Putusan
MK dan Azab Tuhan di Balik Gempa
Hilmi Amin Sobari ; Esais; Pernah nyantri
di PPMWI Kebarongan,
Banyumas, Jawa Tengah
|
DETIKNEWS,
18 Desember
2017
Lagi-lagi linimasa media
sosial riuh. Keriuhan kali ini dipicu oleh gempa dengan magnitudo 6.9 Skala
Richter sebagaimana pernyataan resmi BMKG di situsnya, yang terjadi pada
Jumat (15/12) hampir tengah malam. Gempa dengan pusat epicentrum di
Tasikmalaya itu membuat bumi bergetar yang terasa hingga ke kota Bekasi
tempat saya tinggal.
Tak berapa lama, status di
medsos ramai membahasnya. Saya perhatikan, mereka yang terkena goncangan
cukup keras berasal dari kawasan pesisir selatan Pulau Jawa, dari Tasik ke arah
timur sampai ke Jogja. Lalu naik agak ke kota/wilayah sebelah utaranya.
Dua jam setelah gempa atau
sekitar pukul 2 saya menerima pesan dari orangtua; mereka tinggal di Ciamis,
dekat dengan pusat gempa. Mereka mengabarkan getaran gempa cukup besar, bingkai
foto yang terbuat dari kaca pecah berantakan. Sebagian warga kampung yang
ketakutan lari berhamburan ke luar rumah. Alhamdulillah, di sana tidak ada
korban jiwa atau kerusakan berat pada material fisik atau bangunan.
Namun, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mengabarkan lain. Dari data Pusdalops BNPB
berdasarkan laporan BPBD, saat tulisan ini dibuat dilaporkan gempa tersebut
mengakibatkan 2 orang meninggal dunia, 7 orang luka, 43 rumah rusak berat dan
roboh, 65 rumah rusak sedang, 10 rumah rusak ringan, dan beberapa bangunan
publik mengalami kerusakan.
Adapun daerah-daerah yang
paling terdampak gempa yang merusak itu terdapat di Kabupaten Pangandaran,
Tasikmalaya, Ciamis, Kota Banjar, Garut, Cilacap, Kebumen, Kota Pekalongan,
Banyumas, Brebes, dan Banjarnegara. Daerah tersebut kebanyakan ada di arah
timur Tasik. Belum ada kabar kerusakan dari daerah sebelah barat seperti
Bandung atau Sukabumi. Mudah-mudahan tidak ada kerusakan di sana.
Penyebab gempa kemudian
dianalisis. Bagi pendukung sains, gempa merupakan efek dari gerak tumbukan
lempeng atau kerak bumi yang bergeser dan kemudian menghasilkan energi besar
yang terasa sampai ke permukaan. Orang dengan pemikiran ini tentunya akan
menerimanya sebagai fenomena alam biasa. Apalagi sudah jamak diketahui,
wilayah Indonesia rawan bencana gempa.
Namun hal itu rupanya
tidak berlaku bagi sebagian orang beragama yang karena kitab sucinya
mengatakan bencana alam merupakan akibat dari perbuatan maksiat, maka mereka
meyakini gempa itu pun akibat ulah buruk manusia. Itulah yang terjadi, medsos
kemudian dibanjiri oleh status dari netizen yang berkeyakinan gempa itu
karena Tuhan sedang marah, lalu mengazab hamba-Nya.
Masih menurut mereka,
kemarahan Tuhan itu dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
secara keseluruhan permohonan uji materi pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang
diajukan oleh ALIA (Aliansi Cinta Keluarga). Putusan itu dihasilkan melalui
diskusi yang cukup alot. Dari 9 hakim, 5 menolak, 4 memberikan dissenting
opinion alias pendapat yang berbeda dari amar putusan.
Sebagaimana diberitakan
oleh banyak media, ALIA mengajukan permohonan untuk memperluas cakupan atau
mengubah undang-undang tentang perzinahan, pemerkosaan, dan pencabulan anak
yang mereka nilai sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian.
MK menolak dengan alasan
pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945; yang merupakan tolok
ukur MK dalam menilai uji materi. Sebaliknya, jika menerima, MK akan dianggap
melanggar kewenangan karena pembuatan norma hukum hanya boleh dilakukan oleh
lembaga legislatif. MK adalah lembaga yudikatif. Sebagai solusi, MK
menyarankan materi permohonan diajukan ke DPR yang sedang menggodok RUU KUHP.
Penolakan ini lalu
dipahami sebagai persetujuan atau pengesahan zina dan LGBT, simplikasi yang
sangat keliru. Sayangnya kekeliruan itu malahan dijadikan dasar untuk
mengaitkan putusan tersebut dengan azab Tuhan. Tuhan diimajinasikan sedang
marah karena di negeri yang mayoritas muslim, zina dan LGBT dilegalkan. Tak
ketinggalan, berbagai meme menyeruak dengan data ribuan anggota LGBT yang ada
di Tasik sebagai justifikasinya.
Pemahaman ini bukan tanpa
dasar. Agama punya bahan yang cukup. Islam misalnya membawa berbagai cerita
tentang bencana alam yang diazabkan Tuhan bagi kaum pembangkang dan pelaku
maksiat, yang mudah ditemukan di Al-Quran. Ingatan kita sejak kecil seolah
dipatri dengan kisah banjir besar bagi kaum Nabi Nuh karena menolak beriman;
badai besar 8 hari bagi orang 'Ad kaum Nabi Hud; gempa bumi dan petir yang
keras dan menyambar orang Tsamud, kaum Nabi Saleh.
Kota Sodom yang merupakan
wilayah dakwah Nabi Luth tak luput dari azab. Para penghuninya, suku yang
dikenal dengan perilaku homoseksual itu diganjar bencana berupa tanah yang
diputarbalikkan, bagian atas jadi bawah, bawah jadi atas, dibumihanguskan
semua yang ada di atasnya.
"Maka tatkala datang
azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami
balikkan), dan Kami hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar
secara bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah
jauh dari orang-orang yang zalim." (QS. Hud, 11: 82-83)
Pertanyaannya, apakah
tepat jika amar putusan MK dikaitkan dengan gempa bumi yang terjadi Jumat
lalu? Saya kira itu tindakan yang tidak tepat dan tampak ceroboh. Menuduh
gempa sebagai azab adalah sebuah kekeliruan. Logikanya, putusan MK bukan
pengesahan zina dan LGBT, bagaimana bisa diklaim jadi penyebab bencana jika
putusan itu bukan pengesahan. Sebaliknya, MK menyarankan untuk membawa
aspirasi ke DPR.
Secara tidak langsung, MK
seolah-olah hendak mengatakan bahwa mereka memberikan sinyal persetujuan jika
perkara ini diatur dengan undang-undang yang pasalnya lebih spesifik seperti
tuntutan pemohon. Artinya, landasan berpikir tuduhan itu sudah salah sejak
awal dan sebagai konsekuensi pendapatnya sudah cacat logika, tak bisa
dikontestasikan.
Lalu bagaimana dengan
kisah-kisah dalam kitab suci itu; apakah harus diabaikan? Tentu saja tidak.
Siapapun boleh meyakini apa yang termaktub dalam kitab suci, namun yang harus
dipahami, tidak semuanya bisa ditelan secara bulat-bulat tanpa penelaahan,
terutama jika bersinggungan dengan sains, apalagi jika sudah bisa dijelaskan
secara ilmiah.
Masih segar dalam ingatan
tentang perdebatan bumi datar dan bumi bulat. Keyakinan bumi datar berasal
dari kitab suci. Bahkan, institusi agama pernah sangat represif terhadap
penemuan yang bertentangan dengan keyakinan agama itu. Galileo dihukum mati
karena meyakini dan menyebarkan paham heliosentris, matahari pusat tata surya,
yang bertentangan dengan paham geosentris yang diimani gereja, bumi sebagai
pusat tata surya.
Tapi, masa-masa itu
seyogianya sudah berlalu. Saat ini berbagai fenomena alam sudah bisa
dijelaskan dengan sains. Jika pada satu waktu sains kemudian dapat menembus
sekat agama, maka yang harus dilakukan adalah penyediaan ekosistem yang
mendukung kontestasi ide sehingga bisa diuji kebenarannya, walau terkadang
hal itu membuat kedua ranah itu saling klaim bahwa kebenaran ada di pihaknya.
Perdebatan antara agama dan
sains selalu menyisakan ruang abu-abu yang tidak bisa diklaim sebagai
kebenaran mutlak. Walaupun sains unggul dalam pengujian dan pembuktian, sains
juga memiliki kekurangan pada tahap tertentu. Pada kasus gempa bumi, hingga
hari ini belum ada satu pun teknologi yang mampu secara akurat memprediksi
kapan terjadinya gempa, hanya bisa diukur kekuatannya dan manajemen terhadap
dampaknya.
Ruang-ruang abu-abu itu
jika ditafsirkan dari sudut pandang agama bisa saja dijadikan sebagai alat
introspeksi bahwa Tuhan bisa saja marah. Namun, menggunakan imajinasi bahwa
Tuhan sedang marah lalu mengazab, saya kira itu perlu dibatasi, misal untuk
muhasabah, bukan propaganda atas kepentingan pihak tertentu. Tujuannya agar
tidak menimbulkan keriuhan seperti yang belakangan sering terjadi.
Sebagai penutup, kisah
masyhur yang terjadi di Thaif saat Jibril menawari Nabi Muhammad SAW sebuah
gunung yang akan ditimpakan untuk pemusnahan para penghina dakwahnya di sana,
bisa diambil pelajaran. Alih-alih senang dengan dukungan itu, beliau justru
menyambutnya dengan doa keselamatan bagi penduduk Thaif dan anak
keturunannya. Saya yakin, sejak saat itu bukan bencana yang ditebar oleh
kehadirannya (dan ajaran yang diwariskannya) tetapi rahmat bagi seluruh alam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar