Pertumbuhan
Ekonomi yang Menekan Ketimpangan
Dewi Indriastuti ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
19 Desember
2017
Optimisme, dalam berbagai
hal, tak boleh ditinggalkan. Di sejumlah indikator, RI memiliki modal untuk
optimistis. Modal ini bahkan layak disebut sebagai penopang untuk memperbaiki
atau reformasi struktural di dalam negeri.
Indikator makro itu di
antaranya pertumbuhan ekonomi 5,03 persen per September 2017 serta inflasi 3,3
persen dan cadangan devisa 125,96 miliar dollar AS per November 2017.
Bekal optimisme saja tak
cukup untuk memasuki 2018 yang diwarnai kegiatan politik. Apalagi, roda
industri digital yang kian kencang membuat perusahaan yang tak siap akan
merasa tertinggal. Keyakinan atau kepercayaan diri pelaku usaha turut
menentukan perekonomian RI pada tahun depan. Tanpa kepercayaan diri dan
keyakinan mengenai kondisi yang mendukung kegiatan ekonomi, upaya pelaku
usaha tak akan optimal. Itu karena faktor yang diperhitungkan dalam melangkah
dan membuat keputusan terkait aksi korporasi akan semakin banyak dan
kompleks. Perhitungan mesti matang. Tak ada kata salah langkah.
Salah satu faktor penambah
kepercayaan diri pelaku bisnis adalah konsistensi dan realisasi. Salah satu
contoh paling sederhana adalah Paket Kebijakan Ekonomi yang diterbitkan
pemerintah sejak akhir 2015. Sampai saat ini belum semua kebijakan dan
deregulasi yang ada dalam Paket Kebijakan I-XVI direalisasikan.
Hal yang sudah
direalisasikan di antaranya kebijakan bebas visa kunjungan, yang berdampak
terhadap peningkatan kunjungan wisatawan ke Indonesia. Sementara hal-hal yang
tak kunjung terlaksana misalnya izin berbelit-belit yang harus ditempuh
investor. Kendati pemerintah pusat berupaya memperpendek proses perizinan,
hal serupa tidak terjadi di daerah. Birokrasi yang tidak efisien membuat
kegiatan ekonomi menjadi lambat dan terhambat.
Menurut data Bank Dunia,
Kemudahan Berbisnis Indonesia 2018 di posisi ke-72 dari 190 negara memang
lebih baik daripada 2016 yang ada di posisi ke-109. Namun, data itu juga
menunjukkan problem terbesar dalam kemudahan berbisnis di Indonesia adalah
korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan akses terhadap
pembiayaan yang masih terbatas.
Diatasi
Masalah itu harus diatasi.
Apalagi, RI ingin merangkul investor untuk masuk ke Indonesia.
Keinginan meraih investasi
mestinya bukan hal yang mustahil sebab Indonesia juga memiliki modal yang tak
kalah penting, yakni peringkat layak investasi. Penilaian ini diberikan tiga
lembaga pemeringkat utama, yakni Fitch, Moody’s, dan Standard & Poor’s.
Dari sisi daya saing, RI
bisa lebih percaya diri dengan Indeks Daya Saing di posisi ke-36 dari 137
negara berdasarkan data 2017-2018 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia.
Kendati belum masuk ke kisaran peringkat ke-20-an, RI dinilai memiliki daya
saing yang baik dalam ekosistem ekonomi makro dan ukuran pasar. Catatannya,
Indonesia masih perlu memperbaiki diri dalam efisiensi pasar ketenagakerjaan
dan kesiapan teknologi.
Terlepas dari angka-angka
makro itu, pertumbuhan ekonomi yang sepadan dengan berbagai upaya itu adalah
dampaknya yang dirasakan seluruh masyarakat. Faktanya, masih ada 7,04 juta
penganggur di Indonesia per Agustus 2017 dan rasio gini— yang menunjukkan
ketimpangan—sebesar 0,393 per Maret 2017. Angka ini hanya membaik tipis dari
Maret 2016, sebesar 0,397.
Ketimpangan memang tak
hanya dialami Indonesia, tetapi juga dunia. Setidaknya kondisi itu mengusik
peraih Nobel Ekonomi, seperti Joseph E Stiglitz, Eric Stark Maskin, dan Angus
Deaton. Ketimpangan perlu dikendalikan.
Tahun depan tak ada cara
lain selain meningkatkan kepercayaan diri pelaku usaha serta mengarahkan
hasil pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar