Muazin dari Makkah Darat
Fajar
Riza Ul Haq ;
Direktur Eksekutif Maarif Institute
|
KOMPAS, 03 Juli 2015
Ahmad Syafii Maarif
genap berumur 80 tahun pada 31 Mei lalu. Bersyukur beliau masih dikaruniai
kesehatan dan energi kecendekiaan yang prima. Tidak banyak warga senior
bangsa, seperti Buya Syafii, begitu panggilan akrab untuknya, di negeri ini:
fisik segar-bugar dan tetap produktif menulis; masih rutin melakukan
perjalanan menggunakan pesawat sendirian rute Yogyakarta-Jakarta; tak jarang terbang
memenuhi undangan ke kota-kota di luar Jawa, bahkan ke luar negeri, yang
sebenarnya sangat melelahkan untuk orang seusianya. Mau tahu makanan favorit
putra kelahiran Sumpur Kudus, "Makkah Darat" ini? Tengkleng dan
sate kambing!
Beliau nyaris tidak
pernah memberikan kesempatan orang lain membawakan tasnya. "Memang Anda
pikir saya sudah tidak mampu bawa sendiri?" sergahnya saat ada yang
coba-coba membantu membawakannya.
Salah satu ungkapan
syukur atas karunia usia panjangnya itu adalah sumbangan tulisan belasan
intelektual yang bermuara pada penerbitan buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii
Maarif, (Serambi & Maarif, Juni
2015). Biografi intelektual ini merupakan apresiasi dan dukungan para
kontributor terhadap pemikiran-pemikiran Buya Syafii dalam bentuk ulasan,
pendalaman, kritik, bahkan pengembangan topik-topik yang belum banyak
disentuhnya.
Buku ini mengurai
relevansi gagasan-gagasan solutif maupun kritis mantan Ketua PP Muhammadiyah
ini ketika dihadapkan pada problematika kebangsaan dan kenegaraan. Sosok Buya
Syafii, menurut Noorhaidi Hasan, adalah seorang intelektual Muslim Indonesia par exellence yang menekankan semangat
moral Islam dalam bernegara.
Mengikuti lika-liku
perjalanan hidupnya hingga saat ini, guru besar (emiritus) sejarah di
Universitas Negeri Yogyakarta ini telah mengalami transformasi radikal,
utamanya dari sisi spektrum pemikiran dan radius pergaulan. Mulai dari
seorang puritan pengagum Al Maududi yang memimpikan negara Islam, pendukung
fanatik Partai Masyumi, dan mencurigai proyek "salibisasi" di balik
upaya-upaya penghancuran umat Islam; hingga akhirnya meyakini tidak ada
kewajiban mendirikan negara agama dan menjadi penganjur setia Negara
Pancasila yang senapas dengan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil 'alamin.
"Kalau aku
mengatakan bahwa Islam merupakan pilihanku yang terbaik dan terakhir, hak
sama harus pula diberikan secara penuh kepada siapa saja yang mempunyai
keyakinan selain itu," tulisnya dalam Memoar Seorang Anak Kampung
(2013).
Jihad kebangsaan
Sebagai penduduk
mayoritas di negeri ini, masyarakat Muslim memiliki tanggung jawab besar
untuk memastikan cita-cita keadilan sosial segera terwujud tanpa pilih kasih.
Sudah sejak merdeka, sila ke-5 Pancasila itu jadi yatim piatu. Kegelisahan
Buya Syafii ini mendeterminasi dirinya sangat keras menentang praktik-
praktik korupsi, mafia pengadilan, mafia pangan, dan realitas kesenjangan
pendapatan yang kian dalam. Faktanya, kemiskinan terus mencengkeram sebagian
besar anak bangsa. Ketidakadilan ekonomi makin menggurita.
Namun, Buya Syafii tak
lelah melakukan jihad kebangsaan, meski harus berhadapan dengan tembok
kepentingan-kepentingan elite politik, oligarki partai, bahkan para pemburu
rente. Ia pun tak jenuh mengingatkan masyarakat Muslim agar terus berbenah
meningkatkan kualitasnya ketimbang terobsesi dengan penambahan kuantitas
karena bisa seperti buih di lautan.
Pembelaannya terhadap
agenda pemberantasan korupsi sangat terang-benderang. Korupsi hulu dari
kemiskinan. Saat mencuat pro-kontra pelantikan Budi Gunawan sebagai Kepala
Polri, Buya Syafii salah satu tokoh yang paling vokal menolak. Banyak pihak
mempertanyakan bahkan mencibir sikapnya yang cenderung membela Presiden Joko
Widodo ketika bersikukuh bahwa Budi Gunawan tidak akan dilantik sesuai
pembicaraannya dengan Jokowi via telepon. Suara-suara yang tidak setuju
menyayangkan posisi Buya Syafii yang seolah- olah bertindak sebagai
"bemper" pemerintah.
Kekecewaan sebagian
besar warga Muhammadiyah terhadap Jokowi-JK yang tidak mengakomodasi kader
Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja tidak memengaruhi kejernihan seorang Buya
Syafii di tengah gejolak polemik Polri-KPK. Dalam satu kesempatan, penulis
menanyakan persoalan ini kepada Buya. "Ini semata-mata demi KPK,
satu-satunya lembaga yang masih dipercaya publik untuk memberantas
korupsi", ujarnya.
Figur Buya Syafii
sudah tak terpisahkan lagi dari arus gerakan masyarakat sipil yang
memperjuangkan keadaban publik dan pelembagaan prinsip-prinsip keadilan dalam
tata pemerintahan. Mungkin agak berlebihan, beragam kalangan mendaulatnya
sebagai simbol dari jangkar moralitas publik. Oleh karena itu, guru besar
etika Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Alois A Nugroho, menyebut sosok
Buya Syafii sebagai seorang "muazin moralitas bangsa" (Juni, 2015).
Mengapa? Itu karena Buya Syafii tak lelah berseru-seru kepada politisi dan
birokrat negara agar menjauhi mentalitas
"thugocracy"(maling/pancilok dalam bahasa Minang).
Secara harfiah, muazin
adalah sang pengingat. Ia berseru-seru tiada lelah mengingatkan orang- orang
untuk menunaikan shalat dan menggapai kebahagiaan. Jika diterapkan dalam
konteks kehidupan berbangsa, muazin dapat dimaknai sebagai seseorang yang
konsisten menyuarakan nilai-nilai moralitas dan keadaban publik serta
mengingatkan penguasa dan segenap warga negara untuk terhindar dari
perilaku-perilaku mungkar (buruk) yang destruktif, yang jauh dari rasa
keadilan.
Menurut hemat penulis,
ada titik temu-bahkan saling bersenyawa-antara spirit seorang muazin dan
pesan historis dari "Makkah Darat", julukan kampung kelahiran Buya
Syafii di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Frasa "Makkah Darat"
sendiri berasal dari sejarah Minangkabau era Islam yang sudah tertimbun debu
sejarah selama ratusan tahun. Makkah Darat, ungkap Buya dalam otobiografinya,
merepresentasikan simbol pusat Islam di pedalaman Minang yang memiliki
sejarah panjang dalam proses pergumulan Islam dengan kultur Hindu-Buddhis.
Istilah ini
melambangkan gerak perlawanan terhadap budaya hitam yang dikuasai para parewa
(preman), yang masih berlangsung hingga era Islam, bahkan sampai sekarang.
Spirit Makkah Darat adalah budaya perlawanan terhadap pelbagai budaya yang
mendegradasikan martabat manusia dan mengorupsi rasa keadilan.
Saat bertemu Gubernur
DKI Jokowi pada 1 Agustus 2013 di Maarif Institute, secara khusus Buya
menanyakan pandangan sang tamu terkait budaya mafia di kalangan birokrasi
yang berkroni dengan politisi busuk dan pengusaha-pengusaha hitam. Seingat
penulis, jawaban Jokowi cukup standar. Praktik kotor semacam itu harus diberantas.
Dan kini kita semua tahu, Presiden Jokowi berulang-ulang mendeklarasikan
komitmennya perang melawan mafia bisnis, tetapi masih belum terlihat
kebijakan-kebijakan radikal yang terukur.
Lazimnya seorang
muazin yang tak peduli siapa pun imamnya, Buya Syafii akan selalu tetap
menyuarakan hal-hal yang diyakininya benar. Tidak akan pernah berkompromi
terhadap kemungkaran politik dan praktik-praktik kumuh bernegara yang sudah
terbukti memunggungi nilai-nilai luhur Pancasila. Menyaksikan Tanah Air-nya
disinari keadilan dan dinaungi kesejahteraan akan menjadi kado terindah Buya
Syafii di usia magribnya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar