Buruh
Migran dan Bocah-Bocah Malang
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan
menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
08 Desember
2017
Apa yang terlintas di
benak ketika mendengar berita empat bocah laki-laki panti asuhan berusaha
mencabuli teman perempuan seasramanya? Marah. Sedih. Tak habis pikir. Apalagi
usia mereka 10 tahun, sedang korbannya perempuan teramat lugu berusia 9
tahun.
Hal yang sama terbersit
dalam diri saya. Siang itu, Ibu Evi Ghozaly, seorang konsultan pendidikan dan
pendamping isu anak-anak mengajak saya ke panti asuhan berkonsep pesantren
tahfidz di Lampung Tengah, tempat mereka tinggal. Saya sudah memasang wajah
tak simpatik ketika menjumpai wajah para remaja itu, sampai ketika mereka
menceritakan kronologi kejadian.
Konon, di jalanan menuju
ke sekolah yang tak jauh dari panti asuhan, sedang ada pembangunan parit. Di
sanalah mereka berkenalan dengan seorang kuli bangunan yang mengajak mereka
menonton video porno, lalu mengajarkan cara menyalurkan hasrat seksual.
Saya menghela napas
panjang, menyadari bahwa peristiwa mendidik anak yang panjang dan melelahkan,
sejak di rumah hingga sekolah, bisa mendapat hambatan hanya dari peristiwa
pertemuan sesepele itu.
"Sejak kapan kalian
tinggal di panti asuhan ini, Nak?" Ibu Evi bertanya. Ia selalu
merundukkan badan setara dengan tinggi badan anak-anak yang ia ajak bicara.
Katanya, agar detak jantung setara, dengan begitu komunikasi akan lebih
efektif dan anak-anak merasa tak punya kecanggungan berterus terang kepada
orang tua.
Tiga dari mereka telah
tinggal selama lima tahun. Ketika itu, ibu pamit berangkat ke Malaysia untuk
bekerja sebagai buruh migran. Bapaknya yang sakit-sakitan kemudian menitipkan
mereka ke pemilik asrama. Si bapak lalu meninggal, dan si ibu tak pernah
kembali hingga hari ini. Bahkan, tak sekalipun memberi kabar.
Air mata saya tumpah tepat
ketika salah seorang dari mereka berkata lirih, "Kami kangen ibu."
Betapa kesepian dalam hati mereka begitu terasa.
Data Migrant Care
menyebut, saat ini sejumlah 2,5 juta buruh migran bekerja di Malaysia dan
sekira 1,5 juta bekerja di Arab Saudi. Yang mengagetkan, 85% dari buruh
migran itu perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik maupun pekerjaan
domestik rumah tangga. Dan yang menyedihkan, ada mata rantai persoalan tak
putus terkait rumah tangga dan pengasuhan anak dalam lingkaran setan keterdesakan
ekonomi ini.
"Para istri itu
mengirim uang ke kampung. Tapi, uangnya digunakan suami untuk menikah lagi.
Anehnya, para istri banyak yang tak berkeinginan pulang. Alasannya
macam-macam, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga status suami yang
memang tak lagi bekerja. Sedangkan, perempuan lebih mudah mendapat pekerjaan
di ranah domestik."
Apakah kita masih perlu
bertanya mengapa banyak aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan
memberi pendidikan pengarusutamaan gender?
Dalam satu tahun, kasus
tak terpenuhinya hak-hak buruh migran di luar negeri mencapai 10.000 kasus.
Kasus yang tak terlaporkan sebab tingginya jumlah mereka yang memaksa bekerja
di luar negeri tanpa dokumen legal, menurut perkiraan Migrant Care bisa lima
kali lipatnya. Dan dari sejumlah itu, hanya 194 kasus yang dapat diselesaikan
pada 2016. Kasusnya macam-macam, seperti gaji yang tak dibayarkan, kekerasan
oleh majikan, hingga penipuan status pekerjaan.
Ada banyak kisah anak di
bawah umur yang bekerja di perkebunan-perkebunan di Sabah dan Serawak, yang
terkenal sebagai the state of stateless. Fatalnya, kasus semacam itu tak
tertangani karena seringkali ternyata negara-negara tujuan buruh migran itu
tak memiliki peraturan terkait perlindungan buruh migran. Oleh karena itu,
beruntung, meskipun berjuang dalam waktu yang cukup lama, yakni 8 tahun,
akhirnya rancangan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) telah
disahkan DPR menjadi UU pada 25 Oktober lalu.
UU PPMI itu mencakup
pengurangan peran swasta secara signifikan dan dikembalikannya peran
pemerintah daerah, yaitu untuk informasi, rekrutmen, pengurusan dokumen,
pendidikan, dan pelatihan. Sementara, peran swasta hanya menempatkan pekerja
migran yang sudah siap melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).
Selain itu, ada pula
kemajuan dalam hal jaminan terhadap hak-hak pekerja migran dan anggota
keluarganya, termasuk hak untuk berserikat dan berkomunikasi. Pada 18
Desember nanti, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Presiden Jokowi akan
menggelar dialog langsung bersama 3000 buruh migran.
Sepotong cerita anak di
awal tadi belum merangkum anak-anak yang nasibnya lebih tak beruntung. Ada
banyak anak yang sebab "kesepian" kemudian menjadi tersangka kasus
pidana lalu terpaksa menjalani hidup di Lembaga Pemasyarakatan. Kang Maman,
pelancong literasi yang mendampingi program pemberdayaan perpustakaan di
lapas anak mengisahkan, ketika masa hukuman berakhir, mereka telanjur
dilabeli sebagai anak pembuat masalah, bahkan disebut sampah masyarakat,
sehingga tak punya tempat lagi di kehidupan sosial bahkan dalam lingkungan
keluarga sendiri.
Kata Kang Maman, tujuan
gerakan pemberdayaan literasi adalah to educate (mendidik), to empower
(menguatkan), dan to enrich (memperkaya cara pandang). Pemberdayaan literasi
di lapas dimulai sejak menyaring buku-buku berkualitas yang memberi manfaat
dalam pendampingan mental dan teknis keterampilan anak-anak di jenjang
kehidupan mereka berikutnya.
Kenyataan itu ada di
sekitar kita, dekat sekali. Selama ini, kita tak menemukannya karena kita tak
pernah ingin menengok kanan dan kiri. Persoalan ini ruwet seperti gulungan
benang kusut, dan tidak lebih menarik daripada berdebat omong kosong soal
ilusi negara imperium, syariah dan non syariah, atau bertanya agama dan amal
saleh seseorang. Padahal, perintah Tuhan kepada umat manusia pertama-tama
adalah membaca: membaca persoalan yang paling dekat di sekitar kita.
"Persoalan di daerah
sangat banyak. Tapi, sangat sedikit mereka yang berkenan mengurai. Sebab
selain tak menguntungkan, memang tak mudah dan sangat melelahkan," pesan
Bu Evi Ghozaly.
Ya, lebih mudah
memperbanyak amalan pribadi agar lekas-lekas masuk surga sendiri. Kasus
sesederhana anak-anak kesepian ini perlu perhatian serius dengan uluran
tangan. Retorika, doa, apalagi demo tak akan menuntaskannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar