Kaleidoskop
Gejala Alam
Paulus Agus Winarso ; Praktisi Cuaca dan Iklim; Dosen STMKG
|
KOMPAS,
20 Desember
2017
Keragaman dalam kurun yang
tidak terlalu lama merupakan situasi
dan kondisi cuaca dan iklim 2017. Hal ini akibat perkembangan kondisi gejala
alam global yang memengaruhi kawasan tropis.
Keragaman cuaca dan iklim
antarmusim dalam dunia cuaca dan iklim kini dikenal dengan Osilasi Madden
Julian (MJO). Kegiatan MJO merupakan ekskresi dari berbagai gelombang di
troposfer yang membentuk situasi dan kondisi cuaca dan iklim kawasan tropis.
MJO merupakan gambaran
golakan atau dinamika udara kawasan tropis yang bergelombang dan juga bagian
interaksi laut– udara yang umumnya membentuk kawasan awan dan hujan yang
giat. Umumnya dalam tipe dan jenis awan konvektif yang menjulang tinggi, baik
awan kumulus maupun kumulonimbus.
Jenis awan kumulonimbus
(Cb) menghasilkan tiga kondisi badai berupa hujan lebat dengan intensitas
curah hujan minimal 1 milimeter per detik atau setara 1 liter volume air
hujan untuk kawasan datar seluar 1 meter persegi; angin kencang atau badai
dengan kecepatan terendah 34 knot atau sekitar 70 kilometer per jam, dan
badai petir atau petir yang bersahut-sahutan.
Keberadaan awan konveksi
yang berkembang menjadi awan badai telah hadir pada lingkungan wilayah Benua
Maritim Indonesia (BMI) yang secara lanskap juga berubah banyak dengan
pembangunan hunian dan prasarana lain.
Kota
pusat panas
Naiknya jumlah penduduk
dan tingkat kesejahteraan membuat lahan terbuka hijau dengan pohon-pohon
besar semakin berkurang. Konsekuensi perubahan tata guna lahan dengan kian
meluasnya hutan beton berdampak pada isu kota sebagai pusat panas (urban heat
island).
Penulis pernah mengkaji
data di kawasan ibu kota Jakarta antara 1971 dan 1980. Ternyata kondisi heat
island sudah terjadi. Di pusat kota terdapat isoterm (garis yang
menghubungkan suhu yang sama) tertinggi yang dengan kawasan pinggiran beda
1–2 derajat. Hadirnya pengaruh urban heat island (UHI) sepertinya telah
merebak dan meluas di kawasan BMI. Hal ini terkait dengan situasi dan
perkembangan kondisi dinamika udara global yang terjadi selama 2017.
Perkembangan kondisi
global masuk kriteria pasca-gejala alam La Nina hingga normal yang berlangsung mulai awal hingga
kuartal ke-2 tahun 2017. Memasuki kuartal ke-2 hingga awal kuartal ke-3,
yaitu bulan Juli 2017, giat mirip gejala El Nino yang sempat menghambat
kondisi awan di kawasan selatan ekuator mulai dari Lampung hingga Nusa
Tenggara Timur; memasuki kuartal ke-3 hingga periode akhirnya kondisi
dinamika udara global kembali normal. Memasuki kuartal ke-4 kembali menguat
gejala alam La Nina yang berkembang hingga akhir tahun 2017.
Demikianlah kaleidoskop
kondisi dinamika udara global dengan rincian setelah kegiatan La Nina hingga
normal, lalu sekitar pertengahan tahun dengan dinamika udara mirip gejala
alam El Nino yang dampaknya hanya di kawasan selatan ekuator, dan masuk
kuartal ke-3 dengan kondisi dinamika udara yang kembali normal. Akhir tahun
atau kuartal ke-4 tahun 2017, gejala alam La Nina kembali giat.
Dipicu
MJO
Kaleidoskop dinamika udara
global ini melahirkan keragaman cuaca dan iklim, dengan kehadiran berbagai
gelombang atmosfer kawasan tropis pembentuk dinamika udara yang dipicu MJO.
MJO telah dikembangkan
oleh negara adidaya, seperti Amerika Serikat dengan Badan Atmosfer dan
Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA) dan negara tetangga terdekat
Australia. Kajian para peneliti kedua negara menunjukkan, MJO umumnya giat
saat dinamika udara global terjadi gejala alam La Nina dan normal. Sedangkan
pada saat kegiatan gejala alam El Nino, kegiatan MJO akan kurang giat seiring
kondisi suhu muka laut kawasan BMI umumnya lebih rendah dari normalnya
(dingin).
Kondisi MJO giat umumnya
saat La Nina giat dan berkurang kegiatannya saat normal dan lemah saat giat
gejala alam global El Nino. Lebih lanjut lagi MJO merupakan osilasi
antarmusim (intraseasonal) yang merupakan pemicu terjadi keragaman cuaca dan
iklim kawasan tropis, khususnya kawasan BMI dalam kurun mingguan hingga
bulanan. MJO dapat diindikasi sebagai keragaman antara kehadiran liputan awan
konvektif dan hujan lebat/badai serta kondisi cerah-berawan di sekitar
kawasan tropis yang berulang 30-60 hari.
Dari rincian kaleidoskop
dinamika udara global itu, memicu kehadiran MJO yang cukup nyata selama 7-10
hari di kawasan BMI awal Januari, akhir Februari, dan pertengahan Maret 2017.
Bulan April awal kuartal
ke-2, MJO giat di kawasan ekuator Samudra Pasifik Timur dan kawasan Amerika
Tengah (tempat mulai giatnya gejala alam El Nino). Bulan Mei sebagai bulan
kedua kuartal ke-2 giat pada akhir bulan dan disusul giat pada akhir Juni
2017.
Memasuki kuartal ke-3, MJO
giat pada akhir Juli dan September 2017 dan di sepanjang kuartal ke-4.
Sepertinya dominasi kegiatan MJO cukup dominan seiring perkembangan dinamika
udara gejala alam La Nina, normal, dan El Nino.
Giatnya awan konveksi
penghasil badai, khususnya hujan lebat, telah memberi konsekuensi marak dan
merebaknya bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. Spesial untuk
kejadian badai tropis Cempaka yang giat mulai 27 November 2017 dan badai
tropis Dahlia giat 29 November 2017 di selatan dan barat daya Pulau Jawa juga
kontribusi dari MJO. Ini karena selama November hingga awal Desember, MJO
giat di kawasan BMI.
Bagaimana dengan
perkembangan angin muson atau angin musim yang dulu cukup dikenal oleh
kalangan masyarakat, khususnya umum, petani, dan nelayan? Sepertinya angin
musim yang terjadi dan berkembang kian tidak beraturan akibat perkembangan
peredaran udara yang berubah seiring tiupan angin dalam arah tetap lebih dari
sebulan langka terjadi. Hal ini disebabkan oleh kontras atau perbedaan
tekanan belahan bumi utara (BBU) dan belahan bumi selatan (BBS) kawasan BMI
yang hampir homogen atau sama yang terjadi dalam kurun waktu lebih dari 7
tahun (catatan pribadi sejak 2010).
Saat itu ditandai dengan
kawasan daerah konvergensi antar-tropis (DKAT) yang tak bergeser ke arah BBU,
berlanjut dengan pertumbuhan badai tropis, baik di kawasan BBU maupun BBS
yang tidak beraturan, seperti badai
tropis Kai Tak yang giat pada medio Desember 2017 di kawasan Filipina.
Sebelumnya hadir badai tropis Cempaka dan Dahlia.
Prospek
2018
Prospek kondisi untuk
tahun 2018 disusun berdasarkan perkembangan kegiatan pancaran radiasi
matahari yang diwakili dengan prakiraan bintik-bintik matahari (sunspot).
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memprakirakan sunspot
sedang menuju kondisi minimum.
Giatnya sunspot akan
memicu giatnya dinamika udara global El Nino. Sunspot yang menuju kondisi
minimum berkaitan dengan giatnya La Nina selama periode 2017 terdapat jumlah
bintik matahari kurang dari 25 dan selama 2018 diprakirakan kurang dari 20-15
sunspot.
Dengan demikian, situasi
dan perkembangan dinamika udara global La Nina hingga normal sepertinya akan
berlanjut dan memicu keragaman cuaca dalam skala mingguan hingga bulanan.
Sepertinya MJO akan sangat
giat pada awal hingga pertengahan 2018 dan mulai pertengahan tahun 2018
berkurang. Akhir tahun 2018, MJO diprakirakan akan sedikit giat meski
kegiatan akan sama dengan awal 2018.
Perhitungan akan prakiraan
ini bersifat pribadi dan mungkin untuk menjadi bahan pertimbangan dalam
menyikapi situasi dan perkembangan kondisi keragaman cuaca dan iklim yang
kini berlangsung dan berkembang untuk masa mendatang.
Dalam menyusun informasi
ini, berbagai pusat informasi iklim dunia dilibatkan, termasuk BMKG, NASA,
serta Australia dengan BoM dan Amerika Serikat dengan CPC-NOAA-nya.
Semoga kaleidoskop singkat
tentang kondisi cuaca dan iklim 2017 yang ditandai dengan giatnya pemicu
cuaca dan iklim beragam MJO menjadi pertimbangan dalam menyikapi kondisi
alam, khususnya cuaca. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar