Berhenti
Menyalahkan Putusan MK
Abdul Ghoffar ; Peneliti Mahkamah
Konstitusi
|
DETIKNEWS,
20 Desember
2017
Persoalan zina dan LGBT
menutup akhir tahun 2017 ini. Melalui putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah
Konstitusi (MK) menjadi bulan-bulanan di media sosial. "Serangan"
tidak sebatas pada institusi, tapi juga pada diri individu para hakimnya.
Mereka dinilai pro terhadap perzinaan dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan
transgender). Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?
Pemohon dalam putusan
tersebut ingin agar MK melakukan kebijakan pidana (criminal policy) dalam
pengertian merumuskan perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan
yang dapat dipidana, menjadi pidana. Setidaknya ada tiga hal yang diminta.
Pertama, zina, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP, akan mencakup seluruh
perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat
dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.
Kedua, pemerkosaan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP, akan menjadi mencakup semua
kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh
laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap
laki-laki.
Ketiga, perbuatan cabul,
sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP, akan menjadi mencakup setiap
perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama,
bukan hanya terhadap anak di bawah umur.
Dalam putusannya, MK
secara tegas menyatakan bahwa (lihat halaman 452-453) seluruh pertimbangan
yang telah disampaikan dalam putusan tersebut, bukan berarti MK menolak
gagasan "pembaruan" para pemohon sebagaimana tercermin dalam
dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti MK berpendapat bahwa norma
hukum pidana yang ada dalam KUHP, khususnya yang dimohonkan pengujian oleh
pemohon, sudah lengkap.
Menurut MK, perihal perlu
atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk
UU melalui kebijakan pidana yang merupakan bagian dari politik hukum pidana.
Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan oleh pemohon seharusnya
menjadi masukan penting bagi pembentuk UU dalam proses penyelesaian perumusan
KUHP yang baru.
Inilah poin penting yang
harus menjadi mula dari diskusi ini. Bahwa MK tidak mau masuk pada wilayah
pembuat UU. Bahwa membuat aturan hukum yang sifatnya memidakan adalah
ranahnya pembentuk UU. Ini adalah soal pilihan. MK sudah berkomitmen hal
demikian adalah ranahnya lembaga pembentuk UU.
Putusan tersebut sejatinya
konsisten dengan beberapa putusan sebelumnya. Seperti, misalnya, putusan
Nomor 132/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Pasal 296 dan Pasal 506 KHUP, yang
mana MK berpendapat bahwa merumuskan tindak pidana baru yaitu yang semula
perbuatan itu bukan perbuatan pidana sehingga tidak dapat dipidana menjadi
perbuatan pidana yang sanksi/ancaman pidananya berupa perampasan kemerdekaan
orang harus mendapat persetujuan rakyat, yang dalam hal ini direpresentasikan
oleh pembentuk UU (DPR dan Presiden), adalah kewenangan pembentuk UU.
Berbeda halnya jika
meniadakan suatu pidana. Dalam beberapa kali kesempatan, MK meniadakan unsur
pidana dalam UU. Misalnya, dalam putusan 95/PUU-XII/2014 yang mana MK
meniadakan unsur pidana terhadap orang-orang yang sudah turun temurun hidup
di sekitar kawasan hutan untuk mengambil kayu dan menggembalakan ternaknya.
Mereka tidak boleh dipidana. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 50 ayat 3 huruf e
UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
mereka bisa dikenakan sanksi pidana.
Kompleksitas
Zina
Sekarang kita
berandai-andai. Misalnya, makna zina tersebut dimaknai seperti yang
dimintakan oleh pemohon, lalu apakah persoalan akan selesai di situ? Menurut
saya tidak. Justru hal demikian akan berpotensi mengkriminalisasi banyak
pasangan yang perkawinannya belum dianggap sah oleh negara. Sebagai contoh,
terhadap para pasangan dari kelompok penghayat kepercayaan yang sampai saat
ini masih banyak perkawinannya yang belum diakui sebagai perkawinan yang sah.
Begitu juga dalam hal
perkawinan siri, atau poligami, yang belum dicatatkan secara resmi. Menurut
agama dan keyakinannya, pernikahan ini sah di hadapan Tuhan. Tapi, karena
tidak atau belum dicatatkan, pasangan ini melanggar UU Pernikahan dan KUHP
setelah Putusan MK (misalnya putusannya tersebut mengabulkan). Di mata
negara, pasangan ini telah melakukan perzinahan dan harus dilakukan
pemidanaan.
Kasus pernikahan yang
belum dicatatkan seperti ini jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan hasil
penelitian sebuah konsorsium yang terdiri dari peneliti-peneliti sosial di
Kemitraan Australia-Indonesia untuk Keadilan, Puskapa UI, PEKKA, dan Lembaga
Penelitian Semeru bekerja sama dengan Bappenas, Mahkamah Agung, Kementerian
Dalam Negeri, dan Kementerian Agama yang diterbitkan pada 2014 diketahui
bahwa ada sekitar 2 juta pasangan yang berada dalam perkawinan tanpa memiliki
akta nikah atau buku nikah. Mayoritas mereka dari keluarga miskin.
Hal lain lagi yang harus
dipertimbangkan adalah adanya potensi kriminalisasi terhadap korban perkosaan
atau pencabulan. Dalam hal, misalnya, pengakuan pelaku yang menyatakan bahwa
tindakan tersebut dilakukan suka sama suka, yang pelakunya masih usia
sekolah. Apakah kita akan mengantar mereka semua ke penjara? Padahal mereka
masih butuh untuk melanjutkan sekolahnya. Siapkah kita menghadapi hal-hal
seperti ini? Seberapa banyak bangunan penjara yang harus disiapkan?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut membuktikan bahwa persoalan ini tidak sepele. Ini adalah persoalan
rumit yang harus diselesaikan oleh pembentuk UU. Sebab perlu dilakukan penyelarasan
atas berbagai peraturan yang terkait dengan hal tersebut. Itu tentunya akan
sangat sulit jika dilakukan oleh lembaga peradilan seperti MK. Mengapa?
Sebab, lembaga peradilan bersifat pasif. Ia tidak dibenarkan mencari-cari
perkara, atau menyuruh-nyuruh orang untuk berperkara.
Oleh karenanya, sudah
seharusnya kita menyudahi menyalahkan putusan MK. Tidak ada yang salah dengan
putusan itu. Bahkan sebagaimana press release yang disampaikan oleh MK
beberapa waktu yang lalu, seluruh Hakim Konstitusi mempunyai concern yang
sama terhadap fenomena yang dipaparkan pemohon. Hanya saja lima orang Hakim
Konstitusi berpendapat bahwa substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut
perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar baik
subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan
hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya, sehingga hal itu
sesungguhnya telah memasuki wilayah "criminal policy" yang
kewenangannya ada pada pembentuk UU (DPR dan Presiden).
Lebih lanjut dikatakan
bahwa MK juga concern terhadap fenomena sosial yang dikemukakan oleh pemohon
dalam putusan itu. MK juga sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu
dibawa ke pembentuk UU untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang
delik kesusilaan tersebut. Dan, yang tidak kalah penting dari itu semua,
tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan MK yang menyebut
istilah LGBT, apalagi dikatakan melegalkannya. MK lagi-lagi hanya menyatakan
sebaiknya persoalan tersebut dibawa ke pembentuk UU. Bukan melalui ketok palu
hakim.
So, untuk kalian yang
masih suka menyalahkan, suka mencaci maki, sudahilah! Ini bulan Desember,
mari kita tutup tahun ini dengan penuh keceriaan, penuh suka cita menatap
tahun depan dengan penuh harapan dan semangat. Bukankah setiap agama juga
mengajarkan kepada kita untuk saling menyayangi? Salam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar