Menjaga Momentum UU Desa
Farouk Muhammad ; Wakil Ketua DPD
|
KOMPAS, 03 Juli 2015
Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa disambut antusias oleh berbagai kalangan, terutama
mereka yang selama ini mengadvokasi pentingnya penguatan desa sebagai satuan
terkecil masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan jauh sebelum
republik ini lahir.
Desa dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 memiliki hak asal-usul sebagai self governing community ataupun self local government melalui penerapan
asas rekognisi dan subsidiaritas. Asas rekognisi adalah pengakuan atas hak
asal-usul desa dan asas subsidiaritas adalah lokalisasi kewenangan di aras
desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat
setempat. Original intent dari UU
ini-di mana penulis menjadi anggota tim kerja mewakili DPD saat itu-memang
benar-benar ingin memperkuat pembangunan di level desa dengan konsekuensi
meletakkan lokus pembangunan pada satuan pemerintahan/komunitas yang paling
bawah dan langsung berhubungan dengan rakyat itu.
Dengan alur pemahaman
tersebut, desa dapat mengusahakan dan mengelola sumber daya ekonomi-politik,
berwenang mengatur dan mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang
publik dan kepentingan masyarakat setempat, serta bertanggung jawab untuk
mengurus kepentingan publik "rakyat" desa melalui pelayanan publik.
Dana desa
UU Desa menegaskan
sumber-sumber pendapatan desa, dengan tujuan mulia mempercepat pembangunan
kesejahteraan di desa. Pasal 72 UU Desa menyebutkan bahwa pendapatan desa
bersumber dari: pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset,
swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli
desa; alokasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN); bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
kabupaten/kota; alokasi dana desa yang
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan APBD
kabupaten/kota; hibah dan sumbangan yang tak mengikat dari pihak ketiga; dan
lain-lain pendapatan desa yang sah.
Jika sumber-sumber
pendapatan itu optimal diperoleh dan dikelola desa, niscaya ke desa akan
mengalir pundi-pundi dana yang cukup besar. Jika APBN 2015 baru mengalokasi
Rp 9,1 triliun (baru 1,4 persen, rerata 150 juta per desa), jumlah itu
melonjak pada APBN Perubahan 2015 menjadi Rp 20,7 triliun (baru 3,1 persen,
rerata 270 juta per desa). Secara bertahap, berdasarkan PP No 22/2015,
alokasi dana dari transfer daerah untuk desa pada 2015 sebesar 3 persen, 2016
akan dinaikkan 6 persen, hingga 2017 diharapkan genap 10 persen sebagaimana
amanat UU sehingga setiap desa diharapkan memperoleh rerata Rp 1 miliar.
Pundi-pundi desa kian bertambah dengan
masuknya Alokasi Dana Desa (ADD) dari kabupaten/kota yang menurut Pasal 72
Ayat (2) dan (4) nilainya dipatok 10 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima kabupaten. ADD ini nilainya relatif
besar. Berdasarkan data yang dikumpulkan IRE (2015), misalnya, Kabupaten
Sleman DIY tahun 2015 ini mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per desa,
Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp
300 juta per desa.
Pendapat desa akan terus bertambah seiring
semakin optimalnya penerimaan desa dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi
daerah kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD
kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak
ketiga. Belum lagi jika desa efektif dalam mengembangkan usaha dan
sumber-sumber ekonomi sebagai pendapatan asli. Jika lancar, dari bagi hasil
pajak dan retribusi plus kebaikan hati pemerintah provinsi dan/atau
kabupaten/kota memberi lagi sumbangan, kalkulasi proyektif pada 2017 minimum
per desa akan memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau lebih.
Berangkat dari tujuan
dan original intent UU Desa, tidak ada kata lain kita harus menjaga momentum
penguatan desa melalui UU ini. Kita terus mendorong pemenuhan hak-hak desa,
termasuk dari segi keuangan agar dipenuhi sesuai amanat UU sejalan tahapan
dan kesiapan desa sendiri. Sembari itu kita lakukan, sekiranya perlu
diingatkan sejak dini sebagai peringatan dini, jangan sampai dana desa yang
seharusnya menjadi "berkah" berubah menjadi "bencana"
akibat salah urus dan berbagai penyimpangan (korupsi).
Penguatan desa harus
dilihat dalam perspektif yang komprehensif dalam kerangka pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan desa yang tampak dari peningkatan kualitas hidup
manusia dan penanggulangan kemiskinan di desa. Ini berarti kerangka
konseptual dan implementasi pembangunan desa harus jelas dijabarkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa, yang antara lain
harus mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana
desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan secara berkelanjutan, termasuk dalam mengelola keamanan dan
ketertiban sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di dalam UU.
Mengelola momentum
UU Desa sejatinya
memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk melaksanakan demokrasi dan
meningkatkan kesejahteraan mereka dengan daya dan kreativitas yang mereka
miliki. Oleh karena itu, pemerintah harus mengelola serius momentum UU Desa
ini, jangan terlena soal keuangan semata sehingga menjadi pragmatis. Pemerintah
harus menyiapkan cetak biru arah pembangunan desa jangka pendek, menengah,
dan panjang berikut indikator kesuksesan yang jelas dan terukur. Pun,
pemerintah harus mampu menyosialisasikan dan memberikan pemahaman soal cetak
biru itu ke seluruh desa di seluruh pelosok Indonesia. Keberpihakan anggaran untuk desa
sebagaimana disebutkan haruslah menjadi stimulus bagi pemerintah desa untuk
menyejahterakan masyarakat dan menggerakkan pembangunan di desa. Untuk mewujudkan hal itu, langkah-langkah
taktis strategis perlu dilakukan.
Pertama, mutlak
disiapkan sumber daya pengelolaan keuangan desa yang andal. Pelatihan,
pendampingan, dan penguatan kapasitas tenaga manajerial dan administrasi desa
harus dilakukan berkesinambungan, sistematis, dan terarah. Kunci keberhasilan
pengelolaan dana desa ada pada pendampingan dan untuk itu, dalam catatan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dibutuhkan
lebih dari 35.000 pendamping desa, di mana setiap petugas diproyeksikan
mendampingi 3-4 desa dengan total dana yang dibutuhkan untuk rekrutmen Rp 1,6
triliun-Rp 1,9 triliun. Sistem manajemen keuangan desa harus didesain
sedemikian rupa yang menjamin transparansi dan akuntabilitas, termasuk dengan
memanfaatkan fasilitas teknologi informasi terapan.
Kedua, instrumen
pembinaan dan pengawasan harus bekerja efektif sejalan dengan semakin kuatnya
kapasitas aparatur desa, khususnya berkaitan dengan pengelolaan dana desa.
Hanya saja, dalam pelaksanaannya, pada tahun pertama dan kedua diharapkan
pemerintah dan penegak hukum jangan terlalu kaku dalam menerapkan pengawasan
dan penegakan hukum, harus ada langkah persuasif jika pelanggaran sifatnya
administratif.
Ketiga, perlu
penguatan peran serta masyarakat agar UU Desa menjadi berkah bagi seluruh
masyarakat desa. Peran-peran mereka sejatinya telah diintroduksi dalam
UU-salah satunya melalui mekanisme musyawarah desa-hanya saja dalam
pelaksanaanya perlu dorongan yang lebih kuat dari berbagai pihak agar
deliberasi partisipasi publik semakin bermakna. Semua pihak, masyarakat pada
umumnya, akademisi, praktisi, dan kalangan masyarakat sipil (LSM) yang
memiliki kepedulian terhadap pembangunan desa, harus bergandengan tangan dan
bersinergi turut mengawal pelaksanaan UU Desa serta dalam memperkuat
kapasitas desa dalam mengimplementasikannya.
Berkenaan dengan itu,
DPD sebagai wakil/representasi daerah sangat antusias bersinergi dengan semua
pemangku kepentingan pembangunan desa. DPD telah mengerahkan semua anggotanya
agar aktif memonitor pengelolaan dana desa yang ada di daerahnya
masing-masing, apa kendala-kendala lapangan yang dihadapi pemda dan desa,
serta masukan konstruktif untuk memperbaikinya. Selain itu, melalui alat
kelengkapan (Komite I dan Badan Akuntabilitas Publik), DPD juga aktif
melakukan pengawasan dan penindaklanjutan pengaduan dalam konteks pelaksanaan
UU Desa. Dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan yang efektif, diharapkan UU Desa benar-benar
menjadi berkah, bukan bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar