Kenapa
Muhammad
Mengajari
Kalian Berperang, Mas?
Iqbal Aji Daryono ; Esais
|
DETIKNEWS,
05 Desember
2017
Maulid Nabi baru saja
berlalu. Namun yang baru saja berlalu bukan cuma Maulid, melainkan juga
peristiwa pembantaian di Mesir, tragedi dengan korban umat Islam, dengan
pelaku yang juga diduga kuat sesama penganut Islam.
Suka tidak suka, realitas
seperti ini terus melekatkan citra kekerasan pada Islam. Hingga pertanyaan
seorang kawan terus terngiang di telinga, "Kenapa nabimu mengajarimu
membunuh? Kenapa?"
Pertanyaan demikian wajar
adanya, dan nyaris selalu muncul dalam setiap interaksi antara muslim dan
orang-orang yang tidak terlalu kenal Islam. Dalam khazanah teks suci Islam,
toh kata-kata 'perang' dan 'membunuh' memang tidak sedikit.
Secara umum, para ulama
dan guru ngaji menjawabnya dengan penjelasan agama. Dari sebab-sebab turunnya
ayat, penafsiran dengan ayat-ayat lain, hingga membandingkan dengan
riwayat-riwayat yang menunjukkan ajaran kasih sayang dan kelembutan ala
Muhammad.
Sayangnya,
penjelasan-penjelasan semacam itu acap kali sulit menancap secara permanen
dalam pemahaman publik awam. Sebab cara baca kita jadi sangat parsial, harus
kasus per kasus, dari konteks turunnya ayat tertentu yang tidak sama dengan
ayat yang lain.
***
Tentu saya tidak menolak
penjelasan-penjelasan ala ulama. Namun kenapa belum diangkat sentuhan
perspektif lain yang dapat ditangkap dengan lebih gampang, sekaligus lebih
mencakup penjelasan umum atas kasus-kasus ajaran Islam yang memunculkan
diksi-diksi kekerasan?
Dalam hal ini, saya rasa
pisau "ilmu sekuler" sangat bisa dirangkul. Yakni dengan
pengetahuan selintas atas sosiologi masyarakat zaman Muhammad berikut
bahasa-bahasa mereka, sekaligus pemahaman atas konstruksi sosial yang berlaku
pada zaman dan pada masyarakat tersebut.
Begini maksud saya.
Penjelasan atas topik "Islam dan Kekerasan" mesti berangkat dari
pemahaman bahwa Muhammad hidup pada satu masa ketika Mekah dan sekitarnya
adalah tanah gung liwang liwung, kalau istilah Jawanya. Negeri tak bertuan.
Dua kekaisaran besar memang mengapitnya, yaitu Romawi Byzantium dan Persia
Sasanid. Tapi Mekah sendiri tidak berada dalam wilayah hukum dan politik
kedua kekaisaran itu.
Jadi kondisinya, tidak ada
sistem hukum apa pun yang berjalan di Mekah waktu itu. Masyarakatnya
berkarakter tribalistik, terbagi dalam klan-klan keluarga. Keseimbangan dan
keteraturan dijaga lewat satu cara: vendetta, balas dendam. Jika orang dari
Bani Anu menyakiti anggota Bani Itu, misalnya, maka keluarga dari Bani Itu
akan menuntut balas.
Walhasil, orang akan
berpikir seribu kali kalau mau macam-macam. Risikonya besar, sebab perang
antarklan bisa terjadi. Saling bunuh sebagai mekanisme berjalannya keadilan
pun merupakan hal yang wajar dan semestinya.
Jadi jangan membayangkan
bahwa sebuah tindakan kriminal di Mekah pada tahun 570 Masehi akan berakibat
terjunnya aparat negara, digelarnya pengadilan, jatuhnya hukuman formal, dan
penegakan hukum. Tak ada aspek-aspek itu dalam masyarakat Arab pada zaman
Muhammad khususnya pra-Islam.
Dalam sebuah masyarakat
yang lekat dengan perang sebagai sarana penegak keadilan, tentu konsep
keperkasaan sangat determinan. Dari situ tampak bahwa nilai-nilai yang hidup
pada zaman tersebut ya sekitar-sekitar itu: kekuatan, keperkasaan, nama
besar, dominasi. Martabat sebuah klan dibangun dengan kekuatan fisik,
sehingga salah satu "bahasa" paling efektif yang berlaku adalah bahasa
kekerasan.
Nah, pada masyarakat
dengan karakter seperti itulah Muhammad diutus.
Situasi sosio-historis
seperti itu berbeda dengan para penyeru lain, yang hidup di negeri-negeri
yang mapan dan teratur. Siddharta Gautama, misalnya, hidup di Republik
Shakya, pada masa Raja Suddhodana alias ayahanda Siddharta sendiri. Yesus
Kristus hidup di wilayah yurisdiksi Kekaisaran Romawi pada masa Kaisar
Augustus. Konfusius lahir di Tiongkok pada masa Dinasti Zhou.
Adapun Muhammad menyeru
kepada sebuah masyarakat tribal yang menggunakan bahasa kekerasan sebagai
bahasa sehari-hari. Sementara, seorang penyeru tak akan digubris ketika ia
berbicara dengan bahasa asing, begitu logika simpelnya. Maka Muhammad pun
menempatkan instrumen kekerasan sebagai salah satu alat penting untuk
berkomunikasi dengan masyarakat yang dimentorinya. Kenapa? Karena, sekali
lagi, memang bahasa itulah yang dipahami oleh masyarakat Arab pada masa itu.
Lantas apakah artinya
Muhammad kejam, karena mengakomodasi bahasa kekerasan? Tunggu dulu.
***
Kejam dan tidak kejam
adalah kesan, dan kesan adalah perkara konstruksi sosial. Ia tidak berlaku
universal, sangat terkait kesepakatan di tiap masyarakat, sangat terkait pula
dengan pandangan dunia pada tiap zaman.
Saya ambil contoh yang
gampang-gampangan saja untuk memahami sisi ini. Begini. Ada beberapa kelompok
masyarakat di negeri kita yang mengonsumsi daging anjing. Melihat itu, banyak
orang akan berteriak "Animal cruelty! Ayo lawan dengan petisi!" Ingat
kasus protes masyarakat atas festival masakan daging anjing di Cina waktu
itu. Ingat juga petisi yang mengkritik supermarket di Manado yang menjual
potongan bagian tubuh anjing dalam kemasan.
Namun sejatinya, para
pemrotes itu lupa bahwa tradisi makan daging anjing sudah menjadi kebiasaan
kelompok-kelompok masyarakat tersebut selama ratusan tahun. Bahkan Jumat lalu
seorang kawan asli Medan bercerita, sewaktu kecil kalau dia sakit ibunya akan
menyuapinya dengan sup daging anjing.
Artinya, dalam kesepakatan
sosial masyarakat-masyakarat tersebut, menyantap daging anjing sama sekali
bukan tindakan kekejaman.
Ini tak bedanya dengan
para pemrotes tadi. Mereka menolak konsumsi daging anjing, padahal lahap
menyantap ayam dan sapi. Tidak sadarkah mereka bahwa di mata
kelompok-kelompok spiritual penganut vegetarian, atau di mata orang-orang
beragama Sikh yang total vegan, misalnya, memakan daging sapi pun bentuk
kekejaman tak terperi?
Dari situ maknanya jelas,
yaitu konsep kejam dan tak kejam adalah perkara relatif, tergantung
konstruksi sosial dari sebuah masyarakat.
Kita bisa menariknya lagi
ke kekejaman manusia atas manusia. Ambil contoh, hukuman-hukuman fisik yang
dijalankan manusia-manusia Abad Pertengahan di Eropa. Kita tidak bisa
semena-mena mengatakan bahwa hukuman bakar sampai mati di api unggun atas
Joan of Arc pada 1431 di Prancis merupakan kekejaman yang berlawanan mutlak
dengan konsep kekejaman versi kita di zaman ini. Kita pun tak bisa menyebut
bahwa seorang Raja Mataram melanggar HAM, karena ia menghukum punggawanya
yang gagal menjalankan tugas dengan cara melemparkannya ke kandang buaya.
Maka kembali lagi, konsep
kejam di masyarakat tribal Arab yang tidak mengenal jurisprudensi, pada 1500
tahun lalu (sekali lagi: seribu lima ratus tahun lalu), tak dapat kita nilai
dengan kacamata ala HAM pada masa ketika konstruksi sosial atas nilai-nilai
kemanusiaan sudah semakin seragam di abad XXI, masa ketika dunia mengkeret
menjadi kampung global gara-gara internet dan media.
***
Ajaran-ajaran Islam yang
kadangkala dekat dengan kekerasan harus dilihat sebagai "bahasa",
instrumen untuk menyampaikan substansi-substansi ajaran, yang sangat terkait
dengan semangat zaman pada 1,5 milenium silam. Itulah poinnya. Posisi bahasa
adalah semata alat, bukan esensi dan spirit ajaran.
Bahasa akan terus berubah
mengikuti zaman, mengikuti konstruksi-konstruksi yang dibentuk pada setiap
era dan setiap peradaban. Sementara esensi, substansi, dan spirit ajaran
Muhammad akan tetap abadi dan universal.
Di zaman kita sekarang
ini, marwah, martabat, kehormatan, tidak dibangun dari keperkasaan yang
berbasis kekuatan fisik. Manusia dan peradaban terus tumbuh, membentuk
bahasa-bahasa kebudayaan yang baru. Masa 1,5 milenium itu panjang, amat
panjang, dan cara berpikir serta pandangan dunia masyarakat di zaman ini
sudah jauh berbeda.
Maka mereka yang masih
gemar menggunakan kekerasan sebagai jalan meraih kualitas keislaman adalah
fosil-fosil purba yang enggan beranjak dari puing-puing sejarah. Mereka sibuk
merayakan alat, sembari gagal menangkap esensi ajaran-ajaran Muhammad. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar