada adu tarik kuat suara, tak ada ekspresi serius dan
bercanda yang tergambar dari mimik wajah, dan lain-lain. Yang ada adalah
wajan pertemuan literal dan kata-kata berupa tulisan, kode, emoticon, meme,
dan sejenisnya.
Walhasil, sekalipun
kata-kata muncul dalam penampakan yang viral, apalagi melenceng dari
fakta-fakta yang ada, tingkat akuntabiltasnya menjadi rendah karena tidak
bisa secara langsung dimintakan pertanggungjawaban, terutama terkait
keilmiahan atau kesahihan sebuah pendapat atau aspirasi. Pendapat bisa terus
terviralisasi sebelum terverifikasi, sebelum dibenturkan. Dan, sekalipun
kemudian terbukti kurang sahih, proses viralisasinya tetap bisa terus
berjalan dan mempengaruhi banyak orang.
Teknologi memang membuat
berbagai aspirasi meloncat-loncat begitu saja, tapi kredibiltas dan
akuntabilitas sebuah pernyataan menjadi semakin menurun, dan cenderung
ahistoris. Orang per orang bisa melakukan searching apa saja dalam rangka
menemukan argumen-argumen untuk mendukung pendapatnya, tapi yang didapatkan
hanya berupa penjelasan yang tercerabut dari akarnya, bahkan cenderung tidak
utuh.
Akan sangat berbeda dengan
pendapat yang dibangun oleh sebuah argumentasi lengkap dari sebuah buku yang
lengkap tinjauannya misalnya, yang memiliki tinjauan teoritis, kerangka
berpikir yang jelas, sistematis, dan ada konteksnya. Kondisi semacam inilah
yang pada umumnya menjadi landasan pergerakan politik anak muda.
Lemahnya kohesi membuat
integritas generasi muda menjadi rapuh. Solidaritas dibangun di atas landasan
selebritas, tanpa ada ikatan kuat yang historical antara satu dan lainnya.
Sehingga integritas yang dibangun di atas landasan selebritas tersebut tentu
belum teruji secara nyata di dunia yang nyata pula.
Sebut saja misalnya soal
korupsi. Memang, generasi muda dikabarkan lebih bersih dari isu korupsi.
Tapi, kebersihan semacam itu dibangun di atas narasi yang nonpolitis alias
karena anak muda lebih banyak berada di luar sistem yang koruptif. Kita lebih
banyak mendengar berita terkait generasi lama yang tersangkut korupsi
lantaran mereka memang memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Mereka
memegang wewenang, atau berkolaborasi dengan pemegang wewenang suatu bidang
yang menjadi koleganya, untuk terjadinya korupsi.
Sementara itu, mengatakan
bahwa generasi muda sangat kecil potensinya untuk melakukan korupsi cenderung
sangat mudah karena kapasitas untuk melakukan itu juga terbilang tidak ada,
alias tidak menduduki posisi yang memiliki wewenang tertentu untuk korupsi.
Akan berbeda kasus jika terbukti generasi muda sudah berada di dalam sistem,
bertampuk di salah satu posisi strategis, lantas membuktikan diri bahwa
korupsi tidak mengenai dirinya, kemudian menjadi panutan di dalam institusi
tersebut, dan akhirnya mengubah secara keseluruhan kultur wewenang yang ada
di dalamnya. Jadi dapat dipahami, mengapa generasi muda lebih cenderung
bersih ketimbang generasi sebelumnya.
Di DPR misalnya, ada
beberapa anak muda, bahkan sangat muda saat terangkat menjadi anggota dewan,
yang sampai hari ini tak terdengar sepak terjangnya. Apa inisiasi politik
yang sudah mereka lakukan untuk membuktikan bahwa generasi muda di parlemen
adalah generasi yang berbeda secara politik dengan pendahulunya? Saya secara
pribadi sama sekali belum menyaksikan itu. Inisiasi-inisiasi generasi muda
agar terbebas dari penyakit-penyakit kekuasaan bisa berlangsung karena memang
mereka bermain di ranah yang berbeda yang ternyata cukup berjarak dengan
kekuasaan.
Kemudian, ada pula
satu-dua partai yang muncul untuk merepresentasikan kepentingan dan suara
politik anak muda. Sebut saja misalnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Boleh jadi, suara-suara pembaruan merekah kuat dalam sikap partai, tapi saya
cukup menyayangkan, karena PSI bermain di isu yang sama sekali tak baru. Isu
milenial, antikorupsi, demokratisasi, peran media sosial, dan isu politik
terkait generasi muda.
Lantas pertanyaanya, di
mana letak perbedaanya? Jika PSI berbicara antikorupsi, hampir semua partai
pun berbicara hal yang sama. Saya kira semua orang mahfum bahwa PSI memang
belum masuk ke sistem dan belum ikut bertanding. Waktu akan membuktikan
kebenaran yang mereka suarakan setelah PSI berlaga di dalam sistem, menduduki
pos-pos kekuasaan, dan sejenisnya. Tapi di ranah yang sama sekali menjadi
domain anak muda, katakan saja soal inovasi, kebijakan-kebijakan terkait
inovasi, soal start up, dan ekonomi kreatif-alternatif saya justru melihat
PSI sering absen.
Bukankah ranah ini adalah
pembeda yang sangat menonjol dari generasi muda? Jadi di mata saya, apa yang
dilakukan PSI adalah memindahkan isu-isu lama ke dalam cara kerja anak muda,
seperti bermain di ranah media sosial, bermain kartu politik selebritas agar
hype di media media, dan isu-isu lama lainya yang diviralkan melalui media sosial.
Lalu apa yang baru? Jika dipatut-patut, yang baru adalah pelakunya karena
masih muda. Tapi siapa yang bisa diyakinkan bahwa pelaku baru tidak
ditunggangi pelaku lama? Tak ada juga yang bisa memberikan jaminan soal itu.
Pendeknya, generasi muda,
milenial dan setelahnya, perlu memetakan ranah gerakannya, mengalkulasi
langkah-langkahnya, dan membumikannya melalui cara-cara yang memang sesuai
dengan kegenerasian anak muda. Ikut terlibat dengan institusi politik yang
ada, lalu ikut mewarnainya, bahkan menyegarkan dengan ide-ide baru,
memperbarui yang sudah usang, mengadakan yang belum ada, menambah arah baru
yang terlewatkan oleh generasi sebelumnya, dan terakhir memperbaharui
berbagai hal di dalamnya, adalah cara-cara yang juga tak kalah baiknya.
Itu semua adalah bagian
penting dari institusionalisasi politik anak muda, karena secara nyata akan
membuktikan iman-iman keanakmudaan anak muda. Benarkah anak muda antikorupsi,
benarkan anak muda punya gaya dan ide baru, benarkah anak muda punya
solusi-solusi baru, semuanya akan bisa dijawab dengan cara tersebut. Jadi
sebagai anak muda, mulailah pergerakan saling mendukung untuk saling
membuktikan diri, dan membuktikan 'kicauan' masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar