Memanusiakan
Muhammad Sang Nabi
Hilmi Amin Sobari ; Penganut Ajaran Muhammad
yang sedang bahagia
merayakan sosoknya yang agung sekaligus manusiawi;
Pernah nyantri di PPMWI
Kebarongan, Banyumas, Jawa Tengah
|
DETIKNEWS,
04 Desember
2017
"None
of the great figures of history is so poorly appreciated in the West as
Muhammad." ~ W.
Montgomerry Watt, Muhammad at Mecca, 1958.
Saat masih kecil saya
kadang ditugasi untuk mengumandangkan azan ketika waktu salat telah tiba.
Sambil menunggu imam, di sela-sela azan dan iqomah, saya dan para jamaah
salat lainnya biasa mengisinya dengan ritual puja-puji kepada Nabi Muhammad
SAW, tradisi khas santri yang jarang saya temui di kota-kota besar seperti di
Jakarta.
Karena dilakukan
berulang-ulang dengan berbagai lirik dan nada, maka sebagian liriknya saya
hafal hingga hari ini. Salah satu yang paling saya suka berbunyi begini: "Muhammadun basyarullah kalbasyari,
bal huwa kalyaquti bainal hajari --Muhammad adalah manusia, sama seperti yang
lainnya, hanya saja ia bagaikan batu permata di antara berbagai jenis
bebatuan."
Tentu saja, sebagai
seorang anak kecil, waktu itu saya tidak mampu memahami apa arti sesungguhnya
dari kalimat basyarullah kalbasyari itu --manusia yang sama dengan manusia
lainnya. Justru kalimat kalyaquti bainal hajari --bagaikan batu permata di
antara berbagai jenis bebatuan-- itulah yang paling menggetarkan saya karena
sosoknya bagi saya penuh dengan metafora yang indah bak superhero.
Glorifikasi terhadap
Muhammad seperti itu yang kemudian mengawali perkenalan saya dengan sosoknya,
dan membentuk imajinasi tentangnya: ia sang Rasul yang suci dan tak
tersentuh, manusia agung tanpa cela sedikit pun; ketika persoalan menghadang
maka cukup dengan mengangkat kedua tangan, dan berdoa lalu secara ajaib
turunlah wahyu pemberi solusi; pemimpin perang tanpa tanding karena dibantu
oleh pasukan langit yang tak terkalahkan; dan, berbagai penggambaran yang
sangat ideal lainnya.Bukankah tokoh superhero selalu dicitrakan sempurna
seperti itu oleh pecintanya?
Glorifikasi seperti itu
pada satu titik bisa menjadi mental block yang kontra-produktif bagi hubungan
antara Muhammad dengan penganut ajarannya, terutama yang tak mengenalnya
secara personal. Kesempurnaan imajinya menciptakan jarak yang mengganggu
proses peneladanan, penganut ajarannya takut, dan rendah diri: merasa tak
mungkin mampu mendekatinya karena hanya manusia biasa yang mahallul khatha
wannisyan --makhluk yang lahir dengan kodrat alpa dan lupa.
Yang terjadi kemudian pada
sebagian kasus, glorifikasi seperti ini menciptakan pengikut yang memaksakan
dirinya untuk sesempurna Muhammad, dan pada tahap yang lebih buruk memaksa
orang lain menerima dan mengikuti pola peneladanan yang diterapkannya.
Gerakan purifikasi keagamaan yang miskin nalar dan kering imajinasi seperti
itulah yang memunculkan para pelaku teror. Mereka mengimajinasikan seorang
Muhammad yang keras dan kaku dalam menghadapi perbedaan dan keberagaman.
Beruntungnya, citra
Muhammad yang sempurna itu perlahan memudar saat usia saya lebih dewasa,
khususnya setelah saya belajar di pondok pesantren. Muhammad bisa saya dekati
dengan pendekatan yang lebih rasional melalui kajian tarikh atau sejarah atau
yang lebih populer disebut sirah nabawiyah. Keraguan berlanjut saat saya
membaca karya-karya penulis barat yang kritis disertai temuan baru yang
menambah wawasan tentang Muhammad.
Dari kajian kritis itu
pula saya mulai menemukan versi baru tentang sosoknya yang selama ini luput
dari jangkauan, versi membumi yang menegaskan posisinya sebagai manusia biasa
(basyarullah kalbasyari). Ternyata, sebagai manusia biasa Muhammad pernah
berbuat salah, dan kemudian mendapat surat teguran dari Tuhan; pernah kalah
sewaktu Perang Uhud, dan bahkan diisukan telah mati ketika peperangan masih
berlangsung padahal nyatanya masih hidup dengan luka di wajahnya, dan gigi
tanggal.
Pernah mengelak saat
pendapatnya soal pertanian yang setelah diujicoba justru gagal panen, dan
beliau menjawab: kamu lebih tau urusan duniamu! Dan, menangisi kematian
Khadijah dengan kesedihan sangat dalam hingga memutuskan hijrah ke Thaif, dan
disambut dengan makian dan lemparan batu hingga beliau mengadu kepada Allah,
dan kemudian mendapat penghiburan dari budak penolongnya yang mengenal Nabi
Yunus yang beliau sebut sebagai saudara. Dan, berbagai sifat manusiawi
lainnya.
***
Seandainya saya lahir di
Barat barangkali bukan sosok di atas yang menghuni benak saya tentang imaji
Muhammad. Seperti kutipan yang saya letakkan sebagai pembuka paragraf di
atas, Muhammad kurang mendapat perhatian yang layak, bahkan pada sebagian
kasus justru dilecehkan dan dipenuhi nada permusuhan yang muncul karena
ketidaktahuan.
Di Barat, Muhammad dikenal
sebagai sosok gelap yang legendaris, Mahound: jahat dan musuh besar bagi
mereka. Jika di sini anak kecil yang menangis ditakut-takuti dengan hantu
atau setan agar terdiam, maka di Barat sosok untuk menakut-nakuti itu adalah
Mahound Pada bagian yang lain ia digambarkan sebagai seorang pesulap palsu
yang berhasil mengecoh bangsa Arab untuk tunduk dan mengikuti apapun
kemauannya.
Sebuah kisah menceritakan
tentang seekor banteng putih yang meneror masyarakat dan kemudian muncul
membawa al-Quran, kitab suci yang dibawa untuk bangsa Arab, melayang dengan
fantastis di kedua tanduknya. Juga dikisahkan ia melatih seekor merpati agar
mematuk kacang yang ada di telinganya, agar tampak seolah-olah malaikat sedang
berbicara padanya.
Pengalaman mistiknya
digambarkan dengan buruk, seolah-olah dia adalah penderita epilepsi, yang
pada zaman itu sama dengan mengatakan bahwa beliau dikuasai roh jahat.
Kehidupan seksnya juga dicela karena menikah dengan banyak wanita, dan ketika
sampai kepada pernikahan dengan Aisyah maka pandangannya adalah pelecehan
terhadap anak di bawah umur, dan seterusnya.
Semua mitos salah-kaprah
itu dikembangkan dari zaman pra-modern pada waktu Perang Salib sebagai metode
pertahanan kultural karena ketakutan Barat atas kembalinya imperium Islam
seperti yang pernah terjadi di Spanyol yaitu kolonisasi selama berabad-abad.
Dan islamo-phobia itulah yang saat ini masih dirasakan walaupun kemudian
setelah dunia riset sejarah lebih terbuka maka sosok Mahound yang jahat
secara perlahan ditampilkan berbeda oleh sejarawan Barat yang menekuni kajian
Islam dan Timur Tengah; sosoknya lebih netral, dan seringkali mendapat pujian
atas keberhasilan Muhammad dalam berbagai bidang.
Di sini saya kutipkan satu
pujian dari George Bernard Shaw (1936). Setelah mengkaji secara mendalam
tentang Muhammad, ia mempercayai Nabi Muhammad adalah orang yang mampu
memberikan solusi bagi masalah-masalah manusia modern seandainya dia masih
ada saat ini, dan memegang kepemimpinan manusia modern. Bahkan Bernard juga
mengusulkan agar Muhammad diberikan gelar sebagai "The Savior of
Humanity" atau Penyelamat Kemanusiaan. "I have prophesied about the
faith of Mohammad that it would be acceptable the Europe of tomorrow as it is
beginning to be acceptable to the Europe of today."
Dalam bukunya The 100: A
Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) yang kontroversial,
Michael H Hart menempatkan Muhammad di urutan pertama mengalahkan Newton,
Yesus, dan Sidharta Gautama. Ketika terus didesak untuk merevisinya ia
bergeming dengan pendapatnya, dan menyatakan dalihnya bahwa Muhammad adalah
"the only man in history who was supremely successful on both the
religious and secular level." (Satu-satunya tokoh sejarah yang mampu
meraih keberhasilan puncak dalam bidang agama dan dunia.)
***
Di internal umat Islam
sendiri sosok Muhammad tidak dipersepsikan sama. Islam kultural --atau Islam
Nusantara-- misalnya mengambil sosok yang santun, lemah lembut, penebar kasih
sayang dan anti-kekerasan. Sedangkan Islam politik biasanya menggunakan
jargon agama dengan membawa sosok Muhammad yang tegas, keras, dan meletakkan
persaudaraan dan persatuan Islam sebagai prioritas; kepemimpinan politik
harus ada di bawah komandonya, dan mereka senang meneriakkan kalimat
thayyibah seolah-olah tengah didukung Tuhan secara langsung melalui
glorifikasi sosok Muhammad versi mereka.
Sosok Muhammad yang
manusiawi seyogianya yang terus dikenalkan ke umat muslim pada khususnya, dan
manusia pada umumnya. Barangkali jika kita mau mengubah pandangan kita
terhadap manusia agung ini menjadi sosok yang lebih manusiawi saya yakin
dampak yang kita rasakan akan jauh lebih positif-natural. Mengenalnya secara
personal, akrab, tanpa jarak, dan apa adanya sebagai seorang manusia biasa,
ayah dari anak-anaknya, kakek dari cucunya, atau pemimpin yang memberi
tauladan yang baik. Barangkali dengan cara seperti itu baru kita akan
benar-benar mengenalinya sebagai manusia yang dipenuhi unsur kemanusiaan, dan
karenanya jejaknya bisa diikuti siapapun.
Sebagai penutup saya
kutipkan satu fragmen dari sirah Muhammad karya Karen Armstrong yang mengutip
sejarawan sekaligus ahli tafsir Ibnu Jarir At-Thabari tentang kegalauan yang dihadapinya
saat menerima wahyu pertama: sosok yang sangat manusiawi dan mudah ditemukan
dalam kehidupan modern saat ini ketika tertimpa masalah berat dan di luar
jangkauan kemampuan manusia pada umumnya.
"Muhammad mendapati
dirinya dalam keadaan terteror dan mengalami perubahan mendadak. Berpikir
bahwa dia, di luar kehendaknya, mungkin menjadi kahin (dukun) yang dikuasai
jin dan merasa putus asa, kata ahli sejarah At-Thabari, dan membuatnya tidak
ingin hidup terus. Keluar dari gua, Muhammad mendaki ke puncak gunung dan
bermaksud menerjunkan dirinya supaya mati."
Mengenalmu sebagai manusia
biasa membuatku rindu padamu, ya Rasul. Shalatullah
wa salamuhu alaik ya habibana. Selamat merayakan Maulid! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar