Islam
di Mata Orang Asing
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
01 Desember
2017
Ayat-ayat An-Naba'
terlantun di koridor-koridor Masjid Istiqlal ketika Prof. Yuki Megumi-San
bertanya kepada saya sambil menunjuk potret di ponselnya, "Kalis, apakah
mereka menganut Islam yang berbeda?"
Prof. Yuki baru saja
meminta berfoto bersama dua perempuan remaja dengan gaya kerudung berbeda.
Seorang bercadar, seorang dengan kain kerudung menutup dada.
"Islamnya sama.
Tetapi pemahaman mereka tentang Islam yang berbeda. Dan yang paling penting,
dua-duanya sama-sama sedang mendefinisikan diri dan kesopanan lewat pakaian.
Seorang merasa telah cukup sopan dengan bentuk tertentu, tapi seorang lainnya
merasa belum cukup sopan. Perbedaan yang wajar."
"Apakah seorang yang
bercadar kelak menikah lewat perjodohan?"
"Mungkin beberapa,
tapi tidak semua. Tetapi sebagian besar mereka memang menikah setelah sekali
atau dua kali saling mengadakan pertemuan dengan keluarga."
Prof Yuki bertanya cukup
banyak yang lalu memaksa saya menerangkan bahwa Islam punya perangkat fikih
yang lengkap dalam mengatur tanggung jawab pernikahan bahkan perceraian.
Satu pekan ini, saya
sedang menemani kawan-kawan dari Jepang, India, Filipina, Thailand, dan Peru
dalam program EYES For Embracing Diversity yang diadakan oleh Japan
Foundation. Mereka semua non-muslim, dan berkunjung ke Indonesia untuk
berkenalan dengan Islam. Satu elemen yang memudahkan saya untuk menjadi
semacam host dalam program ini adalah sosok Gus Dur. Ketika kami berdiskusi
tentang sejarah Indonesia dan Islam yang khas, sosoknya sangat lengkap untuk
merepresentasikan bagaimana konteks agama dengan nilai tradisional, kesalehan
sosial, pergerakan politik, seni, negara, hingga dunia modern.
Tapi, pertanyaan di luar
forum diskusi lebih menjebak, hingga memerlukan segenap kehati-hatian untuk
menjawab. Seperti ketika Subhi Dupar, seorang kawan India bertanya tentang
pajangan surat Al Fatihah di salah satu lorong masjid terbesar di Asia yang
merupakan simbol kemerdekaan Indonesia itu. Ternyata, menjelaskan mengapa Al
Fatihah ditempatkan sebagai surat pembuka kitab suci agama yang saya yakini
tak cukup mudah.
Hari itu masjid ramai.
Sebagian merupakan jamaah salawat Majelis Rasulullah pimpinan Habib Munzir al
Musawa yang datang untuk perayaan Maulid. Sebagian lagi, saya dengar adalah
peserta aksi 212 tahun lalu yang akan mengadakan reuni esok hari.
Subhi adalah periset yang
cerdas. Dua malam sebelumnya, ketika kami menginap di Pondok Pesantren
Miftahul Ulum, Gandaria, Jakarta Selatan ia bertanya, mengapa santri
mengenakan warna peci berbeda. Sebagian hitam, sebagian putih, ada pula yang
memiliki motif. Malam itu para santri sedang mengerjakan ujian shorof. Ini
mirip dengan pertanyaan dari Au, kawan Thailand, mengapa ada jilbab bermotif
bunga-bunga, sebab di Thailand ia hanya melihat teman muslim mengenakan
jilbab berwarna putih.
Orang asing di luar Islam
ternyata memahami Islam pertama kali dari simbol. Saya pikir hal yang sama
terjadi kepada saya ketika mengamati berbagai patung dewa di Ubud. Beruntung,
Kinky, seorang Hindu India baru saja menerangkan pada saya perbedaan antara
Hindu dan Buddha.
Saya sekamar dengan Katia
Jirata, seorang Katolik Jepang. Sebuah pagi ketika saya baru saja selesai
Salat Subuh, ia bertanya cukup banyak soal ibadah wajib umat muslim. Saya
terbata menjelaskan salat wajib lima waktu, salat sunah, wudu, juga
keringanan untuk tak salat ketika seorang perempuan sedang haid.
"Kupikir kewajiban
seorang muslim cukup berat, Kalis," Katia menyimpulkan.
"Ya. Tapi tak semua
muslim taat."
Katia tertawa. Ia mengaku
bahwa sudah bertahun-tahun ia jarang ke Gereja. Di Gunma, daerah tempatnya
tinggal jarang terdapat gereja karena sebagian masyarakatnya adalah pemeluk
Buddha dan beragam kepercayaan lainnya.
Ketika Nami-San, seorang
Jepang lainnya bertanya sejak usia berapa tepatnya saya mulai salat, saya pun
mengingat sebuah perjalanan beragama yang cukup panjang. Saya bilang pada
Nami, sepertinya saya mulai salat sejak usia tiga tahun layaknya anak kecil
yang menirukan gerakan salat orang-orang di sekitarnya. Anak kecil belum bisa
mengingat bacaan salat. Lebih-lebih, anak kecil pasti tidak memahami makna
gerakan salat atau bahkan hakikat mengapa kita harus beribadah, yang salah
satunya berbentuk ritual salat.
Berbagai pertanyaan
sederhana kawan-kawan baru saya itu mau tak mau menerbangkan kerinduan saya
kepada Rasulullah SAW yang diperingati hari kelahirannya hari ini. Sejarah
mencatatnya sebagai sosok yang mengubah masyarakat jahiliyah Arab kepada
peradaban yang beradab. Menurut banyak tafsir cendekiawan muslim, jahiliyah
itu bukanlah kondisi seorang yang buta huruf. Jahiliyah masa Rasul
didefinisikan sebagai kondisi masyarakat yang tidak memiliki penghormatan
terhadap hak orang lain, perempuan, dan anak-anak.
Tentu banyak sekali yang
telah diubah oleh Muhammad. Jika Walisongo digambarkan sebagai pribadi yang
cerdas dalam taktik dan mampu mengakulturasikan berbagai budaya hingga Islam
hidup di bumi Nusantara dengan damai, tentu Muhammad berlipat kali lebih ahli
taktik dan ahli akulturasi. Jika tidak, bagaimana mungkin Islam progresif
dalam perjalanannya kini didefinisikan sebagai keadilan, kesetaraan, dan
kemajuan berpikir --unsur-unsur penting yang dapat menjadi penopang
masyarakat di belahan bumi mana pun hingga aktual untuk gelar rahmatan lil
alamiin?
Jarak manusia hari ini
dengan Rasul terlampau jauh, sekira 15 abad. Tetapi saya yakin dan selayaknya
memang wajib meyakini bahwa ia adalah seorang utusan yang baik. Banyak
riwayat menyebut bahwa ia adalah seorang penyampai kabar (risalah Islam) yang
sangat cakap dalam mempergauli orang lain.
Muhammad adalah pribadi
yang cerdas, pandai berkomunikasi, jago berdiplomasi, memiliki wajah yang
selalu dihiasi senyum, menghormati orang yang lebih dewasa di sekitarnya,
menyayangi anak-anak, dan menempatkan perempuan dalam posisi yang setara
dengan laki-laki untuk mendapatkan haknya.
Kehidupan jahiliyah Arab
ketika itu terdiri dari banyak kabilah yang masing-masing mengunggulkan
identitasnya. Penguasa memperbudak banyak sahaya dan menjadikan perempuan
layaknya barang pajangan. Tapi, Muhammad yang mulia mengenalkan sebuah
tatanan egaliter.
Mencari wajah Islam, saya pikir
sesederhana mencari penerus Muhammad. Terkadang saya membayangkan wajahnya
lewat tradisi keturunan Muhammad yang di Indonesia hari ini dikenal sebagai
sayyid. Ketika tak cukup, saya pun mencarinya pada sosok ulama yang teduh dan
karena wibawanya membuat banyak orang menaruh hormat yang sangat.
Tetapi, satu pekan ini,
selain pertanyaan yang cukup sederhana namun punya daya impresi tinggi buat
orang asing itu, ada pula pertanyaan yang cukup memusingkan. Brian Tenorio,
seorang gay dan pemeluk Katolik dari LGBT Chamber Filipina bertanya bagaimana
pandangan Islam tentang hak LGBT. Atau, ketika Prof Yuki bertanya
komprehensif mengenai kurikulum pendidikan agama di Indonesia. Atau, ketika
Thatwachai bertanya mengapa kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren
harus kitab asli berbahasa Arab. Dan, ketika Au bertanya soal apakah fenomena
buruh migran perempuan Indonesia yang terepresi oleh tradisi patriarki ada
hubungannya dengan agama (Islam) yang mereka peluk.
Saya tak boleh berhenti
belajar. Kehidupan antarmanusia sebagai warga dunia dipersatukan lewat ilmu
pengetahuan. Perbedaan membutuhkan jembatan, dan jembatan itu sama sekali
bukan dalam bentuk peperangan.
Ya Nabi Salam Alayka!
Selamat merayakan kelahiran Nabi yang mulia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar