Sampai
Kapan Mau Pakai Hukum Warisan Belanda?
Andi Saputra ; Pemerhati Hukum
|
DETIKNEWS,
20 Desember
2017
Mahkamah Konstitusi (MK)
memutuskan DPR yang berwenang merumuskan delik asusila, termasuk di dalamnya
bagaimana kedudukan perilaku kumpul kebo, serta lesbian, gay, biseksual, dan
transgender (LGBT) dalam hukum publik. Namun, setelah 72 tahun Indonesia
merdeka, hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih warisan Belanda. Apa kabar
DPR, Bung?
Rancangan KUHP telah
diotak-atik sejak zaman Orde Baru untuk diganti. Tapi, anggota DPR datang dan
pergi berkali-kali KUHP baru tak kunjung jadi, dan warisan penjajah masih
tegak berdiri. Draft KUHP akhirnya jadi proyek abadi hingga hari ini. Entah
berapa uang yang sudah dihabiskan DPR RI.
Miris, Bung! Indonesia
yang katanya negara berdaulat sampai hari ini belum bisa membuat rumusan
hukum pidananya sendiri. Contohnya, saat merumuskan kedudukan hukuman mati.
Fraksi yang mengaku dari parpol ideologis agama pun ikut goyang dengan
menerima tawaran win-win solution. Boleh dihukum mati, tapi diberi waktu
berkelakuan baik di penjara dalam waktu tertentu. Nah, bila berkelakuan baik,
maka hukuman matinya turun menjadi bilangan penjara.
Ah, ada-ada saja, Bung!
Malah, DPR kini larut
dalam Pansus dan Pansel. Lebih ramai. Lebih riuh. Fungsi pengawasan kencang,
fungsi legislasi kendor.
Padahal, hukum pidana
Belanda sangat kental dengan nuansa individualis budaya Eropa. Dalam budaya
Belanda dan penganut hukum Kontinental, sudah biasa dalam acara ulang tahun,
masing-masing tamu bayar sendiri-sendiri makanan yang dipesan.
Jamak pula seorang istri
yang dalam proses cerai, membawa pasangannya ke rumah dan tidur bersama.
Padahal di rumah itu masih ada suaminya. Jamak pula, mereka mendaftarkan
perjanjian pranikah dengan berbagai alasan. Bukan tabu pula, dalam budaya
mereka untuk berganti pasangan kelamin, sepanjang belum ada pernikahan.
Apakah budaya-budaya hukum
ini juga akan diberlakukan di Indonesia, Bung?
Anehnya, dalam merumuskan
delik pidana, para anggota DPR malah ramai-ramai studi bandingnya ke Eropa
dan Amerika. Mengapa tidak menggali hukum pidana yang hidup di Madura, Nias,
Maluku, Dayak, atau Aceh, umpamanya.
Dari studi banding di
masyarakat lokal, lalu dibukukan dan dirumuskan menjadi naskah hukum pidana
Nusantara. Bagaimana mau membuat pidana cita rasa Indonesia, bila yang
dirujuk pidana Rusia, pidana Italia, pidana Prancis, atau pidana AS?
Kembali ke topik LGBT dan
kumpul kebo. Harusnya kristalisasi hukum diambil dari hukum yang tumbuh di
masyarakat di Indonesia. Bukan mengimpor paham dari Eropa, dengan berbalut
konsep hak asasi.
Padahal di benua asalnya,
hubungan moral dan hak asasi masih multitafsir dan tidak bisa berlaku
menyeluruh di semua dataran Eropa. Kasus yang paling fenomenal adalah kasus
Handyside Vs Kerajaan Inggris.
Kasus Handyside Vs
Kerajaan Inggris (UK) adalah kasus yang terjadi pada tahun 70-an. Kala itu,
Mr Handyside adalah penerbit buku yang sedang menyusun Little Red School Book
edisi United Kingdom. Buku itu adalah buku pendidikan seksual untuk anak-anak
remaja.
Ternyata, Kerajaan Inggris
membreidel buku itu karena dinilai melanggar UU Publikasi, sebab Little Red
School Book dinilai bermuatan cabul. Tidak hanya itu, Mr Handyside dijatuhi
denda.
Tak terima dengan hukuman
itu, Mr Handyside membawa kasus ini ke European Court of Human Rights. Mr
Handyside menuduh Kerajaan Inggris melakukan pelanggaran kebebasan
berekspresi yang dijamin oleh Konvensi HAM Eropa. Tapi, apa kata European
Court of Human Rights? Gugatan Mr Handyside ini ditolak, Bung!
Dalam salah satu
pertimbangannya, Pengadilan HAM Eropa itu menilai bahwa belum ada konsensus
di antara negara-negara di Eropa seputar definisi moral, sehingga hal
tersebut diserahkan ke masing-masing negara berdasarkan doktrin 'margin of
pepreciation', bagaimana mendefinisikan moral sesuai nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat masing-masing negara.
Tapi apa daya, Bung! Tahun
depan sudah masuk tahun politik. DPR dipastikan lebih riuh membahas Pilkada
Serentak dan menyongsong Pileg-Pilpres 2019 yang akan digelar dalam satu
waktu. Pragmatisme politik mengesampingkan tujuan Indonesia merdeka, salah
satunya berdaulat di bidang hukum pidana.
Ah, sampai kapan kita
dijajah hukum Belanda, Bung?! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar