Bertahan
di Tahun yang Penuh Tantangan
A Handoko ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
19 Desember
2017
Pemulihan ekonomi
Indonesia pada 2017 ternyata tak secepat yang diperkirakan sehingga pertumbuhan
ekonomi kemungkinan juga tak sesuai target di kisaran 5,2-5,4 persen. Banyak
ekonom bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 sekitar 5,1
persen.
Hal ini berdampak ke
banyak sektor, di antaranya sektor jasa keuangan perbankan. Sejak era
kejayaan komoditas berlalu dan pertumbuhan ekonomi mengalami tren pelambatan,
bank memang memilih bersikap hati-hati. Penurunan kinerja korporasi-korporasi
yang bergerak di sektor komoditas berdampak pada meningkatnya kredit
bermasalah (NPL) sepanjang 2014-2016 walaupun masih di bawah 5 persen.
Perubahan strategi bisnis
bank dilakukan agar kenaikan NPL tidak terlalu mengganggu kinerja bank. Dari
sekian banyak strategi yang dipilih oleh bank, sebagian bank memilih untuk
mengoptimalkan pendapatan nonbunga dan menjaga margin bunga bersih sekaligus.
Pendapatan nonbunga
diperoleh dari berbagai bisnis bank dan pengenaan biaya transaksi menggunakan
sejumlah kanal. Walaupun pertumbuhan ekonomi belum optimal dan pertumbuhan
kredit bank juga masih lambat sepanjang 2017, sebagian besar bank umum
kegiatan usaha (BUKU) III dan IV berhasil menumbuhkan laba secara signifikan.
BUKU III adalah bank dengan modal inti Rp 5 triliun-Rp 30 triliun, sedangkan
BUKU IV adalah bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun.
Pertumbuhan labanya jauh
di atas pertumbuhan kredit industri perbankan yang hanya ada di level 8
persen.
Pertumbuhan ekonomi yang
belum optimal juga menyebabkan likuiditas perekonomian meningkat, termasuk
yang ditempatkan di bank. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat kelas
menengah menahan belanja atau menambah tabungan.
Dengan likuiditas yang
melimpah, biaya dana perbankan ikut turun, antara lain terasa pada Anda yang
menempatkan dana di deposito. Sekarang, bunga deposito kira-kira ada di
kisaran 5 persen, lebih rendah dibandingkan dengan bertahun-tahun lalu yang
bisa mencapai 8 persen.
Namun, dengan kondisi
perekonomian yang belum terlalu bergairah, bank rupanya masih melihat ada
risiko yang dihadapi oleh pelaku usaha. Profil risiko itu kemudian menyebabkan
premi risiko yang masuk dalam suku bunga dasar kredit masih relatif tinggi.
Akibatnya, penurunan bunga kredit industri perbankan relatif lambat. Hal
inilah yang ikut berkontribusi menjaga profitabilitas bank sepanjang tahun
2017.
Sebagai strategi bisnis,
hal ini masih memungkinkan dilakukan dalam jangka pendek ini. Namun, sebagai
lembaga keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi dana, strategi memupuk
laba di tengah kelesuan ekonomi tampaknya tak cukup bagus dalam jangka
menengah dan panjang.
Apalagi, strategi ini
menyebabkan kontribusi sektor jasa keuangan dalam menggerakkan sektor riil
menjadi tak optimal. Penyaluran kredit yang masih terbatas mencerminkan dua
hal sekaligus, yakni bank yang berhati-hati dan permintaan yang masih lemah.
Harus diakui bahwa
Indonesia masih sangat bergantung pada komoditas. Jadi, ketika harga
komoditas jatuh, pemulihan ekonomi berjalan lambat. Ketika perekonomian
Indonesia tumbuh di atas 6 persen karena kontribusi harga komoditas yang
tinggi, penyaluran kredit dari industri perbankan juga relatif tinggi.
Bahkan, pertumbuhan kredit industri perbankan pernah mencapai 21 persen
selama setahun.
Hal ini kemudian
memunculkan semacam rumus dasar atau aturan main korelasi antara pertumbuhan
kredit bank dan pertumbuhan ekonomi. Aturan main itu adalah pertumbuhan
kredit industri perbankan kira-kira 2,5 kali dari proyeksi pertumbuhan
ekonomi tahun yang bersangkutan. Namun, itu juga bisa dibalik untuk menjawab
pertanyaan, berapa kira-kira pertumbuhan kredit yang diperlukan untuk mendorong
target pertumbuhan ekonomi.
Ketika harga komoditas
masih sangat tinggi, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 6 persen memang
sinkron dengan pertumbuhan kredit bank yang ada di kisaran 21 persen. Namun,
rumus dasar itu kini hampir tak berlaku lagi karena terjadi berbagai
perubahan struktur ekonomi, terutama setelah era kejayaan harga komoditas
berlalu.
Dalam dua tahun ini,
kredit bank tumbuh satu angka saja secara konsisten. Pada Desember 2016,
misalnya, pertumbuhan kredit bank tercatat sebesar 7,8 persen selama setahun,
lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya 8,5 persen.
Sementara pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada 2016 tercatat sebesar 5,02 persen. Pada triwulan
III-2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,06 persen, sementara
pertumbuhan kredit industri perbankan pada akhir September tercatat sebesar
7,7 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I dan II-2017
tercatat masing-masing sebesar 5,01 persen.
Belum
sinkron
Walaupun harga sejumlah
komoditas sudah merangkak naik mengikuti sentimen positif kenaikan harga
minyak mentah dunia, sektor riil di Indonesia masih belum terlalu bergairah.
Harga minyak mentah jenis WTI pada Jumat (15/12) untuk kontrak pengiriman
pada Januari 2018 tercatat sebesar 57,3 dollar AS per barrel. Sementara harga
minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman pada Februari 2018
tercatat sebesar 63,25 dollar AS per barrel.
Harga minyak mentah itu
sudah berangsur naik dari level terendah 29 dollar AS per barrel pada
Desember 2016 setelah mencapai level 110,5 dollar AS per barrel pada
September 2014.
Kenaikan harga minyak
mentah diikuti oleh beberapa komoditas lain yang menjadi andalan ekspor
Indonesia, seperti batubara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), dan karet.
Namun, kenaikan harga komoditas di pasar dunia itu tidak diikuti oleh
kenaikan permintaan rumah tangga di daerah-daerah penghasil komoditas seperti
Sumatera dan Kalimantan.
Pada triwulan III-2017,
pertumbuhan ekonomi Sumatera hanya 4,43 persen, padahal kontribusi daerah
penghasil komoditas perkebunan dan tambang itu terhadap produk domestik bruto
mencapai 21,54 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi Kalimantan tercatat 4,67
persen dengan kontribusi pada ekonomi nasional 8,1 persen.
Pertumbuhan ekonomi kedua
kawasan itu jauh tertinggal dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa,
yakni 5,51 persen, dengan kontribusi pada perekonomian nasional 58,51 persen.
Jawa menggantungkan perekonomian pada pertanian (termasuk perikanan),
industri, dan jasa.
Rupanya, kondisi ekonomi
makro yang makin baik tidaklah cukup meningkatkan keyakinan konsumen untuk
mendorong belanja rumah tangga dan pelaku usaha untuk meningkatkan investasi.
Indikator ekonomi makro yang makin baik antara lain ditunjukkan oleh inflasi
yang terjaga pada target 3-5 persen. Per November lalu, inflasi tahun
kalender 2017 tercatat sebesar 2,87 persen. Adapun defisit transaksi berjalan
pada triwulan III-2017 tercatat sebesar 1,65 persen dari produk domestik
bruto. Dalam dua triwulan sebelumnya, defisit transaksi berjalan tercatat
hanya 0,96 persen dan 1,91 persen.
Tantangan berat yang
dihadapi perekonomian sepanjang 2017 ini tentu tetap menyisakan peluang bagi
industri, termasuk industri perbankan. Tahun depan, sebagian infrastruktur
dalam proyek-proyek strategis mulai beroperasi dan diharapkan bisa ikut
mendorong perekonomian.
Perbankan bisa mengambil
kesempatan untuk mendorong kredit dengan tetap memperhatikan profil risiko
debitor. Sektor riil memerlukan daya ungkit untuk mendorong kegiatan ekonomi
yang lebih luas. Dengan perannya dalam sistem intermediasi, perbankan bisa
berperan dengan menurunkan bunga kredit karena likuiditas diperkirakan tetap
longgar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar