Bahaya
Pengakuan Yerusalem sebagai Ibukota Israel
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara
Foundation, menulis dari New York
|
DETIKNEWS,
07 Desember
2017
Entah kata apa yang tepat untuk
mengekspresikan keputusan Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota
Israel. Beranikah? Nekadkah? Terobosankah? Atau, boleh jadi karena kegilaan
dan ketidakstabilan mental?
Keputusan Donald Trump itu
oleh banyak kalangan dianggap memang keputusan "reckless" (sangat
berbahaya) dan pencabulan nyata kepada upaya-upaya perdamaian yang telah
diperjuangkan oleh pejuang perdamaian, seperti Yitzhak Rabin, Yasser Arafat,
dan banyak lagi. Keputusan tersebut adalah pelecehan nyata terhadap upaya
perdamaian di Timur Tengah.
Kita sadari bahwa konflik
Timur Tengah, Israel-Palestina, menjadi sumber sentimen berbagai konflik di
dunia, khususnya antara dunia Islam dan Barat. Kebencian dan permusuhan,
bahkan kekerasan timbul di mana-mana, semuanya minimal terinspirasi oleh
sentimen konflik Palestina-Israel. Dan, salah satu isu terpenting dan menjadi
dasar sentimen agama di kedua belah pihak adalah isu Yerusalem, atau Al-Quds
dalam bahasa Arabnya.
Saya paham betul dari
interaksi saya dengan komunitas Yahudi bahwa Yerusalem bagi mereka memang
menjadi bagian dari iman. Bahwa Yerusalem adalah kota tua sekaligus simbol
kejayaan masa lalu mereka. The Temple of Solomon yang diyakini terletak
persis di bawah Masjid Al-Aqsa itu adalah impian keagamaan bagi mereka. Kira-kira
mirip keinginan seorang muslim menatap wajah baginda Rasulullah SAW.
Sebaliknya Al-Quds, tempat
Masjidil Al-Aqsa berdiri, juga menjadi bagian integral dari keimanan Islam.
Tempat ini bagi orang Islam bukan sekedar terbangun di atas sejarah 3000
tahun silam. Tapi diyakini sebagai kota akidah, sejak Ibrahim hingga ke
anak-anak keturunannya. Bedanya adalah bagi kita memang relevansinya adalah
akidah atau keimanan. Sementara umat Yahudi relevansinya adalah sejarah
kejayaan etnis dan ras.
Di sinilah kemudian dilema
besar dari keputusan Donald Trump. Sebuah keyakinan iman tidak akan pernah
terselesaikan dengan solusi politik. Dan karenanya pengakuan Donald Trump
terhadap Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tidak mengurangi keyakinan umat
bahwa Yerusalem juga adalah kota suci, sekaligus diakui sebagai ibu kota masa
depan Palestina.
Akan lebih parah lagi
bahwa keputusan Donald Trump mengakui Yerusalem sebagia Ibu Kota Israel
semakin memperdalam permusuhan, dan boleh jadi membawa kepada konflik masif
di Timur Tengah. Lebih parah lagi kemarahan itu bukan saja di Timur Tengah.
Donald Trump telah menyulutkan api ke dalam bara kebencian kepada Amerika di
mana-mana. Implikasinya tidak saja kepada Israel tapi juga kepada Amerika dan
negara-negara pendukung lainnya, termasuk sebagian dunia Islam sendiri.
Apa yang dilakukan oleh
Donald Trump justru berdampak sangat buruk kepada Amerika sendiri. Sejak lama
Amerika dicurigai sebagai tuan Israel. Artinya kebijakan-kebijakan buruk
pemerintahan Israel dinilai sebagai bagian dari kebijakan Amerika. Bahkan ada
kecurigaan jika ekspansi Amerika ke Timur Tengah tujuannya adalah melapangkan
jalan bagi Israel untuk semakin melakukan apa saja terhadap negara-negara
muslim tetangganya.
Dengan keputusan Donald
Trump tersebut, kecurigaan itu seolah menjadi bukti nyata. Bukan lagi
kecurigaan, tapi telah terjadi di depan mata bahwa Amerika memang selalu
menjadi "bumper" bagi kepentingan Israel. Konsekuensinya, Amerika
akan menjadi bulan-bulanan kebencian dan kemarahan dunia Islam. Dan, pada
akhirnya masyarakat Amerika secara luas akan menjadi korban, demi ambisi
Donald Trump untuk memuaskan segelintir pendukungnya.
Masalah
Dunia Islam
Saya sesungguhnya tidak
terlalu terkejut dengan keputusan Donald Trump itu. Selain karena memang itu
adalah karakternya yang memang cenderung berbuat sebelum berpikir, dan kalau
salah susah mengakui. Tapi juga karena selama ini memang itulah persepsi yang
berkembang di Amerika. Bahwa membela Israel adalah melakukan sesuatu yang
secara nilai ditinggikan oleh Amerika. Sebaliknya, menentang Israel seolah
menentang nilai Amerika (American values). Benjamin Natanyahu membenci
setengah mati Barack Obama, salah satunya karena Obama berani mengkritik
Israel.
Oleh karenanya kebijakan
ini tidak mengejutkan, walau pahit, karena memang itulah sejarah kebijakan
Amerika sejak dulu. Perhatikan semua keputusan atau resolusi PBB tentang isu
Palestina dan Israel. Anda tidak akan terlalu terkejut dengan hal ini.
Justru yang menjadi
masalah utama sesungguhnya adalah dunia Islam sendiri. Secara agama ini juga
bukan sesuatu yang aneh. Kelemahan terutama umat akan selalu ada pada
perpecahannya. Kerapuhan umat dalam kesatuan menjadi kelemahan utama sejak
dahulu yang kerap dimainkan oleh mereka yang punya kepentingan.
Saat ini ada 57 negara
dengan mayoritas penduduk muslim. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi
yang disebut OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Secara jumlah organisasi ini
adalah organisasi negara-negara di dunia terbesar setelah GNB (Gerakan Non
Blok). Persatuan negara-negara Amerika, Uni Eropa, bahkan persatuan
negara-negara Afrika masih kalah. Ironisnya, negara-negara OKI ini tidak
punya gigi ketika berada pada posisi membela kepentingan umat. Perhatikan
posisi mereka di setiap keputusan yang diambil di PBB.
Isu Palestina sejak dari
dulu selalu menjadi isu seksi di kalangan pemimpin Islam. Di setiap kampanye
pemilihan misalnya, salah satu isu yang layak jual adalah isu Palestina.
Termasuk ketika pemilihan Presiden RI yang lalu. Tapi, begitu kepentingan para
pemain telah di tangan, Palestina tidak lagi mendapat perhatian. Isu itu akan
kembali digoreng ketika para penguasa itu kembali berkepentingan.
Retorika demi retorika
juga didengar di mana-mana, sejak dahulu hingga kini. Dari zaman Saddam
Hussein, Muammar Qadhafi, Mahathir Muhammad, hingga ke Ahmadinejad, dan
sekarang ini Presiden Turki Erdogan. Yang lebih parah adalah ketika pemimpin
itu dengan retorika tinggi mengutuk-ngutuk Israel, tapi di belakang pintu
mereka berjabat tangan dan membuka hubungan diplomatik.
Dalam situasi seperti saat
ini, saya merasa negara yang bisa didengar oleh Amerika dan Donald Trump
adalah Saudi Arabia. Ingat kunjungan pertama Trump keluar negeri justru ke
Saudi Arabia. Itu adalah sinyal bahwa Saudi Arabia sesungguhnya masih punya
tempat terhormat di matanya.
Pertanyaannya kemudian,
apakah Saudi memang ingin menggunakan posisi itu untuk membela Palestina?
Atau, sejatinya Saudi Arabia memang tidak akan pernah memposisikan diri
sebagai pembela Palestina?
Saya khawatir jika Saudi
memang berada pada posisi kedua. Bahwa, Saudi Arabia memang tidak pernah akan
melakukan pembelaan itu. Bahkan yang terjadi sebaliknya, jangan-jangan
keberanian Donald Trump ini karena ada permainan mata di belakang layar.
Wallahu a'lam.
Saat ini Saudi Arabia
berada dalam nightmare (ketakutan) yang sangat dalam. Selain ancaman dari
dalam (internal conflict, bahkan antarkeluarga) juga Saudi dibayang-bayangi
oleh ketakutan dari tetangga-tetangganya. Dulu dengan Saddam, lalu Qadhafi,
dan sekarang Basyar Al-Asad. Tapi, ancaman yang paling ditakuti Saudi adalah
Iran yang dinilai berhasil melebarkan sayap kekuasaannya di kawasan. Wajar
jika Saudi melakukan apa saja untuk membasmi kelompok-kelompok Syiah di Yaman
maupun Lebanon.
Kesemua itu menjadikan
Saudi Arabia memilih diam terhadap kebijakan Donald Trump ini. Kalaupun
bersuara nantinya, di balik layar rangkulan mereka justru semakin mesra.
Apalagi rencana reformasi keagamaan Saudi, yang dilabel sebagai "proses
moderasi" oleh Ben Salman, semakin mendapat simpati dari Donald Trump
dan sekutunya.
Intinya keputusan Donald
Trump ini dilakukan untuk kepentingan basis dukungannya. Maklum dengan segala
permasalahan internal yang dihadapinya semakin tidak tertahankan.
Keterlibatan Rusia dalam pemilihan dirinya semakin membayang-bayanginya untuk
menghadapi pemecatan (impeachment). Maka secara politik dalam negeri
keputusan ini akan banyak mengurangi minimal gonjang ganjing politik dalam
negeri.
Justru yang akan
menanggung akibat blunder ini ke depan adalah warga Amerika dan mereka yang
dianggap terwakili oleh Donald Trump. Sementara dunia Islam hanya akan
semakin nampak kemunafikan, sikap "mudzabdzabina", terombang-ambing
di antara kepentingan dan ketakutan para penguasanya. Pada akhirnya harapan
itu hanya pada Sang Hafidz Baitullah, Rabbul Ka'bah wal-Aqso. Insya Allah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar