Menjaga
Optimisme di Tengah Dunia yang Bergejolak
A Tomy Trinugroho ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
21 Desember
2017
Setelah perang besar
terakhir terjadi di dunia pada 1939-1945, belum ada lagi konflik bersenjata
akbar yang melibatkan banyak negara. Terbentang masa lebih dari 72 tahun
sejak Perang Dunia II rampung hingga sekarang. Periode “dunia yang damai” ini
jauh lebih lama ketimbang jeda sekitar 20 tahun yang memisahkan PD I (1914-1918)
dengan PD II.
Dalam sejarah Romawi
dikenal periode damai terlama Pax Romana. Pada era kekuasaan Kaisar Agustus
hingga Marcus Aurelius ini berlangsung “masa tenang” lebih dari 200 tahun (27
SM-180 M).
Periode damai pasca-PD II
tidak berarti tak ada perang. Perang Korea, Perang Vietnam, perang saudara di
sejumlah negara Afrika, dan perang Yaman yang masih berlangsung terus
mengingatkan kita betapa perdamaian sungguh tak ternilai. Perang-perang ini
membuktikan perdamaian harus diperjuangkan, harus dipertahankan.
Upaya untuk menjaga
perdamaian ini terasa relevan pada 2017 saat dunia dibuat cemas oleh aksi
Korea Utara yang berkali-kali menguji coba nuklir dan rudal balistik. Rudal
antarbenua diluncurkan Pyongyang hingga melintas di atas Jepang yang lalu jatuh
di kawasan perairan. Pemimpin Korut Kim Jong Un bersikeras, aksi tersebut
dilakukan sebagai respons atas latihan militer yang dilakukan Korea Selatan,
Amerika Serikat, dan Jepang.
Masyarakat internasional
tampaknya tak menghiraukan alasan Korut. Sanksi dijatuhkan. China, Rusia, dan
negara lain ikut melaksanakan sanksi yang bertujuan memperlemah Korut agar
tak mampu lagi melakukan uji coba senjata.
Dinamika Semenanjung Korea
terasa lebih panas karena ada perang kata-kata vulgar antara Presiden AS
Donald Trump dan Kim Jong Un. Trump menyebut Kim Jong Un pendek dan gemuk
setelah pemimpin Korut itu menyebut Trump sebagai orang uzur.
Trump yang memimpin AS
meninggalkan kesepakatan iklim Paris memang berbeda dengan presiden-presiden
AS sebelumnya. Bulan ini, ia membuat masyarakat internasional geram karena
mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Tak ada presiden AS sebelumnya
yang menerapkan pengakuan ini meski ada undang-undang yang memerintahkan
Gedung Putih untuk melakukannya. Dampaknya, kini Palestina melihat AS tak
lagi menjadi mediator dalam negosiasi mereka dengan Israel bagi terwujudnya
solusi dua negara.
Selain kemerdekaan
Palestina, masalah yang harus diselesaikan di Timur Tengah adalah perang
Yaman. Saat kelompok ekstrem Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)
dikalahkan, korban jiwa terus berjatuhan di Yaman, sementara jutaan warganya
mengalami kelaparan akibat perang Arab Saudi melawan milisi Houthi itu.
Antipendatang
Fenomena kemunculan Trump
yang memiliki kebijakan pembatasan imigran mirip dengan yang terjadi di
Eropa. Benua tempat berlangsung dua perang besar itu sedang bergerak ke
kanan. Partai pengusung program anti-imigran disambut. Situasi ini seperti
“respons” atas membeludaknya pengungsi ke Eropa pada 2015. Mereka dipandang
mengancam nilai-nilai tradisional Eropa.
Akibatnya, untuk pertama
kali dalam setengah abad, partai ultrakanan Jerman mendapatkan kursi di
parlemen nasional. Bahkan, di Austria, partai ultrakanan menguasai
pemerintahan. Isu anti-imigran Muslim mendadak laku dijual oleh politisi.
Kebangkitan ultrakanan di
Eropa terjadi berbarengan dengan Rusia yang terus berusaha tetap disegani di
benua itu. Pergeseran haluan politik di Eropa juga berlangsung saat China
kian gigih menunjukkan pengaruhnya terutama di Laut China Selatan.
Dalam kondisi tidak
menggembirakan itu, optimisme tetap harus ditegakkan. Periode damai pasca-PD
II masih terlalu singkat ketimbang masa damai Pax Romana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar